Mohon tunggu...
Sendi Suwantoro
Sendi Suwantoro Mohon Tunggu... Mahasiswa - Ketua SEMA FTIK IAIN Ponorogo 2023/2024

Jangan pernah meremehkan orang walaupun bersalah jangan memandang diri sendiri ketika punya kelebihan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Batik Nenek dan Rindu yang Terurai

8 Januari 2024   12:45 Diperbarui: 8 Januari 2024   13:09 152
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Embun pagi masih bergantungan di dedaunan, kala Nina melangkah masuk ke rumah neneknya. Aroma kopi dan wangi melati yang khas menyambutnya, mengantar pelukan hangat neneknya yang tak pernah lekang.

"Sudah sampai, Nduk?" sapa nenek, matanya yang keriput menyipit penuh kasih.

Nina mengangguk, meletakkan tasnya di kursi kayu tua. "Nenek masak apa hari ini?"

Nenek terkekeh, kerut di wajahnya semakin dalam. "Masak rendang kesukaanmu, Nduk. Sama sayur kangkung."

Nina tersenyum, rendang nenek memang tiada dua. Tapi bukan rendang yang paling dirindukannya, melainkan batik nenek. Batik cokelat keemasan, sarat motif bunga melati, yang selalu dikenakannya saat Nina masih kecil.

"Nenek, batiknya mana?" Nina bertanya hati-hati, sudah lama ia tak melihat nenek mengenakannya.

Nenek terdiam, raut wajahnya berubah sayu. "Sudah tua, Nduk. Nggak pantas lagi nenek pakai."

Nina berlutut di samping nenek, meraih tangannya yang keriput. "Nenek nggak tua, kok. Nenek cantik pakai apa pun."

Baca juga: Candu Rindu

Nenek tersenyum, matanya berkaca-kaca. "Kamu selalu bisa bikin nenek senang, Nduk."

Nina mengambilkan kain batik itu dari lemari tua di sudut ruangan. Kain itu terlipat rapi, seolah menyimpan banyak cerita.

"Nenek, boleh Nina yang memakainya?" tanya Nina.

Nenek menatap cucu perempuannya dengan haru. "Boleh, Nduk. Nenek senang kalau kamu mau memakainya."

Nina perlahan membentangkan batik itu, aroma melati yang melekat padanya tercium lagi. Kain itu terasa halus di tangannya, setiap motif seperti bisikan nenek, cerita tentang kesabaran, ketekunan, dan cinta yang tak lekang.

Saat Nina mengenakan batik itu, rasa haru membanjirinya. Batik nenek bukan sekadar kain, tapi warisan kasih sayang, ikatan tak terputus antara nenek dan cucu.

Nenek mengelus pipi Nina, matanya berkaca-kaca. "Cantik sekali, Nduk. Sama cantiknya dengan almarhumah ibumu."

Nina terdiam, ibunya meninggal saat ia masih kecil. Ia hanya punya sedikit kenangan tentangnya, dan kini, mengenakan batik nenek, ia merasa terhubung dengan sang ibu.

"Nenek, cerita lagi tentang ibu, ya?" pinta Nina.

Nenek mengangguk, suaranya lembut. Ia bercerita tentang kebaikan, kelembutan, dan semangat ibunya Nina. Cerita yang selama ini hanya tersimpan di dalam hatinya.

Seiring cerita nenek, air mata Nina berlinang. Ia tak lagi merasa kehilangan, karena melalui batik dan cerita nenek, ia bisa merasakan kehadiran ibunya.

Hari itu, aroma rendang dan wangi melati berpadu dengan haru dan rindu. Batik nenek bukan sekadar kain, tapi benang yang mengikat cinta, mewariskan kenangan, dan menyatukan tiga generasi perempuan dalam pelukan kasih sayang.

Nina tahu, batik nenek tak akan pernah usang. Ia akan terus memakainya, bukan hanya di tubuh, tapi juga di hati dan jiwanya. Ia akan terus menularkan kisah nenek dan ibunya, menjaga warisan kasih sayang itu agar terus hidup, mekar, dan wangi seperti bunga melati.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun