Mohon tunggu...
Seni Asiati
Seni Asiati Mohon Tunggu... Guru - Untuk direnungkan

Berawal dari sebuah hobi, akhirnya menjadi kegiatan yang menghasilkan. Hasil yang paling utama adalah terus berliterasi menuangkan ide dan gagasan dalam sebuah tulisan. Selain itu dengan menulis rekam sejarah pun dimulai, ada warisan yang dapat kita banggakan pada anak cucu kita nantinya. Ayo, terus torehkan tinta untuk dikenang dan beroleh nilai ibadah yang tak putus.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Rumah Masa Kecil

23 Agustus 2021   09:37 Diperbarui: 23 Agustus 2021   09:38 1294
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Rumah Masa Kecil

(Bunda NaRa)

Perkenalkan aku Nuri Hayati. Aku anak ketiga dari lima bersaudara. Ini ceritaku bersama bapak. Tentu kalian pun banyak memiliki cerita dengan bapak. Rumah masa kecil memang menorehkan kesan yang dalam. Aku dan keluargaku pindah ke rumah ini tahun 1976. Sebenarnya rumah ini bukan rumah masa kecil, karena aku dilahirkan di Cipanas, Jawa Barat. Kemudian bapak pindah tugas ke Jakarta dan tinggal di kompleks perumahan yang disediakan pemerintah.

Mambo, begitu orang menyebut wilayah tempat aku tinggal. Entah mengapa orang menyebut begitu tidak jelas benar. Pastinya teringat mambo teringat es mambo. 

Mungkin dinamakan "mambo" karena banyak yang menjual es mambo di kompleks kami. Yah, es yang yang selalu dibuat mamahku dengan plastik panjang diikat karet. 

Kulkas kami tak pernah sepi dengan es ini.  Mamah membuat hanya untuk anak-anaknya, kata mamah kalau dibuat sendiri kebersihannya lebih terjamin, yang pasti aku dan saudara-saudaraku tak perlu merengek minta dibelikan es mambo. 

Di zamanku dulu tahun 80-an, es ini sangat terkenal dan aku selalu berebut dengan adikku sepulang sekolah. 

Bahkan, karena seringnya kami minum es mambo, mamah mengajari kami membuat dan menjualnya. Mungkin kalau di daerah Jawa Barat dikenal dengan nama 'es lilin'. Nah, kalau es lilin ada lagunya kalau es mambo aku belum dengar lagunya.

"Ri, bantu mamah yah?" kata mamah sepulang aku sekolah.

"Bantu apa Mah? Aku menaruh tas dan berganti pakaian siap untuk makan. Sudah terbayang sedapnya sayur asam buatan mamah. Aku lihat mamah mengangkat baskom berisi air berwarna merah, harum sirop merasuk lubang hidungku. "Mamah mau membuat es mambo?" tanganku sudah menjangkau centong yang ada di baskom dan mengaduk-aduk isi baskom.

"Iya, ini mamah kasih selasih dan biji mutiara." Mamah menaruh selasih dan biji mutiara di baskom. Sekarang air merah itu sudah ramai dengan bertambahnya pasukan selasih dan biji mutiara berwarna-warni dan tentu saja menggoda. Wah, pasti enak yang pasti aku akan membawa ke sekolah dua dan menyimpan dua untuk siang.

"Aku bantu tuang ke plastik ya, Mah." Mulutku masih penuh nasi dan tangan kiriku menjangkau plastik es.

"Makan dulu nanti bantunya habis Nuri makan." Mamah menjauhkan tanganku dari plastik es.

"Asyik, bikin es mambo." Adikku Tita berseru sambil memegang baskom air merah. Tangan mungilnya sibuk menyendok air dan mengangkat biji mutiara dengan sendok. Sambil tertawa Tita memakan biji mutiara. Matanya mendelik-delik merasakan biji mutiara. Aku heran mengapa harus mendelik seperti itu. Kalau kata anak sekarang adikku ini lebay.

"Yah, kurang manis Mah." Seru Tita. Muka kecilnya mendadak mengerut. Mulutnya dimonyongkan tanda penilaiannya pasti akurat.

"Masa sih kurang manis." Mamah mengambil air sirop dengan ujung tangannya. Tak lama secentong besar gula pasir yang putih sudah tertuang di baskom. Adikku tersenyum bangga karena penilaiannya tentang rasa es mambo diapresiasi mamah. "Es memang harus lebih manis dari minuman, karena kalau sudah mengeras rasa itu akan perlahan berkurang." Itu alasan mamah mengapa es yang dibuat harus manis berbeda dengan minuman. Mamah selalu menggunakan gula pasir bukan biang gula. Makanya es mamah terjamin asli manisnya.

Aku ingat benar, hari kami memulai usaha es mambo. Aku dan adikku Tita tentu saja jadi pengusahanya hahahahaha. Es mambo ini resmi menjadi dagangan aku dan adik. Kenangan masa kecil tentang es mambo dan cara kami berjualan begitu terpatri. 

Aku dan Tita tidak berdagang keliling kompleks hanya menaruh termos es di depan rumah dan iklan jualan kami hanya omonganku pada teman-teman kalau kami berjualan es mambo. Pelanggan kami tentu saja teman-teman kami sendiri, tetangga kiri-kanan di kompleks. 

Bahkan untuk menarik perhatian pembeli aku dan Tita pernah berebut es mambo. Teman-teman yang melerai ikut penasaran mengapa es tersebut jadi rebutan. 

Ahaaa, taktik jualan kami berhasil semakin banyak yang membeli, bahkan jenis es mambo yang tadinya hanya berwarna mulai bervariasi. 

Mamah memang selalu punya ide. Ada es mambo rasa coklat yang dibuat dari susu coklat dan diberi meisis, ada es kacang hijau, ada es ketan hitam, bahkan ada es teh susu. Dagangan kami selalu habis apalagi di samping rumah ada lapangan tempat anak-anak bermain.

Ibu-ibu kompleks yang memiliki kulkas pastinya juga membuat es ini. Banyak yang menitipkan di warung-warung. Tahun 80-an kulkas masih barang langka hanya satu dua keluarga yang memiliki. 

Bapak yang mengajarkan untuk menggunakan kulkas dengan bijak. Es mambo buatan mamah dan cara kami menjajakan memang berbeda dengan es mambo yang dibuat ibu-ibu di kompleks. 

Aku tak tahu mengapa mamah begitu pandai meramu es mambo. Kini es mambo jarang dijumpai,  sesekali mamah masih membuat untuk anak-anakku. Rindu es mambo dan rindu masa kecilku.

Yang pasti aku bahagia menghabiskan masa kecilku di rumah yang kami sebut "rumah mambo". Rumah inilah pertama kalinya keluarga kami tinggal dan menginjakkan kaki di ibukota Jakarta. Padahal aku lebih senang tinggal di kota kelahiranku yang sejuk dan hijau di daerah Cipanas, Cianjur, Jawa Barat. Rumah mambo mengisahkan masa kecilku di belantara ibukota yang bernama Tanjung Priuk.

Rumah mambo wilayahnya persis dekat dengan pelabuhan Tanjung Priuk. Hanya karena tidak banyak yang aku ingat di rumah Cipanaslah, sehingga  rumah mambo menjadi rumah masa kecil dari ingatanku tentang sebuah rumah. 

Aku dan ketiga saudaraku dilahirkan di Cipanas, tapi tumbuh dan menghabiskan masa kecil di rumah mambo. 

Sebenarnya ini kompleks perumahan untuk para pengawal keamanan masyarakat.  Sebuah rumah kompleks "anak kolong", itu julukan untuk kami anak kompleks.

Pindah ke Jakarta tidak ada dalam benakku sebagai seorang anak. Kami anak-anak bapak pastinya harus ikut kemana orang tua akan membawa. Pindah ke Jakarta siapa yang tidak mau, tetapi pindah ke daerah pantai dari daerah pegunungan, sungguh jauh dari keinginan mamah. Aku dan saudara-sadaraku masih kecil belum mengerti apa yang diinginkan. 

Aku pernah bertanya pada bapak mengapa harus pindah ke Tanjung Priuk dan tidak meminta ke wilayah selatan yang katanya lebih sejuk dan tidak gersang. Bapak bilang tempat inilah yang cocok dengan bapak. Kompleks ini dekat dengan tempat bapak bekerja.

"Nuri mau tahu gak mengapa dinamakan Tanjung priuk?" malam itu bapak menemani aku dan saudaraku belajar. Kami diharuskan membaca apa saja bacaan yang ada di rumah. Aku paling senang membaca buku cerita terutama cerita sejarah.

"Cerita Pak, ayo cerita!" aku memeluk bapak meminta bapak cerita. kalau bapak bercerita pastinya seru karena bumbu cerita bapak selalu sayang  untuk dilewatkan.

"Asyikkk, kita dengar cerita yah Pak?" adikku ikut bergelayut di pundak bapak yang duduk santai di sofa.

Kakakku yang sedang membaca novel di kamar ikut bangkit dan mengambil posisi di sebelahku. Mulailah bapak bercerita. Bapak bercerita tentang asal-usul nama Tanjung Priok, yang antara lain konon berasal dari kata tanjung dan priok. Kata bapak kata tanjung artinya daratan yang menjorok ke laut dan kata priok (periuk) yakni semacam panci masak dari tanah liat yang merupakan komoditas perdagangan sejak zaman prasejarah.

"Jadi panci itu namanya periuk yah Pak?" tanya kakakku.

"Katanya seperti itu." Bapak menyerumput teh hangat yang diberikan mamah.

"Loh, kok bisa disandingkan dengan Periuk? Kalau Tanjung aku tahu karena di Ancol aku melihat, tapi mengapa Periuk Pak? Memang di Tanjung itu ada pabrik pembuatan Periuk?" tanyaku masih belum paham mengapa harus kata Periuk.

"Jadi dinamakan periuk, karena orang-orang yang bekerja di perahu atau para nelayan selalu membawa periuk untuk menanak nasi, selama mereka di laut periuk nasi itulah yang menemani untuk memasak." Penjelasan bapak mulai masuk akal. Bapak melanjutkan lagi cerita daerah yang menjadi tempat kami tinggal.

Belanda mengembangkan kawasan Tanjung Priok sebagai pelabuhan baru Batavia pada akhir abad ke-19 untuk menggantikan pelabuhan Sunda Kelapa yang berada di sebelah baratnya. Sebab, pelabuhan tersebut sudah menjadi terlalu kecil untuk menampung peningkatan lalu lintas perdagangan yang terjadi akibat pembukaan Terusan Suez. 

Pembangunan pelabuhan baru dimulai pada 1877 oleh Gubernur Jendaral Johan Wilhelm van Lansberge (1875-1881). Beberapa fasilitas dibangun untuk mendukung fungsi pelabuhan baru, diantaranya stasiun kereta api Tanjung Priok pada 1914.

"Oh pantas, ada rel kereta api yang melintas di kompleks kita yah pak." Kali ini mamah menyahut sambil menidurkan adikku. Waktu itu kadang-kadang ada kereta barang yang melintas di kompleks kami.

"Ada lagi cerita tentang asal usul Tanjung Priuk ini, mau dengar gak?" tanya bapak melihat adikku sudah menguap. Mataku masih terang benderang. Cerita yang disampaikan bapak membuat aku seperti berada di Jakarta ketika masih Batavia. Kalau ini yah pastinya lebay banget yah.

"Mauuuuu, aku teriak lebih dahulu, Dek jangan ngantuk yah, nanti gak selesai cerita bapak." Aku membujuk adikku yang mulai meredup kedua matanya. Aku lihat adikku mengangguk. Tita paling takut tidak kebagian cerita bapak, karena bapak tak akan mengulang kembali cerita yang sudah disampaikan. Adikku ini badannya kecil dan orang kompleks sering memanggilnya cingir alias kecil

"Mah, masih ada teh gak yah." Bapak berjalan ke dapur. Sebelum bapak sampai dapur mamah sudah membawakan teh hangat. Bukan hanya untuk bapak, tapi empat gelas teh hangat mamah bawa. Yang pasti bapak akan dapat satu gelas, aku, adikku, dan kakakku.

"Mah, berdua yah." Kata Tita dengan mata setengah mengantuk. Rambutnya yang berponi dan hidung kecilnya yang mengendus membuat mamah tertawa dan mengusap muka Tita.

Bapak melanjutkan ceritanya mengenai sejarah Tanjung Priuk. "Versi lain menyatakan, nama daerah ini bermula dari nama pohon tanjung (mimusops elengi) yang tumbuh menandai makam Mbah Priok (Habib Ali Al-Haddad). Versi yang lebih lengkap tentang sejarah Tanjung Priuk, dikisahkan bahwa Mbah Priok yang biasa dipanggil Habib, adalah seorang ulama kelahiran Palembang pada 1727. Dia kemudian ke pulau Jawa untuk menyebarkan agama Islam. Bersama pengikutnya, Habib berlayar menuju Batavia selama dua bulan. Lolos dari kejaran perahu Belanda, kapalnya digulung ombak besar. Sehingga semua perlengkapan di dalam kapal hanya di bawah gelombang. Akibatnya, yang tersisa hanya alat penanak nasi dan beberapa liter beras yang berserakan. Habib sendiri ditemukan tewas di sebuah semenanjung yang saat itu belum punya nama."  Bapak mengendong Awan yang bangun dari tidurnya.

"Wah, seru juga yah." Komentarku ditanggapi Tita dengan suara mendengkur.

"Di samping jenazahnya ditemukan pula periuk dan sebuah dayung. Kemudian oleh warga, sebagai tanda, makam Habib diberi nisan berupa dayung, sedangkan periuk diletakkan di sisi makam itu. Konon, dayung tersebut tumbuh menjadi pohon tanjung. Sedangkan priuknya hanyut terbawa ombak. Tetapi, setelah empat tahun, periuk itu konon kembali lagi ke sisi makam Habib.Nah, cerita ini bapak baca di buku tentang sejarah Jakarta loh."  Bapak menjelaskan darimana bapak mendapat cerita ini.

"Aku mau baca bukunya, Pak." Kataku antusias. Tak ada yang membuatku penasaran selain harus membacanya sendiri.

"Nanti bapak pinjamkan dari perpustakaan kota tua yah, Ri." Jawaban bapak membuat aku semangat. "Sekarang bapak lanjutkan cerita bapak yah." Kami semua mengangguk dengan menyeruput teh hangat yang disediakan mamah.

"Kisah periuk nasi dan dayung yang menjadi pohon tanjung itulah yang kemudian diyakini sebagai asal usul nama Tanjung Priok. Sedangkan panggilan Mbah Priok merupakan penghormatan untuk Habib, yang makamnya kini masih ada di daerah Tanjung Priuk dan sering diziarahi warga." Bapak menghabiskan teh yang tersisa di cangkir.

"Dimana Pak, makam Mbah Priuk?" Mamah antusias sekali menanyakan bapak. Rupanya mamah ikut juga mendengarkan cerita bapak.

"Nanti kita berkunjung ke sana yah, sekarang karena sudah malam, seperti biasa sikat gigi, cuci kaki dan ti........

"Durrrrr," serempak kami melanjutkan kata-kata bapak. Berebutan aku dan saudaraku ke kamar mandi. Celotehan kami masih nyaring terdengar. Malam ini ada cerita yang bisa aku banggakan pada teman-temanku kalau aku tahu sejarah Tanjung priuk. Tapi sampai kami pindah dari rumah mambo, bapak belum mengajak kami pergi ke makam Mbah Priuk. 

Kenangan bersama Bapak membuat aku ingin mewujudkan mimpi bapak menjadi kebanggaaannya. Tak perlu banyak uang untuk melihat dunia luar tunjukkan prestasimu itu sudah merupakan prestasi. Aku sudah mengelilingi Indonesia diundang ke luar negeri dan menjadi penulis juga guru untuk Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun