"Aku bantu tuang ke plastik ya, Mah." Mulutku masih penuh nasi dan tangan kiriku menjangkau plastik es.
"Makan dulu nanti bantunya habis Nuri makan." Mamah menjauhkan tanganku dari plastik es.
"Asyik, bikin es mambo." Adikku Tita berseru sambil memegang baskom air merah. Tangan mungilnya sibuk menyendok air dan mengangkat biji mutiara dengan sendok. Sambil tertawa Tita memakan biji mutiara. Matanya mendelik-delik merasakan biji mutiara. Aku heran mengapa harus mendelik seperti itu. Kalau kata anak sekarang adikku ini lebay.
"Yah, kurang manis Mah." Seru Tita. Muka kecilnya mendadak mengerut. Mulutnya dimonyongkan tanda penilaiannya pasti akurat.
"Masa sih kurang manis." Mamah mengambil air sirop dengan ujung tangannya. Tak lama secentong besar gula pasir yang putih sudah tertuang di baskom. Adikku tersenyum bangga karena penilaiannya tentang rasa es mambo diapresiasi mamah. "Es memang harus lebih manis dari minuman, karena kalau sudah mengeras rasa itu akan perlahan berkurang." Itu alasan mamah mengapa es yang dibuat harus manis berbeda dengan minuman. Mamah selalu menggunakan gula pasir bukan biang gula. Makanya es mamah terjamin asli manisnya.
Aku ingat benar, hari kami memulai usaha es mambo. Aku dan adikku Tita tentu saja jadi pengusahanya hahahahaha. Es mambo ini resmi menjadi dagangan aku dan adik. Kenangan masa kecil tentang es mambo dan cara kami berjualan begitu terpatri.Â
Aku dan Tita tidak berdagang keliling kompleks hanya menaruh termos es di depan rumah dan iklan jualan kami hanya omonganku pada teman-teman kalau kami berjualan es mambo. Pelanggan kami tentu saja teman-teman kami sendiri, tetangga kiri-kanan di kompleks.Â
Bahkan untuk menarik perhatian pembeli aku dan Tita pernah berebut es mambo. Teman-teman yang melerai ikut penasaran mengapa es tersebut jadi rebutan.Â
Ahaaa, taktik jualan kami berhasil semakin banyak yang membeli, bahkan jenis es mambo yang tadinya hanya berwarna mulai bervariasi.Â
Mamah memang selalu punya ide. Ada es mambo rasa coklat yang dibuat dari susu coklat dan diberi meisis, ada es kacang hijau, ada es ketan hitam, bahkan ada es teh susu. Dagangan kami selalu habis apalagi di samping rumah ada lapangan tempat anak-anak bermain.
Ibu-ibu kompleks yang memiliki kulkas pastinya juga membuat es ini. Banyak yang menitipkan di warung-warung. Tahun 80-an kulkas masih barang langka hanya satu dua keluarga yang memiliki.Â