Mohon tunggu...
Sendi Suwantoro
Sendi Suwantoro Mohon Tunggu... Mahasiswa - Ketua SEMA FTIK IAIN Ponorogo 2023/2024

Jangan pernah meremehkan orang walaupun bersalah jangan memandang diri sendiri ketika punya kelebihan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Menikam Senja dengan Asap Candu dan Aroma Kopi

11 Januari 2024   00:49 Diperbarui: 11 Januari 2024   01:05 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Udara senja merambat perlahan, senyap menyusup ke kedai kopi tua di ujung pasar. Rembang remang lampu minyak menerangi wajah Gus Arya, lelaki tua kurus dengan guratan pengalaman terpatri di kulitnya. Jemarinya mendekatkan nyala api lilin ke pipa cangklong tua, mengisap candu dengan khidmat, asapnya memilin ke langit-langit seperti doa yang diucapkan dalam bisik.

Di seberang meja, Naya, gadis belia bermata sayu, menyesap kopi pahit dari cangkir tanah liat. Aroma biji kopi robusta yang disangrai sempurna memenuhi rongga dadanya, pahitnya berpadu dengan nikotin candu yang samar, menciptakan simfoni sensasi tak terduga.

"Senja selalu punya waktu untuk cerita, Naya," kata Gus Arya, suaranya serak mengiringi gembulan asap yang mengepul dari mulutnya.

Naya mengangguk, matanya tertuju pada siluet gedung-gedung tua di luar jendela. Senja memang jam favoritnya, saat cahaya matahari yang lelah mewarnai dunia dengan rona jingga dan ungu, membuai imajinasi dengan kisah-kisah yang belum terbaca.

Gus Arya menyandarkan tubuhnya ke kursi kayu yang sudah kehilangan kilaunya, matanya menyipit mengenang. "Dulu, kedai ini dipenuhi pelaut dan seniman," lanjutnya. "Mereka datang mencari pelarian, pelampiasan, atau sekadar menemani senja yang sunyi."

Ia bercerita tentang pelaut yang merindukan daratan, pelukis yang dilanda kebuntuan, dan penyair yang kehilangan kata-kata. Setiap tegukan kopi dan hisapan candu mereka dibumbui oleh cerita masing-masing, pahit getir, harum remang, seperti senja itu sendiri.

Baca juga: Candu dan Kopi

Naya terpesona. Kisah-kisah Gus Arya merengkuhnya ke masa lalu, membaurkan aroma kopi dan candu yang ia hirup dengan kenangan orang-orang asing. Ia merasa terseret ke pusaran emosi yang mentah, ke simpul dan kompleksnya pengalaman manusia.

"Tapi sekarang, mereka semua pergi," Gus Arya menghela napas, matanya sayu menatap jendela. "Dunia terlalu gaduh, Naya. Senja tak lagi dihargai, kopi hanya diburu sekejap, dan candu... dicap sebagai setan."

Baca juga: Candu Rindu

Naya diam, hatinya tersentuh oleh sendu dalam suara Gus Arya. Ia tahu, zaman memang telah berubah. Kedai tua ini tak lagi ramai, sunyi menjadi teman setianya. Namun, bagi Naya, kedai ini adalah suaka, tempat senja masih berbisik dan cerita-cerita bernapas.

Ia bangkit, melangkah ke jendela, menatap senja yang kian pudar. Secercah cahaya jingga menembus celah gedung, menyinari sekuntum mawar merah yang mekar di sudut kedai. Harapan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun