Mohon tunggu...
Erma Alfiana Hidayah
Erma Alfiana Hidayah Mohon Tunggu... Guru -

Saya menyukai senjaNya. Sungguh.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Terjawab Saat Senja (2)

17 Juni 2016   19:23 Diperbarui: 17 Juni 2016   19:31 172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada yang beda beberapa malam ini, mata lelaki ini menangkap ada hal baru di ruangan atasannya sebelah pojok. Ruangannya berkaca gelap, namun lampu yang menyala dari dalam membuatnya tahu siapa yang ada di sana. Sesekali orang tersebut, menaikkan bagian tengah kacamatanya yang melorot. Beberapa kali juga, ia merobek kertas. Suara printer malam-malam seperti ini tidak pernah ia dengar kecuali beberapa malam ini, membuat lebih berwarna. Suara tuts-tuts komputer yang bekerja terdengar begitu indah di beberapa malam ini. Sesekali lelaki ini sengaja membalikkan badannya ketika, suara tuts-tuts keyboard komputer menghilang. Entah untuk memastikan atau apa, namun rutin setelah membalikkan badannya, kini matanya bekerja ke kanan kiri mencari tangan-tangan yang menekan tombol-tombol itu.

. . .

Nasywa membenarkan kacamatanya, memijat bagian antara kedua matanya tanda matanya benar-benar lelah. Seminggu lebih ini waktu yang berat bagi Nasywa berada pada lantai 3, di tambah lagi deadline yang mendesak. Orang berbaju putih, bermasker dan bersarung tangan itulah yang selalu ada hingga larut. Tidak sempat ada salam ketika Nasywa pulang kerja bukan hanya karena tidak kenal siapa dia, namun sepertinya orang itu selalu sibuk dengan pekerjaannya. Semangat yang kini mulai memudar, sepertinya harus dipompa kembali hingga beberapa hari lagi  hari launching akan segera datang, tandanya deadline semakin mencekik.

Hari ini adalah hari terakhirnya, akhirnya besok dia sudah kembali ke tempat kerjanya. Meninggalkan rutinitas malam di lantai 3 ini, meninggalkan ruangan berkaca gelap ini juga seseorang di sebelah sana yang selalu berkutat dengan alat-alatnya. Tidak mengarahkan matanya pada komputer kerjanya, ia semakin mengamati seseorang berbaju putih di luar sana.

“Lelaki yang aku lihat, apakah selalu sama? Aku bahkan tidak melihat wajahnya dibalik masker itu. Aku tak dapat melihat warna kulitnya karena memang semua gelap dari balik kaca-kaca ini.”. Nasya tersenyum lalu menggerakkan kembali jari jemarinya pada tuts-tuts komputer.

 “Jadi dia yang Kau kirim untuk menemani sendiriku disini”, Nasya tersenyum geli sambil menggeleng, “Kata-kata macam apa itu tadi”, pikirnya.

“Eh tapi aku tidak tahu namanya”, Nasywa masih melanjutkan gumamnya.

“MasyaAllah…”, Nasywa menurunkan pandangannya. Menutup komputer kerjanya di atas meja, mengambil tas lalu membuka pintu ruangannya yang langsung mengarah ke luar laboratorium.

. . .

“Assholatu Khoirumminannauum…”,teriak seseorang dengan pengeras suara terdengar dari ujung sana. Matanya melihat tepat di langit-langit kamarnya. Sejurus kemudian, justru senyum menyimpul di wajahnya. “Astaghfirullah…..”, katanya sambil menurukan kakinya ke lantai.

Hari ini hari terakhir segala yang diikhtiarkan. Matahari telah hadir kembali, menembus tempat ber-AC ini. Sarung tangan diambil dari box nya, senyum tiba-tiba tersungging di bibir. “Apa yang membuat aku tersenyum tadi pagi?”, hatinya bertanya. Namun tidak ada jawaban di sana. Kemudian tangannya terampil, bergerak kesana kemari tak menghiraukan tanya hati.

Waktu cepat bergulir, satu per satu temannya telah berpamitan, namun lelaki ini masih bercokol di ruangannya. Entah apalah namanya memastikan atau apa, namun ia merasa masih harus tetap di sana. Entah untuk membereskan barang-barang yang tak terpakai ke tempatnya atau entahlah apa, ia merasa masih harus tetap di sana. Entah karena ia merupakan ketua project sehingga ia merasa memiliki tanggung jawab atas produk ini atau apa, yang pasti ia masih ingin di sini. Kemudian adzan lah yang mampu menghentikan segala gerakan tangannya pun segala pandangan dari matanya. Air wudlu lah yang mampu membuat mata nya kembali terbuka kemudian segar kembali. Sedikit mengistirahatkan raganya adalah hal nyaman baginya, walau pikirnya melayang kesana kemari.

“Ya Rabb, terima kasih telah memberikan kelancaran hingga malam ini. Besok adalah launching produk kami. Berikan kelancaran, terima kasih atas semuanya”. Di hari terakhir ini, lelaki ini terduduk menghadap ke barat.

“Ya Rabb. . . . “.

Ucapnya terhenti kini, beberapa kali ia menghela nafas, seperti mencari kata yang tepat untuk dikeluarkan dari mulutnya. Kemudian ia terdiam. Tangannya masih menengadah, namun kepalanya tertunduk. Udara kembali terambil oleh hidung, memenuhi diafragmanya, namun kemudian terbuang begitu saja tanpa ada beberapa kata yang keluar.

“Ya Rabb, aku pun kau anugerahi indera perasa sehingga jika beberapa hari ini seseorang mengamatiku dari sana, aku akan merasa. Pun juga aku, aku tidak bisa terlepas memutarkan kepalaku bahkan ketika aku telah membelakanginya”. Akhirnya, terlepaslah kata itu dari mulutnya setelah tertahan lama.

 “Ya Rabb, apa namanya ketika seseorang perempuan telah mampu membuatku tersenyum bahkan saat pagi hari kubuka mataku pertama kali”.

 “Ya Rabb, bahkan aku mengkhawatirkannya”, lelaki tersebut melanjutkannya. Sempat beberapa kali, ketika ia merasa tidak ada kembali mata yang mengamatinya ia memberanikan diri membalikkan badan kemudian melanjutkan pekerjaannya. Tapi sepasang mata laki-laki ini terlepas dari tangannya yang bergerak, mencari-cari kemana pasangan mata lain yang biasa mengamatinya dari sana. Namun beberapa saat kemudian, sepasang mata bersama raganya telah kembali, membuka pintu dan mengarahkan pandangan pada laki-laki ini. Sedetik mata mereka bertemu dan tertunduklah sudah lelaki ini. Salah tingkah, kemudian membalikkan badannya ke sisi yang lain.

“Dan kini, lampu ruangannnya masih menyala. Pekerjaanku telah selesai, tapi…..”, bibirnya kembali merapat. “Kau Maha Tahu, kau tahu apa yang bahkan aku simpan di pojok hatiku. Lindungi aku Ya Rabb”.

. . .

Hari launching telah terlewati, segalanya telah kembali seperti semula. Ia masih berada pada tempatnya. Tidak ada yang ia lakukan, hanya duduk mengarah ke sebelah sana di mana di malam-malam sebelumnya ada seorang perempuan yang selalu membenarkan kacamatanya yang melorot di hidungnya. Kini tidak ada. Baju putih, dan masker sudah terlepas. Belum terlalu malam untuk sekedar mengenang, hingga terdengar langkah dari luar dan suara pintu terbuka.

Tidak bergerak dan masih terduduk takjim. Diamnya buyar ketika terdapat seseorang dari luar sedang melihat ke dalam kaca. Tangannya meraba kaca luar laboratorium dan mendekatkan mukanya untuk melihat ke dalam.

“MasyaAllah….”, ucapnya terkaget.

Setelah beberapa saat meyakinkan diri, ia melangkahkan kakinya.

“Ada yang bisa saya bantu?”, tanyanya setelah membukakan pintu laboratorium.

“Astaghfirullah….”, kata orang tersebut.

“Maaf, mengagetkan”.

“Eh iya.. Uhm Haidar ya?”, tanya Nasywa sambil tersenyum.

Lelaki itu mengerutkan dahinya, pertanda heran darimana ia bisa mengetahui namanya sementara jas lab menutup nametagnya.

“Presentasi mu”, nasywa menegaskan.

“Oh iya”, haidar tersenyum lega.

Seseorang di depannya, tidak memperhatikan. Mata seorang perempuan tersebut mengeksplorasi ruangan di dalamnya seperti mencari sesuatu.

“Uhm.. aku bisa masuk dari sini untuk masuk ke ruangan sebelah sana? Pintu yang dari luar sudah terkunci. Chargerku sudah seminggu ketinggalan di dalam”. Jelas nasywa sambil menggoyangkan HP nya, menandakan yang dicari adalah charger HPnya.

“Boleh silakan masuk!”

Haidar menemani Nasywa masuk untuk mengambil barangnya yang ketinggalan kemudian mengantarkannya keluar laboratorium setelah mengambil tas ranselnya.

“Kau juga akan pulang?”,tanya Nasywa.

“Iya”, jawabnya singkat dengan tersenyum.

“Kau biasa pulang selarut ini?”, tanya Nasywa.

“Tidak, jika ketika hanya ada, pekerjaan penting saja. Tidak seperti anak bawah seperti mu yang selalu rutin pulang malam”, canda Haidar.

“Uhm iya.. ya seperti itu lah resikonya”, jawab Nasywa lesu.

Mereka berjalan keluar laboratorium bersama.

“Tadi kau bilang pekerjaan penting, seperti apa memang?”, tanya Nasywa di belakang Haidar yang sedang mengunci pintu laboratorium.

“Masih ada yang tertinggal?”, tanya haidar.

Nasywa menghentikan pandangan kesana kemarinya yang menembus kaca laboratorium.

“Eh tidak”, Nasywa menggelengkan kepala.

“Kau tidak menjawab pertanyaanku tapi balik bertanya”, gerutu Nasywa.

“Owh iya, setelah meeting waktu itu. kau tahu kan aku ketua project produk baru ini?”, Haidar balik bertanya lagi.

“Tidak ada yang berkata seperti itu di meeting itu”.

“Benar juga”, Jawab Haidar sambil tersenyum.

Belum sempat haidar menjawab dan menjelaskan, Nasywa telah menyela.

“Haidar, kau yang setiap malam ada di sebelah sana sebelum hari lauching?”, Nasywa menegaskan.

“Dan kau adalah yang selalu ada di ruangan di dalam laboratorium setiap malam sebelum hari launching”, kata seseorang di depan Nasywa”.

. . .

Nasywa terdiam takjim di belakang orang yang telah berjalan menuju anak tangga.

“Nasywa? Kau masih mau berdiri di sana dan pulang larut malam lagi?”, seseorang di depannya membalikkan badan dan bertanya.

“Jadi kau tidak tahu jika itu adalah aku yang berada di laboratorium Nasywa?”,lanjut lelaki yang telah berada jauh di depannya.

“Kau sebelumnya sudah pernah bertemu dengan pria berbaju putih, bermasker dan bersarung tangan itu Nasywa. Itu adalah aku, Haidar”, jelas lelaki itu.

“Terima kasih”, Nasywa spontan mengatakan 2 kata ini.

“Maaf?”, tanya lelaki di depannya tak mengerti.

“Terima kasih telah ada di sana. Walau kau juga sibuk dengan pekerjaanmu, begitu juga aku tapi serasa ada teman”. Nasywa tersenyum tanpa melihat lelaki itu.

“Jujur ini benar-benar tempat baru bagiku. Tapi pekerjaan berat dan tanpa partner itu ujian bagiku”. Lanjutnya.

“Sama-sama”. Jawab singkat lelaki ini.

. . .

Senja memerah pada tahtanya kini, tembok sepinggang mengitari tempat tersebut. Tempatnya yang paling atas membuatnya, semakin dekat dengan langit yang tidak biru lagi. Seorang laki-laki tinggi , berdiri di dekat tembok itu, bayangannya memanjang di belakangnya. Sinar matahari menyentuh lembut mukanya.

“Entah apa yang kau pikirkan hari itu sehingga, kau berani mengatakannya padaku”. Kata seorang perempuan di belakangnya.

“Tapi kau telah menjabarkannya panjang lebar, bahwa kau dan aku sudah pada umur dewasa untuk mengerti hal ini. Aku tak tahu kau siapa, kau seperti apa. Aku hanya tahu kau adalah seorang berbaju putih, bermasker dan bersarung tangan yang mahir di tempatmu, di luar ruanganku dan menghilang saat adzan datang”, jelasnya.

“Hingga suatu hari, ketika Allah kembali mempertemukan kita lagi entah itu kau sengaja atau tidak, dan setelah aku tahu yang selama ini aku lihat dari ruanganku adalah kau, kemudian kau mengatakan hal tersebut padaku. Lalu perempuan mana yang menurutmu tidak terkaget dengan pertanyaan seperti itu?”, perempuan itu setengah berteriak.

“Marahlah, jika menurutmu aku terlalu lama untuk menjawabnya. Namun setelah message mu yang terakhir aku tersadar, aku yang salah tidak segera memberi jawaban padamu. Maaf”.

Keduanya terdiam takjim, yang di depan masih memandang kosong lurus ke depan sementara, seseorang lainnya kemudian masih menata nafas setelah panjang lebar berbicara sambil menahan tangis. Matahari masih bercokol di sana belum benar-benar tenggelam, seakan mendengarkan pembicaraan mereka, tak mau ketinggalan cerita dari atas sana.

“Pertama, pertemuan saat aku mengutarakan pertanyaanku itu, aku benar-benar tidak sengaja. Aku telah memendamnya lama, aku tak mau menemuimu, sebelum Allah yang mempertemukan kita, karena kebetulan yang Allah buat akan lebih indah. Sembari aku menunggu kebetulan dari-Nya, aku selalu memikirkan akan pertanyaan yang akan aku berikan padamu itu Nasywa”. Lelaki itu mulai berbicara.

“Kedua, Aku tidak perlu marah, aku hanya tidak mau merindukan seorang perempuan hingga kemudian aku berdosa karena rasa rindu ini. Aku tidak perlu marah, aku hanya tidak mau selalu mencuri-curi pandang ketika aku melewati lantai bawah. Aku tidak perlu marah, aku hanya ingin tahu apakah kau mengerti maksudku. Bahkan Allah telah melindungi kita, jauh-jauh hari sebelum ini, ketika kita saling memandang di laboratorium”. Jelas sang lelaki.

“Menurutmu aku marah? Mengapa Aku marah? Aku berniat baik, dan itulah ikhtiar terakhirku ketika rasa rindu semakin menyiksaku. Jawablah Nasywa, aku siap dengan kedua kemungkinan.”, jelas lelaki ini.

“Baiklah aku jawab, InsyaAllah, aku juga perempuan dewasa yang tidak mau terjebak dengan rasa rindu kemudian berdosa. Aku akan menjawabnya. Bismillahirrahmanirrahim, Allah melihat kita lewat Senja-Nya di tempat ini, Haidar, aku terima niatmu menjadi Imam hidupku. Aku bersedia, kau menjadi suamiku”.

SELESAI

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun