Kunjungan Presiden Jokowi ke Ukraina, dan Rusia menarik perhatian banyak pihak. Menarik karena dilaksanakan ditengah berkecamuknya perang kedua negara, artinya kunjungan tersebut tentu berisiko tinggi bagi seorang presiden. Â
Meskipun demikian pihak aparat keamanan dalam hal ini Paspampres tentu sudah menyiapkan segala sesuatunya dengan cermat dan teliti. Menarik yang kedua karena Jokowi adalah pemimpin pertama dari Asia yang mengunjungi daerah konflik tersebut. Pertanyaannya adalah mengapa Jokowi tetap berkunjung ke negara yang sedang konflik itu ?
 Mari kita ingat kembali ketika Indonesia melakukan perjuangan diplomasi setelah proklamasi. Setelah Indonesia merdeka 17 Agustus 1945, Belanda ingin berkuasa lagi di nusantara. Tentunya hal ini ditentang oleh seluruh rakyat Indonesia yang telah menjadi negara berdaulat.Â
Namun konflik Indonesia dan Belanda tetap berlangsung dan harus dihadapi dan diselesaikan oleh kedua belah pihak. Salah satu upaya yang ditempuh oleh Indonesia adalah perjuangan diplomasi. Inggris sebagai mediator mempertemukan Indonesia dan Belanda melalui perundingan Linggarjati. Indonesia memenuhi undangan berdiplomasi meskipun hasil perundingan Linggarjati menimbulkan pro dan kontra di dalam negeri.Â
Salah satu yang menimbulkan kontra adalah pengakuan Belanda kepada Indonesia hanya de facto meliputi Sumatra, Jawa, dan Madura. Ibarat pil pahit, maka hasil perundingan Linggarjati tetap diterima oleh pemerintah Indonesia dengan lapang dada meskipun Perdana Menteri Sutan Syahrir dengan legowo harus turun dari jabatannya karena dianggap gagal oleh pihak penentang Linggarjati.
Perjuangan diplomasi Indonesia belum berakhir karena Belanda melanggar hasil Linggarjati dengan agresi militer 1 tahun 1947 sehingga terjadi perang kemerdekaan 1. Â Kemudian masalah Indonesia - Belanda masuk ke ranah PBB sehingga melalui Komisi Tiga Negara, Indonesia diundang lagi untuk berdiplomasi dengan Belanda dan terwujud menjadi perundingan Renville.Â
Indonesia kembali memenuhi undangan diplomasi meskipun hasilnya juga menimbulkan pro dan kontra lagi. Belanda kembali mengakui hanya de facto Indonesia meliputi Jawa, Sumatra, dan Madura dikurangi daerah-daerah yang diduduki Belanda pada agresi 1. Ternyata setelah Renville, Belanda kembali melanggar dengan agresi militer 2, dan yang diserang adalah ibukota RI yaitu Yogyakarta. Kemudian terjadilah perang kemerdekaan 2.
Perjuangan diplomasi juga belum berakhir, karena kemudian Indonesia diajak diplomasi lagi melalui perundingan Roem Royen. Perundingan ini ibarat pengunci bagi Belanda agar tidak melakukan agresi yang ketiga kalinya. Penguncinya adalah disepakatinya agenda diplomasi berikutnya yaitu Konferensi Meja Bundar (KMB), dan penyelenggaranya adalah Belanda.Â
KMB menjadi perjuangan diplomasi terakhir setelah proklamasi yang salah satu isinya adalah pengakuan kedaulatan penuh kepada Indonesia meskipun dalam bentuk Republik Indonesia Serikat.Â
 Diplomasi Indonesia tidak sekali langsung selesai, bahkan diwarnai pelanggaran oleh Belanda terhadap hasil perjanjian. Tetapi hal itu tidak pernah menyurutkan para pendiri bangsa untuk selalu mengedepankan diplomasi dalam menyelesaikan konflik dengan Belanda. Memang, selama proses diplomasi berkali-kali  itu diwarnai dengan perjuangan bersenjata (perang kemerdekaan 1 dan 2, serangan umum 1 Maret 1949).Â
Perjuangan diplomasi cukup efektif untuk membuktikan kepada dunia internasional bahwa Indonesia yang baru merdeka sangat mengedepankan perundingan dalam menyelesaikan konflik dengan Belanda. Dan inilah yang menyebabkan Jokowi tetap berkunjung ke Ukraina dan Rusia ditengah konflik kedua negara sedang berlangsung. Kuatnya pesan moral diplomasi mengalahkan kekhawatiran risiko yang kemungkinan akan terjadi.