Tak berbalut marmer atau berlapis kaca,
Rumahku berwajah dedaunan dan senja,
Temboknya tembok tanah, atap rumbia,
Lantai bambu berdendang di bawah telapak kaki.
Pagi hari, cahaya matahari mencuri-curi masuk,
Menyelusup di sela-sela dedaunan,
Menyulam lantai dengan bintik-bintik keemasan,
Irama burung gereja menjadi alarm alami yang membangunkan.
Angin sepoi-sepoi menjadi konduktor orkestra alam,
Memkan dedaunan untuk bersahutan,
Gemuruh bambu terdengar bagai cello yang berbisik,
Gemericik air sungai melantunkan seruling tanpa henti.
Hujan datang, atap rumbia berdentang ritmis,
Sebuah simfoni orkestra perkusi yang gegap gempita,
Langit kelabu menjadi panggung pertunjukan,
Kilatan petir bagai lampu sorot yang dramatis.
Malam tiba, kunang-kunang berkerlap bak lampu panggung,
Jangkrik bernyanyi, serenada alam yang syahdu,
Bintang-bintang bak penonton yang terpukau,
Menikmati pertunjukan alam yang tak pernah redup.
Rumahku, bukan sekadar tempat bernaung,
Ia orkestra alam yang terus mengalun,
Simfoni dedaunan, irama angin dan hujan,
Karya seni ciptaan Sang Penggubah Agung.
Di sini, aku belajar berharmonisasi dengan alam,
Menyelaraskan denyut nadi dengan ritme semesta,
Menemukan kedamaian di antara suara dedaunan yang berdoa,
Rumahku, orkestra alam, simfoni jiwaku.