"Gus Arya," Naya membalik, matanya berbinar. "Mungkin nanti, senja akan menemukan pendengar barunya. Mungkin, cerita-cerita lama akan dibungkus dengan warna-warna baru. Mungkin, kopi dan candu tak lagi dicap setan, melainkan dihargai sebagai saksi bisu kehidupan."
Gus Arya tersenyum tipis, guratan-guratan di wajahnya seolah meredup sejenak. Ia melihat secercah api harapan di mata Naya, sama seperti yang ia lihat puluhan tahun lalu di mata para pelaut, seniman, dan penyair itu.
"Mungkin kau benar, Naya," katanya, mendekatkan cangklongnya ke lilin sekali lagi. "Mungkin senja masih punya waktu untuk cerita. Dan mungkin, cerita-cerita itu akan ditulis dengan aroma kopi dan asap candu yang sama, tetapi dengan tinta dan cahaya yang berbeda."
Asap candu mengepul lagi, membaur dengan aroma kopi yang kian pekat. Senja di luar perlahan meleleh ke malam, tapi di kedai tua itu, kisah-kisah terus hidup, menunggu diceritakan dan dirasakan oleh pendengar-pendengar baru, di bawah langit yang sama namun dengan perspektif yang berbeda.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H