Mohon tunggu...
Seni Asiati
Seni Asiati Mohon Tunggu... Guru - Untuk direnungkan

Berawal dari sebuah hobi, akhirnya menjadi kegiatan yang menghasilkan. Hasil yang paling utama adalah terus berliterasi menuangkan ide dan gagasan dalam sebuah tulisan. Selain itu dengan menulis rekam sejarah pun dimulai, ada warisan yang dapat kita banggakan pada anak cucu kita nantinya. Ayo, terus torehkan tinta untuk dikenang dan beroleh nilai ibadah yang tak putus.

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Lebaran di Kampungku Penuh Warna

18 Mei 2020   15:33 Diperbarui: 18 Mei 2020   15:29 417
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saya sudah lama tinggal di daerah Tanjung Priuk Jakarta Utara. Ingat-ingat sih dari saya usia 9 tahun mengikuti ayah yang pindah bertugas ke Jakarta. 

Lain tempat hidup juga lain perilaku dan kebiasaan masyarakat untuk hidup. Kehidupan seputaran orang Tanjung Priuk tidak banyak karena daerah tempat saya tinggal hidup berbagai masyarakat dari berbagai daerah.

Tradisi lebaran baru terasa ketika kami sekeluarga pindah lagi ke daerah Cilincing masih wilayah Tanjung priuk tetapi agak jauh ke daerah pelosok. Masyarakat di sini mayoritas penduduk asli Betawi atau orang Jakarta asli. Lebaran di daerah ini lebih terasa dan kata orang Betawi sih lebih 'nonjok' gitu. 

Seminggu sebelum Ramdhan saja tradisi Betawi sudah kental sekali yaitu 'bebenah' masjid atau bersih-bersih masjid. Selain itu tradisi munggahan atau ritual kenduri dengan mengundang tetangga sekitar untuk mendoakan agar tuan rumah dapat menjalankan puasa dengan baik dan diberikan kesehatan. 

Setiap hari ada saja undangan untuk munggahan. Setiap hari pula saya dan saudara-saudara menunggu ayah pulang dengan membawa 'berkat' atau bancakan yang isinya makanan nasi dan lauk pauknya. Kadang ada tuan rumah yang tidak memberikan dalam bentuk 'berkat' tetapi mengajak tamu yang hadir untuk makan bersama.

Ada yang lucu dari tradisi 'makan bersama' jika tuan rumah tidak memberikan 'berkat' atau bungkusan makanan dalam kardus atau besek maka tuan rumah akan mengajak tamu makan. 

Selain makan tuan rumah juga menyediakan rokok kretek yang ditaruh di gelas berikut korek api. Selain itu ada tambahan makanan kecil berupa kue-kue khas daerah juga buah-buahan yang ditempatkan di piring-piring kecil. Serunya ketika selesai para tamu makan, rokok, kue, dan buah-buahan dipastikan sudah tandas oleh para tamu. 

Kalau tuan tumah tidak menyediakan plastik maka mereka akan memasukkan di kantong baju koko. Hemmmm seru juga yah. Awalnya kami sekeluarga bingung melihat semua piring yang tadinya penuh dengan makanan ludes tanpa sisa. Alhamdulilah sih tidak mubazir.

Bagaimana dengan ritual lebaran?

Seminggu sebelum lebaran biasanya ada kegiatan membuat "dodol' bareng. Biasanya yang menjadi tempat untuk mengaduk dodol adalah rumah yang memiliki pekarangan luas. Mereka yang akan membuat dodol membawa bahan-bahan membuat dodol. 

Untuk alatnya sudah disediakan tuan rumah yaitu wajan yang lumayan besar dan tongkat kayu pengaduk yang panjang dan kuat. Pembuatan dodol ini dilakukan dengan bergotong royong. 

Waktu pengerjaannya cuku lama hamper 12 jam diaduk terus biar tidak gosong. Ada satu kepercayaan masyarakat bahwa wanita yang sedang menstruasi tidak boleh ikut mengaduk dodol atau membuat dan meracik bahan dodol.

Kerja sama yang luar biasa dari filosofi dodol, ada keakraban terjadi mereka saling bercerita apa saja agar tidak jenuh ketika melakukan pekerjaan mengaduk dodol. 

Jika ada yang lelah mengaduk harus ada yang menggantikan atau istilahnya tidak boleh putus untuk mengaduk dodol. Dodol itu nantinya akan dibagikan berdasarkan bahan-bahan yang diberikan selain itu yang membantu pun dapat jatah dodol. 

Saya pernah mencoba menagduk dodol tangan saya tak kuat mengangkat kayu pengaduk. Selain dodol yang juga liat juga panasnya api yang digunakan memakai kayu bakar itu luar biasa asap dan panasnya.

Nah yang ini lebih seru lagi sehari sebelum lebaran. Setelah shalat magrib masjid mulai mengumandangkan gema takbir yang tidak berhenti sampai subuh datang bahkan sampai akan salat ied. 

Rumah orangtua saya pas di depan masjid, terbayangkan ga bisa tidur karena riuhnya gema takbir. Volume takbir tersebut juga dibunyikan sekencang-kencangnya. 

Waktu saya masih kecil penduduk di daerah saya belum sebanyak sekarang. Para pendatang bisa dihitung dan kami saling mengenal. Bukan hanya itu setelah salat isya dan pembagian zakat mulailah petasan dibunyikan dengan suaranya yang menguncang dada. 

Hahahahahha, itu serunya karena kami yang baru tinggal di daerah tersebut pada malam takbiran pertama benar-benar kaget. Mamahku malah berpikir kompor gas kami meledak. Suasana malam takbiran itu menjadi wisata tersendiri bagi kami anak-anak kampung. Semarak sekali bunyi beduk dan bunyi petasan.

Pagi hari kami salat ied di  masjid bahkan sampai keluar masjid dan memenuhi jalan. Bahkan pelataran rumah orangtua saya jadi tempat salat juga. Membludaknya jamaah membuat setiap tahun masjid mengalami pembangunan dan pelebaran.  

Sayangnya hanya ketika salat ied saja masjid penuh. Salat wajib terutama zuhur, ashar, dan subuh kehilangan jamaahnya. Kata ayah karena mereka bekerja di luar rumah jadi tidak bisa ikut salat berjamaah seperti ayah saya yang selalu pulang setelah salat isya. Ayah bisa ikut salat jamaah kalau libur dari pekerjaannya.

Bukan salat wajib saja yang kehilangan jamaah, salat taraweh di bulan Ramadhan hanya ramai di minggu pertama dan selanjutnya mengalami kemajuan atau shaf jamaahnya maju ke depan. Mungkin sama yah dengan masjid-masjid di daerah lain yang kehilangan jamaahnya.

Kembali lagi pada lebaran di kampung saya. Setelah selesai salat iedul fitri para jamaah akan bersalaman dan kembali ke rumah masing-masing. Sesepuh kampung atau orang yang dituakan di daerah kami hanya cukup di rumah saja tidak keliling kampung. 

Untungnya orang tua saya termasuk yang dituakan di kampung jadi kami cukup menanti para tetangga di rumah saja. Ada beberapa yang dituakan di kampung dan tidak ke rumah orang tua saya. 

Biasanya sore hari setelah semua tetangga (tentunya yang tidak mudik) ke rumah orang tua, kami yang akan mendatangi para sesepuh kampung yang belum ke rumah kami.

Orang tua saya selalu dapat hantaran lebaran salah satunya dodol Betawi walaupun orang tua saya tidak ikutan membuat atau memberikan bahan. 

Kata mereka yang memberikan, pemberian itu bentuk penghormatan kepada orang tua saya sebagai pendatang yang bukan suku asli mereka. Yang ditunggu oleh anak-anak kecil adalah uang lebaran. 

Dulu waktu saya kecil hal inilah yang ditunggu, saya akan berkeliling kampung untuk mengambil jatah lebaran walau ada juga yang tidak memberikan. Mamah selalu membelikan dompet baru yang saya kenakan untuk berkeliling. dompet itu atau tepatnya tas kecil dengan tali panjang jadi saya tak susah membawa dengan tangan saya. 

Setelah berkeliling biasanya saya dan saudara-saudara saya akan menghitung berapa penghasilan kami. uang pendapatan berkeliling itu sebagian saya tabung dan sebagian pastinya untuk jajan. seiring bertambah usia apalagi sudah bekerja gantian saya yang memberikan. Ritual memang akan terus berputar seiring berjalannya waktu.

Setiap daerah memang memiliki tradisi yang berbeda indahnya kekhasan daerah di Indonesia yang luar biasa ketika lebaran.

Apa keseruanlebaran di  daerahmu?

Foto Pribadi
Foto Pribadi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun