Karena hamba itu memberikan dirinya untuk melayani kehendak orang lain. Berarti yang mau melayani sesamalah dalam pandangan Tuhan dialah yang terbesar.Â
Maka kalau bapak/ibu tidak mau melayani tidak berhak menjadi pemimpin, coba kita lihat dalam Alkitab : Allah tidak pernah menyebut Musa, pemimpin-Ku tetapi "Musa, hamba-Ku". Berarti dalam konsep Alkitab seorang pemimpin di berikan kuasa melayani bukan memerintah, makanya  Tuhan Yesus katakan : Aku datang bukan untuk di layani tetapi untuk melayani.
Dan itu di lakukanNya, Tuhan Yesus melayani begitu banyak orang dan kebanyakan dari pada mereka adalah orang-orang miskin, seperti para nelayan dan janda. Yesus melayani dari suatu kota ke kota yang lain bahkan diusir dalam bait Allah tetapi terus setia melayani.
Dia bukan menunggu orang seperti para pembesar tetapi pergi mencari orang, bahkan Dia melayani sampai titik darah penghabisan yaitu memberikan nyawaNya. Karena Dia pelayan maka Dia mau memberikan nyawaNya bagi orang yang di layaninya tetapi kalu bos tidak  mau memberikan nyawa bagi anak buahnya. Bos pingin orang lain bekerja mati-matian untuknya tetapi terkadang nasib anak buahnya kurang di perhatikan.
Maka kalau bapak/ibu tidak mau melayani tidak berhak menjadi pemimpin, karena dalam pandangan Tuhan kebesaran seorang pemimpin terletak pada kesediaannya melayani. Dan itulah yang  dikatakan dan di contohi oleh Tuhan Yesus.
Jadi gaya kepemimpinan seperti ini kontras dengan gaya kepemimpinan yang ngebos. Kalau ngebos ingin menyenangkan diri maka gaya kepemimpinan melayani adalah berkorban bagi orang lain. Dan itu akan terus kelihatan sampai kapanpun.
Sehingga suatu kali kelak kalau bapak, ibu tidak lagi punya kedudukan bisa tetap melayani karena panggilan bapak ibu bukan untuk memerintah, bukan untuk kedudukan tetapi sebagai hamba/melayani maka walaupun tidak dapat kedudukan tetap melayani, semangatnya tidak berubah.
Sama seperti seseorang yang saya kenal. Pada waktu ia menjadi pemimpin, dia bekerja keras untuk memajukan institusi yang dia pimpin, dia berkorban, melayani dengan baik, tetapi setelah dia tidak menjadi pimpinan ternyata pekerjaan / pelayanannya tidak pernah berubah.
Dia juga terus bekorban bahkan saat ini sudah pensiunpun dia tetap bekerja, menolong orang lain walaupun tidak di gaji, dia betul-betul menunjukkan hati sebagai hamba, tidak pernah berubah.
Memang gaya kepemimpinan melayani seperti ini bisa di pandang rendah, bisa di manfaatkan tetapi ingat, dia bisa marah, bisa mendisiplinkan orang  tetapi marah dan disiplin yang di berikan sebagai bagian dari melayani bukan agar orang takut kepadanya. Yesus pada waktu melakukan hal ini konteksnya bukan agar orang takut kepadaNya tetapi untuk mendidik, untuk melayani.
Kalau kita nonton film, maka anak buah/pengawal presiden siap memberikan nyawa bagi seorang presiden, presiden itu sangat berharga maka mereka siap mati. Kalau kita melihat di kantor-kantor maka anak buah siap untuk menyediakan segala sesuatu untuk kebutuhan dari atasannya. Tetapi Tuhan kita, bos di atas segala bos, bukan ingin di layani tetapi memperhatikan orang-orang yang di layaninya sampai mau memberikan nyawa bagi mereka. Â