Mohon tunggu...
Senjin Haryanto
Senjin Haryanto Mohon Tunggu... Wiraswasta - Orang biasa yang tidak punya kelebihan apa-apa

Simple dan merupakan anggota masyarakat biasa

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih

Pasca Putusan MA di Pilkada Kota Bandar Lampung: Masihkah Bawaslu Bernyali?

29 Januari 2021   19:58 Diperbarui: 29 Januari 2021   21:43 333
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
lampung.bawaslu.go.id

Publik tentu terhenyak saat melihat keberanian dan ketegasan Bawaslu Provinsi Lampung yang memutus perkara penanganan pelanggaran Pemilihan Walikota/Wakil Walikota Kota Bandar Lampung. Keluarnya putusan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Pemilu) terkait pelanggaran administrasi pasca diterbitkannya Surat Keputusan (SK) Komisi Pemilihan Umum (KPU) tentang perolehan suara calon kembali terjadi. Kali ini, di Pilkada Serentak 2020, Bawaslu Provinsi Lampung mengeluarkan Putusan No.2/2020 yang mendiskualifikasi pasangan calon dengan perolehan suara terbanyak, Eva Dwiana-Deddy Amarullah, setelah adanya SK KPU Bandar Lampung tentang hasil rekapitulasi Pilkada Bandar Lampung 2020.

Hal tersebut mengundang sorotan kembali, sebab kasus serupa pernah terjadi di Pemilu 2019 dan para pegiat pemilu juga ahli hukum tata negara meminta agar Bawaslu menahan diri dengan memutus sesuai kewenangan yang diberikan oleh undang-undang. Keluarnya SK KPU tentang penetapan hasil pemilu menjadi batas penanganan pelanggaran proses dan administrasi di Bawaslu.

Tapi setali tiga uang dengan Bawaslu Provinsi Lampung, KPUD Kota Bandar Lampung "tunduk" dengan mendiskualifikasi paslon yang memperoleh suara terbanyak tersebut. Dengan demikian gugurlah paslon tersebut.

Tentu saja paslon Eva-Deddy tidak tinggal diam. Pasca keluarnya SK KPUD Kota Bandar Lampung yang mendiskualifikasi mereka, mereka langsung mengajukan gugatan ke Mahkamah Agung (MA). Dalam sidang putusan yang digelar MA pada Jumat (22/1) lalu, Ketua Majelis Hakim Supandi memberikan dua putusan penting. Pertama, menyatakan menolak permohonan intervensi dari Paslon Rycko Menoza-Johan Sulaiman. Kedua,dalam pokok sengketa mengabulkan permohonan Eva Dwiana dan Deddy Amarullah untuk sepenuhnya.

Dalam putusannya tersebut, MA juga menyatakan bahwa keputusan KPU Kota Bandar Lampung nomor: 007/HK.03.1-Kpt/1871/KPU-Kot/I/2021 tanggal 8 Januari 2021, tentang pembatalan pasangan calon peserta pemilihan Wali Kota dan Wakil Wali Kota Bandar Lampung tahun 2020, atas nama pasangan Eva Dwiana dan Deddy Amarullah, batal di mata hukum.

MA juga memerintahkan KPU Kota Bandar Lampung untuk mencabut Keputusan KPU Kota Bandar Lampung yang mendiskualifikasi pasangan nomor urut 3, Eva-Deddy tersebut. Dan lagi-lagi dengan dalih taat hukum, KPUD Kota Bandar Lampung mencabut kembali SK Diskualifikasi Paslon Eva-Deddy.

Tentu saja sekarang yang dirundung malu adalah Bawaslu Provinsi Lampung yang telah berjuang melakukan penanganan pelanggaran hingga mengeluarkan keputusan pembatalan pencalonan Eva-Deddy, ternyata putusannya dianulir oleh MA. Bawaslu gigit jari.

 Telaah kasus
 Akademisi Hukum Tata Negara Universitas Andalas, Khairul Fahmi menguraikan pandangan terkait persoalan putusan Bawaslu yang hadir pasca penetapan hasil Pilkada oleh KPU. Fahmi mengawali penjelasannya dengan adanya dua istilah pasangan calon (paslon) dengan paslon terpilih di UU Pilkada. Pelanggaran administrasi dan sengketa proses yang mempengaruhi paslon menjadi kewenangan Bawaslu. Namun, masalah paslon terpilih atau sengketa hasil yang dapat mengubah paslon terpilih merupakan wewenang Mahkamah Konstitusi.

 "Wewenang Bawaslu yang diberikan oleh Pasal 73 dan 135A ayat (1) UU Pilkada dalam kewenangan pelanggaran TSM (terstruktur, sistematis, dan masif) adalah membatalkan calon sebagai peserta pemilihan, bukan calon atau pasangan calon terpilih. Maka, konsekuensi hukum administrasinya, ketika Bawaslu menyatakan paslon terbukti melakukan pelanggaran TSM, Bawaslu hanya bisa menyatakan pembatalan calon sebagai peserta pemilu dan meminta KPU mencabut SK calon terpilihnya," terang Fahmi.

 Dengan demikian, Bawaslu hanya berwenang membatalkan SK KPU mengenai penetapan paslon, tidak dengan SK penetapan hasil. Hal tersebut, menurut Fahmi, telah diketahui oleh Bawaslu Lampung. Pasalnya, Bawaslu tak meminta KPU Bandar Lampung untuk membatalkan SK penetapan hasil Pilkada Bandar Lampung di dalam putusannya. Namun, permasalahan terjadi lantaran Bawaslu meminta KPU untuk mendiskualifikasi paslon yang berdasarkan SK KPU tentang penetapan hasil Pilkada, memperoleh suara terbanyak atau paslon terpilih.

 "Jadi, ketika dia (Bawaslu) menetapkan diskualifikasi tanpa melihat ada produk hukum penetapan paslon terpilih oleh KPU, problem-nya di situ," ujar Fahmi.

 Menurut Fahmi, semestinya putusan Bawaslu hanya menyatakan bahwa pelanggaran TSM terbukti dilakukan paslon Eva Dwiana-Deddy Amarullah. Putusan tersebut kemudian dapat menjadi bahan pertimbangan bagi MK dari gugatan sengketa hasil Pilkada yang diajukan paslon lain. SK penetapan hasil Pilkada pun tak bisa otomatis batal kendati SK penetapan calon telah dibatalkan oleh Bawaslu. Bawaslu tak berwenang dan tidak membatalkan. Upaya banding di Mahkamah Agung pun hanya dapat sampai pada pembatalan atau berlakunya kembali SK penetapan calon.

 "SK penetapan hasil pemilu masih tetap sah," tukas Fahmi.

 Mesti sadar waktu

 Merujuk pada Peraturan Bawaslu (Perbawaslu) No.9/2020 pasal 45, permohonan dugaan pelanggaran administrasi TSM dapat diajukan sebelum dan setelah pemungutan suara. Oleh karena itu, Bawaslu berwenang untuk menangani pelanggaran administrasi yang diajukan oleh salah satu paslon dalam kasus Pilkada Bandar Lampung. Namun, apabila hasil pemilu telah ditetapkan oleh KPU, maka Bawaslu mesti membatasi diri. Meskipun secara aturan dalam pelanggaran administrasi bisa diproses 7 (tujuh) hari "sejak diketahui" tentu saja pihak pemeriksa dalam hal ini Bawaslu Provinsi Lampung melihat juga kondisi riil di lapangan sudah sejauh mana tahapan berjalan.

 "Kalau terbukti ada pelanggaran TSM, karena tahapan sudah berjalan sampai penetapan hasil, maka Bawaslu tidak bisa memutuskan mendiskualifikasi itu karena ini ranahnya MK. Dari situ akan terbangun kesinambungan proses hukum di Bawaslu dengan proses sengketa hasil di MK," tandas Fahmi

 Peneliti Konstitusi dan Demokrasi (KoDe) Inisiatif, Viola Reininda juga menyampaikan hal serupa. Waktu penanganan sengketa 14 hari merupakan waktu yang cukup. Akan tetapi, apa yang diputuskan oleh Bawaslu tak boleh mengambil kewenangan MK,

 "Semestinya ada penahanan diri dari Bawaslu sendiri dan merekomendasikan agar penerusan sengketa di MK," ujar Viola.

 Berkaca dari kasus ini, semoga ke depannya Bawaslu di semua tingkatan bisa lebih berhati-hati dalam memeriksa dan memutus suatu temuan atau laporan yang diadukan. Bukan lantas juga Bawaslu menjadi macan ompong. Tapi ketika harus "menggigit" paling tidak gigitannya tepat.

Bersama Rakyat Awasi Pemilu, Bersama Bawaslu Tegakkan Keadilan Pemilu. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun