Tak tau lagi kita siapa yang terbujur siapa pula yang mujur dalam zaman kegelapan yang serba materialis ini. Namun orang awam saja, yang pengetahuannya dangkal sudah merasakan mual bin muntah lihat sistem kebinasaan yang mengatur kehidupan kita ini. Mau sistem ideologinya, sistem politiknya, sistem ekonomi maupun budayanya kesemuanya hanyalah mainan segelintir orang yang gembira melihat manusia nyemplung ke tong sampah peradaban.Â
Tak jauh dari orang awam orang pintar pun berdiri dengan kesimpulan yang sama. Ada ribuan ahli dengan ribuan bukunya menyimpulkan bahwa zaman dimana  manusia hidup hari ini adalah zaman kegelapan, inilah zaman kebodohan, zaman manusia kehilangan harkat dan martabatnya yang merupakan fitrahnya. Zaman dimana ada manusia senang menghisap manusia. Zaman dimana manusia senang  mengeksploitasi manusia dan juga alam semesta.Â
Dalam kegelapan yang melanda dunia saat ini, ada dua konsep hidup yang menjadi gantungan manusia dimuka bumi ini yaitu agama dan demokrasi. Pertanyaannya, bagaimana kesudahan agama dan demokrasi, yang menjadi tempat bergantungnya ummat manusia pada akhir zaman?
Sistem Demokrasi
Syahdan, semua orang pintar yang ada di universitas yang berpikir universal menyatakan bahwa tidak ada sistem yang paling diyakini dapat menyejahterakan ummat manusia di muka bumi ini kecuali sistem liberal-demokrasi. Inilah sistem yang digandrungi oleh bangsa-bangsa di dunia dalam mengatur kehidupan bangsanya.
Namun, bagi orang yang lemah sistem ini juga dituding menjadi biang kerok ketertindasan mereka. Dari sistem ini lahir dan besar pemimpin yang lupa pada rakyatnya. Dari sistem ini lahir dan besar pemimpin yang tega menghisap darah rakyatnya. Dari sistem ini lahir dan besar serigala sebagai penggembala domba. Inilah sistem tanpa filter moral yang mengundang bebas masuk para bedebah menjadi penguasa.Â
Sudah sering dijelaskan, sistem demokrasi adalah sistem dajjal, yaitu sistemnya para pendusta. Sistem yang mengagungkan kebebasan, persaingan, individu dan kesetaraan. Sistem yang paling digandrungi oleh  para penjahat dan penipu saat ini. Mau lihat buktinya, lihat saja bagaimana rakyat ramai meninggalkan tps-tps (gelanggang demokrasi) karena tak percaya pada janji palsu para pemimpinnya. Lihat saja, justru para penjahat lah yang ramai gandrung demokrasi dan mempercayainya. Mereka justru rajin beli suara rakyat, mengajak datang ke tps-tps dan kampanye tentang pentingnya demokrasi.
Ingat dalam sistem demokrasi yang penuh dengan kebebasan dan tanpa dasar etika moral ini, tujuan akhir  yang dikejar oleh milyaran orang di dalamnya adalah materi. Semua orang sejak lahir telah terdorong secara alamiah oleh lingkungannya menghamba pada materi. Itu sebabnya, semua institusi pendidikan, ilmu pengetahuan yang ada, dirancang untuk untuk mendapatkan materi.Â
Sementara bagi mereka yang tak berpendidikan tidak ada cara lain mendapatkan materi kecuali melalui korupsi, menjual pengaruh, melacurkan harga diri, ijon proyek, jual asset negara atau pinjaman berbunga. Artinya, kelas yang berpunya hanyalah diisi oleh orang pintar yang materialistik dan para mafia. Pada keduanyalah ummat manusia bergantung dan meminta pertolongan.
Sudah lah benar, jika ada yang mengatakan saat ini sebagai penggenapan lahirnya kerajaan para pencuri (kleptokrasi) sebagaimana yang sudah sering diprediksi. Mengapa para klepto bisa jadi pemenang? Karena pada sistem demokrasi kuantiti menjadi ukuran yang utama. Seorang pencuri dan nabi memiliki nilai yang setara sama-sama mewakili dirinya. Manusia tidak lebih seperti deretan angka, tanpa jiwa. Mereka yang banyak akan ditetapkan menjadi pemenang, pengatur dan pemimpin manusia.Â
Agama & Demokrasi
Survey secara umum membuktikan bahwa rakyat jelata, yang bukan ilmuwan apalagi agamawan sudah benci dan muak dengan sistem pemilihan yang penuh dengan tipu-tipu ini. Sistem yang mengagungkan persaingan, jual-beli, kebebasan serta individual dengan tujuan material. Sementara para pakar, ilmuwan menyebutnya sebagai sistem ilusi, sistem kebohongan, sistemnya kaum liberal-kapital yang mengagungkan material.
Anehnya, masih ada saja pemuka agama yang tergila-gila untuk masuk memelas pada sistem dajjal seperti ini. Masih saja ada orang yang dengan alas agama ingin merebut kuasa dengan cara sistem dajjal ini. Masih ada saja ulama dengan nafsu meledak-ledak siap perang untuk memenangkan pilkada.Â
Masih saja ada orang diatas mimbar jumat mengatakan bahwa ikut pilkada dan memilih pemimpin yang seakidah adalah perintah Tuhan. Masih saja ada pemuka agama yang kesambet mengatakan memilih pemimpin wajib di negara yang mayoritas. Tampaknya ayat-ayat yang pernah dijual saat orde baru masih terus dilestarikan hingga saat ini.
Landasan moral manusia memang diambang pengeroposan. Cahaya keilahian sudah kelihatan redup, hitam dan putih kebenaran sudah bercampur menjadi satu. Segala sesuatu menjadi abu-abu. Tak tau lagi kita mana yang benar mana yang salah. Semua yang salah tampak sebagai kebenaran. Perbuatan yang benar dihujat dan dilaknat. Dunia wolak-walik kata Ronggowarsito.
Agama jelas tak sejalan dengan demokrasi. Satu datang sebagai ciptaan Tuhan, yang satunya datang dari ciptaan akal manusia. Satu untuk mengabdi kepada Tuhan, yang satu mengabdi kepada rakyat. Keduanya berseberangan seperti minyak dan air tak bisa disatukan, betapapun semua ulama coba mengelabuinya.
Dalam agama prinsipnya jelas, kekuasaan itu milik Tuhan. Manusia mendapat kuasa dari Tuhan, karena manusia sebagai wakil-Nya dan diestafetkan oleh para wakil Tuhan dengan musyawarah begitu seterusnya. Tak pernah ada sekalipun pemilihan sebab tak perlu ada yang mesti dipilih. Mana yang paling mulia dia yang dibaiat menjadi penggembala ummat.Â
Guru Agama Akhir Zaman
Mungkin jawabannya ada pada waktu. Hari ini adalah zaman akhir, zaman pelapukan. Rumah yang dibangun para Nabi, orang yang benar (shiddiq), orang yang ikhlas (muchlis), para saksi Tuhan (syuhada), kini sudah termakan usia, lapuk dan bahkan telah rubuh. Singgasana kemuliaan yang dulu megah kini hilang tak tampak bekasnya. Sinar kebenarannya yang dulu bak mentari menyinari dunia kini sudah redup seiring dengan redupnya akhlak mulia manusia.
Tak ada lagi guru yang mengajarkan akhlak mulia, tidak gila kuasa, tidak mencuri, tidak berzina, tidak membunuh, tidak berdusta, tidak berbuat zalim terhadap sesama manusia. Tidak ada lagi guru yang dengan sabar mengajarkan membangun pondasi keimanan yang kokoh sebagai benteng menghadapi nafsu dunia. Tidak ada lagi guru yang mengajarkan fase-fase pembangunan bangsa seperti yang dilakukan zaman Rasul dahulu. Tidak ada lagi guru bijak yang menurunkan ilmu "siapa yang mengenal dirinya hendaklah dia mengenal Tuhannya".
Kalau ada guru yang mengajarkan bagaimana membangun peradaban yang haq, berdasarkan hukum Tuhan, mengajarkan bagaimana mengabdi kepada Tuhan maka pasti dialah guru yang sejati, guru yang sebenarnya. Sebagai bangsa yang sedang terpuruk puruk kita butuh figur penyelamat. Kita tak butuh guru yang bisa sekedar mendapat upah dengan menjual ayat.
Penutup
Hari ini, kita sudah tiba pada zaman akhir, ya.... inilah zaman kalabendu, zaman para buto cakil berpesta ria. Banyak bermunculan guru tentang agama pada zaman akhir ini. Namun, umumnya berwatak liberal bin material. Klop sudah dengan demokrasi yang sudah duluan menjadi guru liberal bin material.Â
Jangan heran jika kita menyaksikan para guru agama sibuk mengejar- ngejar kekuasaan, mirip politisi, sulit kita membedakan. Sangat jauh dari kesan sabar, tulus, ikhlas dalam membangun pondasi ruhaniyah, memperkuat kesatuan. Semuanya ingin serba instan. Hari ini ceramah, hari ini juga dapat upah, besok ummat akan bahagia.Â
Karena berpikir instan, maka lebih banyaklah mementingkan jatah kantong pribadinya ketimbang melihat hasilnya. Sehingga, kebiasaan yang terbentuk dalam pribadinya adalah kebiasaan menerima upahan, tak terbiasa memberi, dan menyampaikan pesan Tuhan sudah dibuat menjadi pekerjaan bukan pengabdian.
Pantaslah jika rumah ibadah sudah mirip pasar sebab banyak transaksi berbayar antara si penjual dengan si pembeli. Mereka yang ahli agama menjual ayat-ayat Tuhan yang keluar dari mulutnya sementara jamaah membeli dengan bayar sedeqah untuk membayar upahnya.Â
Bila tansaksi yang diperoleh kecil, maka sedihlah hati sipenceramah, teringatlah ia, dengan uang segitu tak cukup untuk membeli minyak mobilnya, ia pun pasang niat tak akan datang lagi berceramah. Esok lusa eloklah cari tempat ceramah yang lebih menjanjikan upahnya. Hukum pasar berlaku, mana yang menguntungkan kesitulah kita pergi.
Â
Akhir zaman.......
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI