Socrates, salah satu filsuf terbesar dari dunia Barat, adalah tokoh yang memiliki pengaruh mendalam dalam perkembangan filsafat. Salah satu kontribusi utamanya adalah metode pengajaran yang dikenal sebagai "dialektika" atau metode Socrates, yang melibatkan dialog kritis melalui pertanyaan-pertanyaan untuk memunculkan pemahaman yang lebih dalam tentang kebenaran. Namun, lebih dari sekadar metode mengajar, Socrates dikenal melalui salah satu pernyataan yang paling terkenal dalam sejarah filsafat: "Aku tahu bahwa aku tidak tahu". Kalimat ini dikenal sebagai paradoks kebijaksanaan, yang mengungkapkan sikap kerendahan hati intelektual Socrates terhadap pengetahuan.
Apa yang dimaksud Socrates dengan pernyataan ini? Mengapa pemikiran ini disebut paradoks? Bagaimana pernyataan tersebut mengguncang dasar-dasar pemikiran dan pengajaran filsafat di masa lalu, serta mengapa masih relevan dalam kehidupan modern?
Socrates lahir di Athena, Yunani, pada sekitar 470 SM. Dia adalah seorang filsuf yang hidup pada masa keemasan Athena, ketika kota ini menjadi pusat budaya, seni, dan pemikiran politik. Berbeda dengan kebanyakan filsuf sezamannya, Socrates tidak meninggalkan tulisan-tulisan filsafatnya sendiri. Sebagian besar ajaran dan pemikirannya kita kenal melalui murid-muridnya, terutama Plato, yang menuliskan dialog-dialog di mana Socrates menjadi tokoh utama.
Yang membedakan Socrates dari pemikir-pemikir lainnya adalah caranya memandang kebijaksanaan. Di saat para pemikir lain percaya bahwa mereka memahami dunia melalui pengetahuan yang mereka peroleh, Socrates mengambil pendekatan yang lebih skeptis. Dia percaya bahwa kebanyakan orang---bahkan mereka yang dianggap bijaksana---sebenarnya tidak tahu apa yang mereka pikir mereka tahu. Socrates menghabiskan hidupnya dengan bertanya kepada orang-orang tentang apa yang mereka yakini, sering kali membuktikan bahwa mereka tidak bisa memberikan penjelasan yang memadai tentang gagasan-gagasan yang mereka anggap benar.
Metode Socrates sering kali menyebabkan kebingungan dan bahkan kemarahan di antara orang-orang Athena, terutama ketika dia mempertanyakan kepercayaan yang mereka anggap sebagai kebenaran mutlak. Dalam mencari kebenaran, Socrates tidak pernah merasa puas dengan jawaban yang sederhana atau dangkal. Sebaliknya, dia menggali lebih dalam, bertanya berulang-ulang, hingga orang yang ditanya sadar bahwa mereka sebenarnya tidak memahami apa yang mereka katakan. Hal ini, pada gilirannya, mengarah pada pemahaman bahwa pengetahuan sejati dimulai dengan pengakuan akan ketidaktahuan.
Pernyataan "Aku tahu bahwa aku tidak tahu" mengandung makna yang jauh lebih dalam daripada sekadar pengakuan atas ketidaktahuan. Pernyataan ini muncul dalam dialog Plato yang berjudul Apologia, di mana Socrates membela dirinya di hadapan para hakim yang menuduhnya merusak pikiran pemuda Athena dan tidak menghormati dewa-dewa. Selama pembelaannya, Socrates mengisahkan sebuah cerita tentang seorang temannya yang pergi ke Orakel Delphi dan menanyakan apakah ada orang yang lebih bijak daripada Socrates. Jawaban orakel adalah tidak ada orang yang lebih bijak dari Socrates. Tentu saja, Socrates merasa bingung mendengar hal ini, karena dia merasa dirinya tidak bijaksana.
Dalam upaya untuk membuktikan orakel salah, Socrates mulai mencari orang-orang yang dianggap bijaksana---para politisi, penyair, dan pengrajin---dan bertanya kepada mereka tentang pengetahuan mereka. Namun, yang dia temukan adalah bahwa meskipun mereka percaya bahwa mereka bijaksana, sebenarnya mereka tidak mampu menjelaskan secara memadai apa yang mereka ketahui. Di sini, Socrates menyadari bahwa perbedaan antara dirinya dan orang-orang tersebut adalah bahwa dia sadar akan ketidaktahuannya, sementara mereka tidak.
Inilah yang menjadi inti dari paradoks kebijaksanaan Socrates dianggap bijaksana justru karena dia mengakui bahwa dia tidak memiliki pengetahuan absolut. Kebijaksanaan, menurut Socrates, bukanlah tentang mengetahui segala sesuatu, melainkan tentang menyadari batas-batas pengetahuan kita. Dengan kata lain, kebijaksanaan sejati berasal dari kerendahan hati intelektual---kesediaan untuk mengakui bahwa ada banyak hal yang tidak kita ketahui, dan bahwa mencari kebenaran adalah proses yang tak pernah selesai.
Pernyataan Socrates disebut paradoks karena bertentangan dengan pemahaman umum tentang kebijaksanaan. Biasanya, kita menganggap orang bijak sebagai mereka yang memiliki banyak pengetahuan atau wawasan. Namun, Socrates menyatakan bahwa pengakuan akan ketidaktahuan adalah bentuk tertinggi dari kebijaksanaan. Ini menciptakan semacam kontradiksi, di mana seseorang yang menyadari bahwa dia tidak tahu apa-apa justru lebih bijaksana daripada mereka yang mengklaim tahu segalanya.
Selain itu, paradoks ini menggarisbawahi bahwa pengetahuan manusia bersifat terbatas. Tidak peduli seberapa banyak kita belajar atau mengetahui, selalu ada lebih banyak hal yang tidak kita pahami. Dengan demikian, kebijaksanaan tidak dapat dicapai melalui akumulasi pengetahuan semata, tetapi melalui kesadaran akan ketidaksempurnaan pengetahuan itu sendiri. Inilah yang membuat kebijaksanaan Socrates unik dan sekaligus menantang pandangan konvensional tentang intelektualitas.
Pernyataan Socrates "Aku tahu bahwa aku tidak tahu" tetap relevan hingga hari ini, karena mengingatkan kita tentang pentingnya kerendahan hati intelektual dalam dunia yang semakin kompleks. Dalam era informasi di mana kita dibanjiri dengan data dan pengetahuan, mudah bagi seseorang untuk merasa bahwa mereka tahu segalanya. Namun, seperti yang Socrates tunjukkan, pengetahuan yang sejati hanya dapat dicapai dengan terus mempertanyakan, meneliti, dan mengakui bahwa ada batas-batas dalam pemahaman kita.
Pendekatan Socrates ini juga relevan dalam dunia akademis, di mana pencarian kebenaran melalui metode ilmiah sering kali melibatkan proses kritik, revisi, dan pengakuan bahwa hipotesis yang ada mungkin salah. Dalam ilmu pengetahuan, kesalahan sering kali lebih berharga daripada "kebenaran" yang stagnan, karena kesalahan mendorong eksplorasi lebih lanjut dan pengembangan teori yang lebih baik. Seperti yang diyakini Socrates, ketidaktahuan bukanlah kelemahan, melainkan titik awal untuk perjalanan intelektual yang terus berlanjut.
Di luar dunia akademis, prinsip kerendahan hati intelektual ini juga sangat penting dalam kehidupan sosial dan politik. Banyak konflik yang terjadi di dunia modern dapat dilacak kembali ke keyakinan yang terlalu kuat pada kebenaran absolut. Ideologi ekstrem, baik itu politik, agama, atau sosial, sering kali tumbuh dari keyakinan bahwa seseorang atau kelompok memiliki monopoli atas kebenaran. Pandangan Socrates mengingatkan kita bahwa sikap dogmatis ini berbahaya, karena mengabaikan fakta bahwa kebenaran sering kali kompleks dan multifaset, dan bahwa kita harus selalu terbuka terhadap pandangan yang berbeda.
Warisan terbesar Socrates adalah dorongan untuk berpikir kritis dan menantang asumsi-asumsi yang kita miliki. Dengan bertanya dan mempertanyakan, dia membuka jalan bagi filsafat Barat untuk berkembang sebagai disiplin yang berfokus pada logika, etika, dan pengetahuan. Filsuf-filsuf setelah Socrates, seperti Plato dan Aristoteles, membangun pemikiran mereka di atas fondasi yang dia ciptakan.
Selain itu, gagasan Socrates tentang ketidaktahuan dan kerendahan hati intelektual telah memengaruhi berbagai aliran filsafat lainnya, termasuk skeptisisme, yang menekankan keraguan sebagai jalan menuju pengetahuan. Dalam tradisi ini, mempertanyakan apa yang kita anggap sebagai kebenaran bukanlah tanda kelemahan, tetapi justru tanda kebijaksanaan.
Socrates juga meninggalkan warisan dalam hal etika. Melalui pengakuan akan ketidaktahuannya, dia menunjukkan bahwa hidup yang baik tidak didasarkan pada klaim palsu tentang pengetahuan, melainkan pada pencarian terus-menerus akan kebenaran, keadilan, dan kebaikan. Filosofi ini menekankan pentingnya pengembangan diri melalui refleksi, dialog, dan kerendahan hati.
Pernyataan "Aku tahu bahwa aku tidak tahu" yang diucapkan oleh Socrates adalah salah satu pelajaran mendalam tentang kebijaksanaan, kerendahan hati, dan pencarian kebenaran. Meskipun terlihat sederhana, pernyataan ini menantang pandangan tradisional tentang pengetahuan dan kebijaksanaan, serta mendorong kita untuk mengakui batas-batas pemahaman kita.
Socrates mengajarkan bahwa kebijaksanaan sejati bukanlah tentang mengetahui segala sesuatu, tetapi tentang menyadari betapa sedikitnya yang kita ketahui dan terus berusaha untuk memahami dunia dengan cara yang lebih baik. Dalam dunia modern yang sering kali dipenuhi dengan kepastian mutlak dan keyakinan yang kuat, ajaran ini menjadi pengingat bahwa pencarian pengetahuan adalah perjalanan yang tidak pernah berakhir---dan bahwa di dalam ketidaktahuan, kita menemukan kunci untuk kebijaksanaan sejati.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H