Mohon tunggu...
sendyakala16
sendyakala16 Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Ahok & Singkap Keburukan

13 Oktober 2016   08:46 Diperbarui: 13 Oktober 2016   09:24 2982
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Itu sebabnya mereka selalu berlindung dibalik kalimat ‘perbedaan itu rahmat’ sebab mereka memang tak bisa bersatu. Tampaknya saja mereka duduk bersama dalam satu meja, namun sesungguhnya isi kepala mereka tidak sama. Tampaknya saja mereka duduk di mesjid istiqlal bersama-sama namun pulang dari istiqlal pikiran mereka kembali berbeda-beda, saling intip dan saling waspada serta saling curiga.

Anehnya, yang menjadi pemimpin partai Islam, ormas Islam, ulama Islam justru mereka yang sama sekali tak paham agama. Sebut misalnya SBY maupun Prabowo. Mereka berdualah yang sebetulnya saat ini lebih pantas disebut sebagai pemimpin parpol dan ulama Islam bahkan ummat, meski mereka bukan ulama atau pemuka agama. Bahkan kita pun tak tahu cara mereka beragama seperti apa, apakah sesuai dengan sunnah rasul atau sesuai dengan pikirannya sendiri.

Mengapa parpol dan ulama serta ummat Islam lebih bisa tunduk patuh pada mereka? Ternyata, sebabnya adalah mereka memiliki semua syarat yang dibutuhkan oleh parpol dan ulama Islam. Parpol dan ulama Islam selalu melihat sosok pemimpin itu dari tampilan luarnya yaitu identik dengan kemewahan dan ‘kewahan’ maupun kekayaan serta jabatan dan kekuatan serta posisi subjektif lainnya. SBY dan Prabowo adalah mantan pejabat (mantan pejabat/petinggi), memiliki kekayaan untuk membiayai kebutuhan politik (kebutuhan tempur), dan keduanya bukan saingan dalam ranah memperebutkan suara ummat Islam.

Dalam konteks keagamaan ternyata SBY dan Prabowo dipilih karena bukan merupakan pesaing bagi parpol dan ulama Islam. SBY dan Prabowo adalah pemimpin parpol berbasis  nasionalis. Jadi, SBY dan Prabowo dianggap lebih netral dan tidak bersilang kepentingan antar sesama parpol dan ulama perebut simpati suara ummat Islam. Inilah sesungguhnya fakta dan kualitas mental parpol dan ulama Islam dalam menentukan pemimpin baik pemimpin nasional, daerah maupun lokal. Pantas jika dalam setiap Pilpres posisi parpol dan ulama Islam hanya sebatas jurkam belaka.

Masyarakat Jenuh & Muak

Lambat laun masyarakat jenuh dan muak dengan perilaku dan sikap pemuka agama dan masyarakat agama yang terus menerus monoton dengan mangandalkan ceramah, jubah, materi kafir dan tidak kafir dan ‘amplop’ melulu. Perubahan yang selalu diceramahakan dan dijanjikan kerap tak kunjung tiba. Solusi yang selalu disampaikan dalam berbagai pertemuan tak juga membuahkan hasil yang menggembirakan.

Akhirnya, ketika muncul orang-orang yang berbuat konkrit dan nyata dalam kehidupan masyarakat, masyarakatpun langsung bergeser dan beralih pandangan. Masyarakat jelas butuh orang atau pemimpin yang dapat mereka percaya karena berbuat nyata kepada mereka. Jadi masyarakat pasti akan meninggalkan para penceramah. Masyarakat tidak perduli lagi latar belakang dan segala macam pernak-pernik yang ada dibalik si pemimpin tersebut. Beda agama atau ras atau kelompok atau warna kulit menjadi tak penting.

Satu yang penting adalah perbuatannya nyatanya saja di tengah masyarakat. Perbuatan nyata itu bukan berarti bentuknya gotong royong seminggu sekali membersihkan parit di depan rumah mereka saja. Namun mereka juga berbuat untuk melakukan tindakan-tindakan nyata yang lebih besar dalam membuat kebijakan-kebijakan diberbagai sektor kehidupan masyarakat seperti pendidikan, kesehatan, pemukiman yang sangat-sangat dibutuhkan masyarakat. Jadi tidak sebanding jika ada ormas-ormas yang hanya bergerak dalam masalah kebersihan parit seminggu atau sebulan sekali kemudian berharap dikatakan sudah berbuat untuk masyarakat.

Anti Ahok Sampai Mati

Ahok jelas adalah alarm bahaya bagi para ulama dan parpol Islam bukan oleh masyarakat Islam. Sebab ahoklah yang telah menyingkap tabir keburukan parpol dan ulama dalam sepanjang sejarah politik keagamaan di tanah air. Brending ahok yang serba negatif dan minimalis justru ternyata mendapat dukungan dari masyarakat Ibukota Republik Indonesia yang mayoritas Islam.

Dukungan rakyat Ibukota dari suatu negara berpenduduk Islam terbesar di dunia kepada seorang yang beragama Kristen dan beretnis Tionghoa tentu saja saat ini menjadi viral dan ‘jualan’ yang menyeramkan ditebar di berbagai rumah-rumah maupun tempat ibadah. Ketidak mampuan membendung dukungan kepada ahok dari masyarakat muslim DKI tentu saja akan menjadi anti klimaks 71 tahun dakwah pasca merdeka yang tidak membekas dan mungkin saja ‘tidak berguna’ bagi masyarakat. Inilah momok sekaligus mimpi buruk yang sulit diterima atau bahkan merupakan kutukan yang mesti dihindari.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun