"Nenek, boleh Nina yang memakainya?" tanya Nina.
Nenek menatap cucu perempuannya dengan haru. "Boleh, Nduk. Nenek senang kalau kamu mau memakainya."
Nina perlahan membentangkan batik itu, aroma melati yang melekat padanya tercium lagi. Kain itu terasa halus di tangannya, setiap motif seperti bisikan nenek, cerita tentang kesabaran, ketekunan, dan cinta yang tak lekang.
Saat Nina mengenakan batik itu, rasa haru membanjirinya. Batik nenek bukan sekadar kain, tapi warisan kasih sayang, ikatan tak terputus antara nenek dan cucu.
Nenek mengelus pipi Nina, matanya berkaca-kaca. "Cantik sekali, Nduk. Sama cantiknya dengan almarhumah ibumu."
Nina terdiam, ibunya meninggal saat ia masih kecil. Ia hanya punya sedikit kenangan tentangnya, dan kini, mengenakan batik nenek, ia merasa terhubung dengan sang ibu.
"Nenek, cerita lagi tentang ibu, ya?" pinta Nina.
Nenek mengangguk, suaranya lembut. Ia bercerita tentang kebaikan, kelembutan, dan semangat ibunya Nina. Cerita yang selama ini hanya tersimpan di dalam hatinya.
Seiring cerita nenek, air mata Nina berlinang. Ia tak lagi merasa kehilangan, karena melalui batik dan cerita nenek, ia bisa merasakan kehadiran ibunya.
Hari itu, aroma rendang dan wangi melati berpadu dengan haru dan rindu. Batik nenek bukan sekadar kain, tapi benang yang mengikat cinta, mewariskan kenangan, dan menyatukan tiga generasi perempuan dalam pelukan kasih sayang.
Nina tahu, batik nenek tak akan pernah usang. Ia akan terus memakainya, bukan hanya di tubuh, tapi juga di hati dan jiwanya. Ia akan terus menularkan kisah nenek dan ibunya, menjaga warisan kasih sayang itu agar terus hidup, mekar, dan wangi seperti bunga melati.