Mohon tunggu...
senopati pamungkas
senopati pamungkas Mohon Tunggu... Wiraswasta - Hubbul Wathan Minal Iman

"Bila akhirnya engkau tak bersama orang yang selalu kau sebut dalam do'amu, barangkali engkau akan bersama orang yang selalu menyebut namamu dalam do'anya."

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Media Sosial dan Radikalisme

10 Juni 2019   06:32 Diperbarui: 10 Juni 2019   06:42 843
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: tangkapan layar pada webpronews.com

Komunikasi (dengan berbagai medianya) adalah satu pilar penyangga agenda besar globalisme. Tentu agenda besar globalisasi disokong oleh ideologi modernisme yang lahir setelah abad 16 M hingga saat ini. 

Di dalam kehidupan masyarakat dunia yang serba modern saat ini, media sosial menjadi bagian sangat penting sebagai alat komunikasi antar individu baik dalam bentuk verbal maupun non-verbal.

Namun, harus tetap diingat dan disadari bahwa media sosial tetap mempunyai dua ekses sekaligus: positif dan negatif, sama halnya dengan globalisme yang mempunyai dua dampak yang sama.

Salah satu dampak negatif dari media sosial dalam kajian komunikasi global adalah hilangnya budaya lokal (local wisdom) yang tadinya hanya turun temurun mampu sampai di seluruh penjuru dunia tanpa terkecuali Indonesia. Artinya budaya bisa dibentuk dengan bantuan komunikasi yang didukung oleh teknologi.

Konsekwensi logisnya adalah budaya lokal terancam semakin menurun esensinya. Jika menurut teoritis terkemuka seperti Joshua Meyrowitz (1985) dan Robert McChesney (2004) benar, kita kini sedang kehilangan sentuhan dengan budaya-budaya berbasis lokal dan sedang bergerak ke dalam lingkungan budaya global yang sepenuhnya berbasis media.

Sementara itu, masyarakat massa dalam teori budaya Danesi, (2009 : 189), adalah suatu masyarakat terdiri dari sejumlah besar orang yang sangat mudah dipengaruhi oleh media massa dan birokrasi pemerintah.

 Satu contoh yang menggambarkan hal ini dapat ditemukan dalam novel karya George Orwell yang berjudul 1984 pada tahun 1949. Teori masyarakat massa pertama kali muncul pada akhir abad ke-19 dan menitik beratkan pada adanya hubungan timbal balik antar institusi yang memegang kekuasaan dan integrasi media terhadap sumber kekuasaan sosial dan otoritas. 

Isi media cenderung melayani kepentingan pemegang kekuasaan politik dan ekonomi. Media juga memiliki kecenderungan untuk membantu publik bebas dalam menerima keberadaannya sebagaimana adanya.

Menurut Stanley J. Baran dan Dennis K. Davis (2012 : 55) asumsi dasar teori masyarakat massa terkait dengan individu, peran media, dan sifat perubahan sosial adalah sebagai berikut:

1. Media memiliki kekuatan memaksa dalam masyarakat yang dapat menumbangkan norma-norma dan nilai-nilai hingga merusak tatanan sosial. Untuk mengatasi bentuk ancaman ini media harus berada di bawah kontrol elit;

2. Media secara langsung dapat mempengaruhi pikiran orang dan mengubah pandangan mereka tentang dunia sosial;

3. Ketika pikiran orang diubah oleh media maka seluruh konsekwensi buruk dilihat sebagai hasil yang tidak hanya membawa kehidupan individu pada kehancuran namun juga menciptakan berbagai permasalahan sosial dalam skala besar;

4. Rata-rata orang sangat rapuh atau tidak berdaya menghadapi media karena dalam masyarakat massa mereka diisolasi dari institusi sosial tradisional yang sebelumnya melindungi mereka dari manipulasi media;

5. Kekacauan sosial yang diinisiasi oleh media kemungkinan akan di atasi dengan pembentukan tatanan sosial totaliter;

6. Media massa mau tidak mau memperdebatkan bentuk budaya yang lebih tinggi, yang menyebabkan penurunan peradaban secara umum.

Dalam konteks Indonesia saat ini, media massa dengan berbagai varian dan platformnya menjadi bagian penting kehidupan masyarakat. Hanya saja, perkembangan media massa (terlebih media sosial) ini oleh masyarakat Indonesia diterima apa adanya tanpa nalar kritis mempelajari ideologi-politik yang bermain di belakangnya, dengan begitu masyarakat Indonesia hanya menjadi pengguna pasif, konsumen berita yang menelan bulat informasi tanpa ada budaya "saring sebelum sharing" (meminjam istilah Gus Nadirsyah Hosein).

Sementara itu, menurut pendekatan instrumental Marxis, media merupakan bagian ideal dari berbagai kelas sosial yang saling bersinggungan. Pendekatan ini yang membuat beberapa klaim yaitu para pemilik media massa memiliki kendali langsung terhadap berbagai ide yang dikomunikasikan melalui media massa. 

Pendekatan Marxis memandang bahwa khalayak media massa merupakan khalayak yang pasif. Karena itu, khalayak hanya menerima apapun yang disajikan kepada mereka dan opini publik menjadi mudah dimanipulasi oleh media massa.

Dari data yang dilansir kominfo.go.id tahun 2013, pengguna Internet di Indonesia sebanyak 63 juta dan kini bertambah menjadi 132 juta orang. Sebanyak 95 persen pengguna Internet di Indonesia adalah pengguna media sosial. 

Tak heran bila saat ini nilai-nilai budaya lokal dan norma-norma sosial mulai tereduksi dan terdekonstruksi akibat banyak orang lebih memilih bersosialisasi melalui media sosial. 

Media sosial tidak hanya digunakan untuk berbagi momen-momen menyenangkan dan penting bagi penggunanya, tapi media sosial juga menjadi media informasi bagi banyak kalangan.

Namun, di tengah pertumbuhan media sosial yang semakin pesat saat ini, justru menjadi akar masalah dan bumerang dari persoalan-persoalan yang terjadi akhir-akhir ini. Yaitu mengenai persatuan dan kesatuan bangsa. 

Mengapa? Karena melalui medsos banyak kalangan yang menyalahgunakannya untuk menebar kebencian, hujatan, hasutan, informasi hoax serta paham radikal. Amat disayangkan. 

Media sosial yang menjadi simbol kebebasan masyarakat mengakses komunikasi dan informasi justru menjadi senjata makan tuan bagi persatuan negeri. Kita dengan mudah dapat menjumpai akun-akun yang menebar politik identitas, rasis, kebencian atas nama kelompok, golongan, agama dan perorangan yang beredar luas di media sosial. Inilah embrio radikalisme.

Kasuistik penyebaran radikalisme saat ini justru lebih sering dilakukan melalui media sosial. Hal ini disampaikan oleh Kepala Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT) Komjen Pol Suhardi Alius yang dilansir di laman berita republika.co.id, Padang. 

Pesatnya dunia digital membuat informasi bertebaran dengan luas. Konten-konten yang ada di media sosial memang memprovokasi, menghegemoni masyarakat baik melalui hoaks, ketidakbenaran dan sebagainya.

Hegemoni media menurut McQuail (1987 : 65) memang mempunyai pengaruh yang sangat luas di masyarakat. Teori hegemoni media menekankan pada ideologi, bentuk ekspresi, cara penerapan serta mekanisme yang dijalankan untuk mempertahankan dan mengembangkan diri melalui kepatuhan pada kelas pekerja sehingga upaya itu berhasil mempengaruhi dan membentuk alam pikiran mereka.

Menurut Antonio Gramsci (1971), hegemoni merujuk pada kepemimpinan moral, filosofis dan politik sebuah kelompok sosial yang tidak diperoleh secara paksa namun dengan persetujuan aktif dari kelompok sosial lainnya melalui kontrol budaya dan ideologi. 

Yaitu, kelompok sosial dominan yang memberikan dampaknya dan mendapatkan legitimasinya melalui mekanisme sosial seperti pendidikan, agama, keluarga dan media massa.

Sedangkan yang dimaksud dengan hegemoni media adalah dominasi berbagai aspek kehidupan serta pemikiran tertentu dengan menembus budaya dan nilai dominan dalam kehidupan sosial. Hegemoni media berfungsi sebagai pembentuk budaya (baru), nilai dan teknologi masyarakat.

Kebebasan dalam sebuah negara demokrasi, bukanlah kebebasan yang terjadi seperti saat ini. Di mana kita bebas melontarkan hujatan, celaan atau provokasi terhadap pihak lain, bahkan kepada kepala negara dalam hal ini adalah Presiden. 

Kebebasan yang terjadi saat ini malah membuat kita tidak mau diatur dan tidak tunduk pada hukum dan perundang-undangan. Inilah yang mengakibatkan paham-paham garis keras atau radikal tumbuh subur di Indonesia. 

Amat memprihatinkan! Kebebasan di negara kita yang tidak dibarengi dengan pengetahuan menjadi lahan subur bagi persemaian bibit paham radikal yang subur.

Bahkan yang lebih ironis lagi, paham radikalisme justru menyasar kepada generasi-generasi muda. Hal ini bisa dimungkinkan, mengingat pengguna media sosial di Indonesia mayoritas adalah generasi millennial. Dengan gaya hidup hedonisnya, mereka beramai-ramai menggunakan media sosial dengan berbagai macam platformnya. 

Didukung jaringan internet dan kecanggihan gadget, smartphone yang semakin kompetitif di pasaran elektronik dunia, sekali lagi, generasi mellenial hanya bertindak sebagai konsumen dan pengguna pasif dengan sedikit pengetahuan teori politik wacana kritis.

Berselancar jauh di dunia maya tanpa dibarengi konstruk pengetahuan politik media dan analisis wacana kritis menyebabkan generasi muda sangat rentan terpapar ide, gagasan, pemikiran dan paham radikal yang sudah sangat massif bergerak di dunia ghaib media sosial. 

Youtube, adalah salah satu fitur favorit generasi muda Indonesia saat ini. Di dalamnya mereka dimanjakan dengan berbagai informasi, suguhan hiburan dan lain sebagainya. Penyebaran paham ajaran radikal salah satunya juga melalui fitur ini. 

Maka, tidak sedikit oknum-oknum da'i, penceramah, ustadz yang secara ideologis mempunyai latar belakang paham radikal menyebarkan informasi ajarannya dari mulai ceramah keagamaan (menurut aqidah dan paham-ideologi inklusif) mereka hingga tutorial merakit senjata dan bom.

Adalah seorang pemuda bernama Rofik Asharuddin (RA) 22 tahun yang melakukan tindakan terorisme bom bunuh diri di depan PosPam Polisi Kartasura, Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah, 3 Juni lalu. Ia diindikasikan terpapar paham ajaran radikalisme melalui You Tube. 

Untungnya, bom yang ia rakit dan ia ledakkan bersama dirinya bersifat "lone wolf", hanya mengakibatkan dirinya terluka di bagian perut dan tangan hingga dirawat di rumah sakit.

Ia mengakui bahwa tutorial merakit bom dan ajaran amaliyah bom bunuh diri didapat dari Youtube. Menyasar pos jaga aparat kepolisian tentu tanpa tendensi ideologis. 

Bahkan ia meyakini bahwa tindakan amaliyah bom bunuh dirinya saat bulan Ramadhan pahalanya akan dilipatkan menjadi 70 kali. RA hanya menjadi salah satu contoh pemuda yang terpapar paham radikal dari media sosial, tentu kasuistik semacam ini masih banyak lagi terjadi.

Hal yang sangat ironis sekaligus mencemaskan bagi masa depan generasi-generasi muda Indonesia ke depan jika tidak ada upaya pemerintah bersama segenap elemen negeri segera merumuskan program kontra ideologi radikal. 

Mengingat, perkembangan dinamika politik keagamaan Indonesia untuk beberapa tahun ke depan sepertinya akan terus diwarnai oleh gerakan-gerakan politik Islam (radikal).

Akhirnya, mari belajar agama kepada para 'ulama (moderat) bukan kepada You Tube apalagi kepada ustadz yang berpaham radikal, cerdas bermedia sosial dengan tetap menjunjung tinggi budaya lokal-nasional bangsa, beretika serta membiasakan "saring sebelum sharing".

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun