Kakakku yang sedang membaca novel di kamar ikut bangkit dan mengambil posisi di sebelahku. Mulailah bapak bercerita. Bapak bercerita tentang asal-usul nama Tanjung Priok, yang antara lain konon berasal dari kata tanjung dan priok. Kata bapak kata tanjung artinya daratan yang menjorok ke laut dan kata priok (periuk) yakni semacam panci masak dari tanah liat yang merupakan komoditas perdagangan sejak zaman prasejarah.
"Jadi panci itu namanya periuk yah Pak?" tanya kakakku.
"Katanya seperti itu." Bapak menyerumput teh hangat yang diberikan mamah.
"Loh, kok bisa disandingkan dengan Periuk? Kalau Tanjung aku tahu karena di Ancol aku melihat, tapi mengapa Periuk Pak? Memang di Tanjung itu ada pabrik pembuatan Periuk?" tanyaku masih belum paham mengapa harus kata Periuk.
"Jadi dinamakan periuk, karena orang-orang yang bekerja di perahu atau para nelayan selalu membawa periuk untuk menanak nasi, selama mereka di laut periuk nasi itulah yang menemani untuk memasak." Penjelasan bapak mulai masuk akal. Bapak melanjutkan lagi cerita daerah yang menjadi tempat kami tinggal.
Belanda mengembangkan kawasan Tanjung Priok sebagai pelabuhan baru Batavia pada akhir abad ke-19 untuk menggantikan pelabuhan Sunda Kelapa yang berada di sebelah baratnya. Sebab, pelabuhan tersebut sudah menjadi terlalu kecil untuk menampung peningkatan lalu lintas perdagangan yang terjadi akibat pembukaan Terusan Suez.Â
Pembangunan pelabuhan baru dimulai pada 1877 oleh Gubernur Jendaral Johan Wilhelm van Lansberge (1875-1881). Beberapa fasilitas dibangun untuk mendukung fungsi pelabuhan baru, diantaranya stasiun kereta api Tanjung Priok pada 1914.
"Oh pantas, ada rel kereta api yang melintas di kompleks kita yah pak." Kali ini mamah menyahut sambil menidurkan adikku. Waktu itu kadang-kadang ada kereta barang yang melintas di kompleks kami.
"Ada lagi cerita tentang asal usul Tanjung Priuk ini, mau dengar gak?" tanya bapak melihat adikku sudah menguap. Mataku masih terang benderang. Cerita yang disampaikan bapak membuat aku seperti berada di Jakarta ketika masih Batavia. Kalau ini yah pastinya lebay banget yah.
"Mauuuuu, aku teriak lebih dahulu, Dek jangan ngantuk yah, nanti gak selesai cerita bapak." Aku membujuk adikku yang mulai meredup kedua matanya. Aku lihat adikku mengangguk. Tita paling takut tidak kebagian cerita bapak, karena bapak tak akan mengulang kembali cerita yang sudah disampaikan. Adikku ini badannya kecil dan orang kompleks sering memanggilnya cingir alias kecil
"Mah, masih ada teh gak yah." Bapak berjalan ke dapur. Sebelum bapak sampai dapur mamah sudah membawakan teh hangat. Bukan hanya untuk bapak, tapi empat gelas teh hangat mamah bawa. Yang pasti bapak akan dapat satu gelas, aku, adikku, dan kakakku.