Mohon tunggu...
senopati pamungkas
senopati pamungkas Mohon Tunggu... Wiraswasta - Hubbul Wathan Minal Iman

"Bila akhirnya engkau tak bersama orang yang selalu kau sebut dalam do'amu, barangkali engkau akan bersama orang yang selalu menyebut namamu dalam do'anya."

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Socrates dan Paradoks Kebijaksanaan: "Aku Tahu bahwa Aku Tidak Tahu"

15 September 2024   06:06 Diperbarui: 15 September 2024   06:41 138
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Socrates, salah satu filsuf terbesar dari dunia Barat, adalah tokoh yang memiliki pengaruh mendalam dalam perkembangan filsafat. Salah satu kontribusi utamanya adalah metode pengajaran yang dikenal sebagai "dialektika" atau metode Socrates, yang melibatkan dialog kritis melalui pertanyaan-pertanyaan untuk memunculkan pemahaman yang lebih dalam tentang kebenaran. Namun, lebih dari sekadar metode mengajar, Socrates dikenal melalui salah satu pernyataan yang paling terkenal dalam sejarah filsafat: "Aku tahu bahwa aku tidak tahu". Kalimat ini dikenal sebagai paradoks kebijaksanaan, yang mengungkapkan sikap kerendahan hati intelektual Socrates terhadap pengetahuan.

Apa yang dimaksud Socrates dengan pernyataan ini? Mengapa pemikiran ini disebut paradoks? Bagaimana pernyataan tersebut mengguncang dasar-dasar pemikiran dan pengajaran filsafat di masa lalu, serta mengapa masih relevan dalam kehidupan modern?

Socrates lahir di Athena, Yunani, pada sekitar 470 SM. Dia adalah seorang filsuf yang hidup pada masa keemasan Athena, ketika kota ini menjadi pusat budaya, seni, dan pemikiran politik. Berbeda dengan kebanyakan filsuf sezamannya, Socrates tidak meninggalkan tulisan-tulisan filsafatnya sendiri. Sebagian besar ajaran dan pemikirannya kita kenal melalui murid-muridnya, terutama Plato, yang menuliskan dialog-dialog di mana Socrates menjadi tokoh utama.

Yang membedakan Socrates dari pemikir-pemikir lainnya adalah caranya memandang kebijaksanaan. Di saat para pemikir lain percaya bahwa mereka memahami dunia melalui pengetahuan yang mereka peroleh, Socrates mengambil pendekatan yang lebih skeptis. Dia percaya bahwa kebanyakan orang---bahkan mereka yang dianggap bijaksana---sebenarnya tidak tahu apa yang mereka pikir mereka tahu. Socrates menghabiskan hidupnya dengan bertanya kepada orang-orang tentang apa yang mereka yakini, sering kali membuktikan bahwa mereka tidak bisa memberikan penjelasan yang memadai tentang gagasan-gagasan yang mereka anggap benar.

Metode Socrates sering kali menyebabkan kebingungan dan bahkan kemarahan di antara orang-orang Athena, terutama ketika dia mempertanyakan kepercayaan yang mereka anggap sebagai kebenaran mutlak. Dalam mencari kebenaran, Socrates tidak pernah merasa puas dengan jawaban yang sederhana atau dangkal. Sebaliknya, dia menggali lebih dalam, bertanya berulang-ulang, hingga orang yang ditanya sadar bahwa mereka sebenarnya tidak memahami apa yang mereka katakan. Hal ini, pada gilirannya, mengarah pada pemahaman bahwa pengetahuan sejati dimulai dengan pengakuan akan ketidaktahuan.

Pernyataan "Aku tahu bahwa aku tidak tahu" mengandung makna yang jauh lebih dalam daripada sekadar pengakuan atas ketidaktahuan. Pernyataan ini muncul dalam dialog Plato yang berjudul Apologia, di mana Socrates membela dirinya di hadapan para hakim yang menuduhnya merusak pikiran pemuda Athena dan tidak menghormati dewa-dewa. Selama pembelaannya, Socrates mengisahkan sebuah cerita tentang seorang temannya yang pergi ke Orakel Delphi dan menanyakan apakah ada orang yang lebih bijak daripada Socrates. Jawaban orakel adalah tidak ada orang yang lebih bijak dari Socrates. Tentu saja, Socrates merasa bingung mendengar hal ini, karena dia merasa dirinya tidak bijaksana.

Dalam upaya untuk membuktikan orakel salah, Socrates mulai mencari orang-orang yang dianggap bijaksana---para politisi, penyair, dan pengrajin---dan bertanya kepada mereka tentang pengetahuan mereka. Namun, yang dia temukan adalah bahwa meskipun mereka percaya bahwa mereka bijaksana, sebenarnya mereka tidak mampu menjelaskan secara memadai apa yang mereka ketahui. Di sini, Socrates menyadari bahwa perbedaan antara dirinya dan orang-orang tersebut adalah bahwa dia sadar akan ketidaktahuannya, sementara mereka tidak.

Inilah yang menjadi inti dari paradoks kebijaksanaan Socrates dianggap bijaksana justru karena dia mengakui bahwa dia tidak memiliki pengetahuan absolut. Kebijaksanaan, menurut Socrates, bukanlah tentang mengetahui segala sesuatu, melainkan tentang menyadari batas-batas pengetahuan kita. Dengan kata lain, kebijaksanaan sejati berasal dari kerendahan hati intelektual---kesediaan untuk mengakui bahwa ada banyak hal yang tidak kita ketahui, dan bahwa mencari kebenaran adalah proses yang tak pernah selesai.

Pernyataan Socrates disebut paradoks karena bertentangan dengan pemahaman umum tentang kebijaksanaan. Biasanya, kita menganggap orang bijak sebagai mereka yang memiliki banyak pengetahuan atau wawasan. Namun, Socrates menyatakan bahwa pengakuan akan ketidaktahuan adalah bentuk tertinggi dari kebijaksanaan. Ini menciptakan semacam kontradiksi, di mana seseorang yang menyadari bahwa dia tidak tahu apa-apa justru lebih bijaksana daripada mereka yang mengklaim tahu segalanya.

Selain itu, paradoks ini menggarisbawahi bahwa pengetahuan manusia bersifat terbatas. Tidak peduli seberapa banyak kita belajar atau mengetahui, selalu ada lebih banyak hal yang tidak kita pahami. Dengan demikian, kebijaksanaan tidak dapat dicapai melalui akumulasi pengetahuan semata, tetapi melalui kesadaran akan ketidaksempurnaan pengetahuan itu sendiri. Inilah yang membuat kebijaksanaan Socrates unik dan sekaligus menantang pandangan konvensional tentang intelektualitas.

Pernyataan Socrates "Aku tahu bahwa aku tidak tahu" tetap relevan hingga hari ini, karena mengingatkan kita tentang pentingnya kerendahan hati intelektual dalam dunia yang semakin kompleks. Dalam era informasi di mana kita dibanjiri dengan data dan pengetahuan, mudah bagi seseorang untuk merasa bahwa mereka tahu segalanya. Namun, seperti yang Socrates tunjukkan, pengetahuan yang sejati hanya dapat dicapai dengan terus mempertanyakan, meneliti, dan mengakui bahwa ada batas-batas dalam pemahaman kita.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun