Amat memprihatinkan! Kebebasan di negara kita yang tidak dibarengi dengan pengetahuan menjadi lahan subur bagi persemaian bibit paham radikal yang subur.
Bahkan yang lebih ironis lagi, paham radikalisme justru menyasar kepada generasi-generasi muda. Hal ini bisa dimungkinkan, mengingat pengguna media sosial di Indonesia mayoritas adalah generasi millennial. Dengan gaya hidup hedonisnya, mereka beramai-ramai menggunakan media sosial dengan berbagai macam platformnya.Â
Didukung jaringan internet dan kecanggihan gadget, smartphone yang semakin kompetitif di pasaran elektronik dunia, sekali lagi, generasi mellenial hanya bertindak sebagai konsumen dan pengguna pasif dengan sedikit pengetahuan teori politik wacana kritis.
Berselancar jauh di dunia maya tanpa dibarengi konstruk pengetahuan politik media dan analisis wacana kritis menyebabkan generasi muda sangat rentan terpapar ide, gagasan, pemikiran dan paham radikal yang sudah sangat massif bergerak di dunia ghaib media sosial.Â
Youtube, adalah salah satu fitur favorit generasi muda Indonesia saat ini. Di dalamnya mereka dimanjakan dengan berbagai informasi, suguhan hiburan dan lain sebagainya. Penyebaran paham ajaran radikal salah satunya juga melalui fitur ini.Â
Maka, tidak sedikit oknum-oknum da'i, penceramah, ustadz yang secara ideologis mempunyai latar belakang paham radikal menyebarkan informasi ajarannya dari mulai ceramah keagamaan (menurut aqidah dan paham-ideologi inklusif) mereka hingga tutorial merakit senjata dan bom.
Adalah seorang pemuda bernama Rofik Asharuddin (RA) 22 tahun yang melakukan tindakan terorisme bom bunuh diri di depan PosPam Polisi Kartasura, Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah, 3 Juni lalu. Ia diindikasikan terpapar paham ajaran radikalisme melalui You Tube.Â
Untungnya, bom yang ia rakit dan ia ledakkan bersama dirinya bersifat "lone wolf", hanya mengakibatkan dirinya terluka di bagian perut dan tangan hingga dirawat di rumah sakit.
Ia mengakui bahwa tutorial merakit bom dan ajaran amaliyah bom bunuh diri didapat dari Youtube. Menyasar pos jaga aparat kepolisian tentu tanpa tendensi ideologis.Â
Bahkan ia meyakini bahwa tindakan amaliyah bom bunuh dirinya saat bulan Ramadhan pahalanya akan dilipatkan menjadi 70 kali. RA hanya menjadi salah satu contoh pemuda yang terpapar paham radikal dari media sosial, tentu kasuistik semacam ini masih banyak lagi terjadi.
Hal yang sangat ironis sekaligus mencemaskan bagi masa depan generasi-generasi muda Indonesia ke depan jika tidak ada upaya pemerintah bersama segenap elemen negeri segera merumuskan program kontra ideologi radikal.Â