Permen Waiting List Haji yang dasar pertimbangannya demi terwujudnya standar pelayanan Haji yang lebih terukur dan terkendali oleh Kementerian Agama menjadi kedok untuk merampas kebebasan beragama sebagai bagian substansial Hak Asasi Manusia. Kementerian Agama Sebagai Lembaga Negara telah menjadikan asumsi absurd diatas untuk menjadi  Pelaku Utama melanggar HAM khususnya Orang-orang yang memenuhi kewajiban untuk berhaji. akibat teror hingga hari ini permen Waiting List daftar antrian menumpuk hingga 2 juta orang dan niali materi yang sangat besar.
Apabila ditelusuri maka Undang Undang tentang Haji sudah sangat mewaspadai dan ekstra Hati-hati untuk mengatur isi atau materi agar tidak terjadi pengekangan Kebebasan Beribadah, namun kesadaran para legislator mendukung tegaknya Hak Asasi Manusia dalam regulasi Haji mendapat tamparan dari institusi Kementerian Agama yang semestinya menjadi pengawal tegaknya Undang undang Haji yang berbasis HAM.
Kelicikan dan kekejaman Birokrat Kementerian Agama untuk merampas kebebasan Beribadah Haji dirancang secara halus dan perlahan,di Mulai dari  SK Drijen Haji tahun 2004 dan dijemput oleh Permen karena dianggap aman-aman saja.  Permen Waiting List Haji denga pertimbangan Standar Pelayanan diatas tidak cukup menjadi alasan membatasi atau membuat sistem antrean, tapi juga dalam kurun waktu 9 tahun apa yang menjadi asumsi Waiting list agar pelayanan terukur malah semakin miris.
Pemberlakuan Permen Waiting List malah tidak hanya  membahayakan tidak terakomodasinya ketaatan Umat Islam yang sadar dan memenuhi kemampuan  untuk bisa secara langsung berhaji ( akibat sistem antre yang mengharuskan menunggu dalam jarak puluhan tahun) sebagaimana model keberangkatan sebelum aturan waiting list, tetapi waiting list juga telah membahayakan kepemilikan harta orang yang mendaftar pada kemenag, bisa dibayangkan nilai 25 juta harus diserahkan ke kementerian Agama yang bukan lembaga keuangan  dan tidak punya satu pun aturan pengelolaan, maka yang terjadi sesungguhnya  perampokan harta rakyat atas dasar pelayanan yang terukur. padahal negara punya kewajiban melindungi harta warga masyarakat dari tindakan kriminalitas.
Dalam pengertian tersebut maka secara subtantif Permen Waiting List bukan hanya Melanggar Ham tentang kebebasan Beribadah tetapi sekaligus menjadi pelaku perampokan atas harta rakyat, sebab penyetoran dana ke kementerian Agama yang sama sekali tidak memiliki kewenangan moneter maupun fiskal.  fenomena kementerian Agama yang tidak hanya membiarkan aliran sesat berkembang dan marak membahayakan kehidupan beragama serta  penegakan HAM di bangsa ini namun sekaligus kemenag menjadi aliran baru sumber kesesatan yang menggunakan logika sesat untuk melanggar Syariat Agama, merampas kebebasan beribadah,  untuk itu sebagai bahan pertimbangan bagi kita maka perlu alat ukur untuk menimbang Permen Waiting List sebagai bentuk Nyata Aliran Sesat Baru,  sekaligus membahayakan penegakan HAM di negeri ini
Deklarasi HAM
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 1948 menyatakan setiap orang berhak atas kebebasan agama (Pasal 18). Konvensi Internasional Hak Sipil dan Politik mengakui hak kebebasan beragama dan berkeyakinan (Pasal 18). Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 menyatakan bahwa negara menjamin kebebasan beragama dan berkepercayaan (Pasal 28E jo Pasal 29 ayat 1). Bahkan, dalam Pasal 28I UUD 1945 dinyatakan bahwa kebebasan beragama tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.
Ketentuan itu masih diperkuat lagi dalam Pasal 22 UU No 39/1999 tentang HAM. Setiap orang mempunyai kebebasan berpikir, berkeyakinan, dan beragama. Hak ini mencakup kebebasan untuk menganut atau menetapkan agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri. Setiap orang memiliki kebebasan, apakah secara individu atau di dalam masyarakat, secara publik atau pribadi untuk memanifestasikan agama atau keyakinan di dalam pengajaran dan peribadatannya.
Negara berkewajiban menghormati dan menjamin kebebasan beragama atau berkepercayaan semua individu di dalam wilayah kekuasaannya tanpa membedakan suku, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, dan keyakinan, politik atau pendapat, penduduk asli atau pendatang, serta asal usulnya. Dalam konsep HAM, hak kebebasan beragama masuk ke ranah hak sipil dan hak politik.
Hak ini termasuk ke dalam dimensi non-derogable, artinya tidak bisa ditawar atau dikurangi dalam keadaan apa pun sehingga negara harus memenuhinya.
kesimpulannya :
- Kebebasan menjalankan agama atau kepercayaan dapat dibatasi demi kepentingan melindungi keselamatan dan ketertiban publik. - Pemerintah dapat mengatur atau membatasi kebebasan untuk menjalankan agama atau kepercayaan melalui undang-undang.
Bahan Bacaan :
http://birokrasi.kompasiana.com/2012/09/23/spiritualitas-haji-membongkar-kesesatan-depag-menag-sda/
http://tommyutama.wordpress.com/2011/03/09/menyoal-kebebasan-beragama-dan-keyakinan/
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H