Hujan sore mengiringi langkahku pulang. Deretan rumah petak di gang sempit tampak kuyu, dibasuh air langit yang dingin. Dari sela jendela rumahku, sebuah cahaya kuning merembes, hangat dan mengundang. Di dalamnya, Ibu tengah sibuk mengaduk sup di dapur, aroma kaldu ayam dan bawang goreng memenuhi udara.
Senyumku mengembang. Meski lelah seharian bekerja, pulang ke pelukan aroma masakan Ibu selalu jadi obat penat yang ampuh. Aku melepaskan sepatu, meletakkan tas sembarangan di lantai, dan langsung menghampiri Ibu.
"Bu, hujan deres banget ya?" kataku, sambil memeluknya dari belakang.
"Iya, Nak. Tapi nanti pasti reda," jawab Ibu, tangannya tak henti mengaduk.
Aroma masakannya selalu ajaib. Setiap sup yang dimasak Ibu seperti menyimpan ribuan untaian doa dan cinta. Saat ini, sup itu tak sekadar makanan, tapi pelukan hangat yang menyiram jiwaku yang dingin.
Duduk di meja makan, aku memandangi Ibu. Wajahnya yang keriput, rambutnya yang mulai memutih, semua menuturkan kisah kasihnya yang tak pernah habis. Aku teringat masa kecilku, di mana Ibu biasa menghabiskan waktunya mengajariku membuat perahu kertas dari halaman buku bekas.
Kami akan duduk di teras, memandangi sungai di belakang rumah, dan menerjunkan perahu-perahu kertas itu ke aliran air yang tenang. Setiap perahu membawa harapan dan doa, mengarungi sungai kehidupan yang entah ke mana perginya.
"Bu, masih ingat perahu kertas?" tanyaku sambil menyeruput sup.
Ibu tersenyum, matanya berbinar. "Bagaimana mungkin Ibu lupa? Dulu kau suka sekali membuatnya, Nak."
"Sekarang aku nggak pernah lagi main perahu kertas, Bu," kataku pelan.