Matahari tahun 2024 bersinar terik, tapi panasnya tak cukup mengimbangi dingin yang merambat di punggung Mbak Darmi. Berbekal megaphone tua dan poster lusuh bertuliskan jargon "Keadilan untuk Sawahku!", ia berdiri teguh di antara riuhnya demonstrasi petani. Tanah mereka dirongrong proyek infrastruktur, gundukan pembayunan mencaplok bagian terproduktif sawah warisan.
Di seberang lapangan, panggung megah menancapkan taring. Calon Gubernur, Mas Arga, berkampanye dengan senyum terlatih dan janji manis. Janji pembangunan, janji keadilan, janji yang Mbak Darmi hafal luar kepala. Janji yang tak pernah sampai ke gubuk bambu keluarganya.
Mbak Darmi bukan politisi, hanya anak sawah yang belajar berteriak melawan ketidakadilan. Suaminya, Pak Sardi, pernah jadi korban kampanye hitam, difitnah dan dikucilkan karena tak mau menjual sawahnya. Kini, Pak Sardi hanya terbaring di gubuk, penyakit paru-paru dipicu asap pabrik yang dibangun "demi kemajuan".
Mas Arga berpidato, suaranya bergemuruh lewat sound system canggih. Mbak Darmi balas berteriak, megaphone tua suaranya terseret angin. Mata mereka bertubrukan, sekilas. Mas Arga, sosok muda menawan, anak kota yang tak pernah mengerti lumpur dan keringat petani. Mbak Darmi, wanita renta dengan tangan penuh kapalan, menyimpan duka dan amarah di matanya.
Demonstrasi berlalu, janji-janji menguap bersama asap gas air mata. Tanah tetap digali, gubuk tetap kumuh. Tapi Mbak Darmi tak menyerah. Ia mengorganisir para petani, menggelar warung kopi "Suara Sawah" tempat keluh kesah dan protes disalurkan lewat secangkir kopi dan obrolan hangat.
Pilkada semakin dekat. Mas Arga terus berkampanye, posternya terpampang di setiap sudut. Suatu malam, warung kopi didatangi gerombolan preman, poster dicoyak, kopi ditumpahkan. Mbak Darmi berteriak, melawan, sampai tangannya berdarah. Tapi tak ada yang mundur. Malam itu, suara mereka bersatu, lantang, penuh amarah yang diaduk kopi kental.
Hari pencoblosan tiba. Antrean mengular di TPS, Mbak Darmi ikut mengantri, hatinya dipenuhi harapan dan waswas. Ketika tinta hitam menodai jari keriutnya, ia merasa telah menanamkan sebuah doa, doa untuk sawahnya, doa untuk keadilan.
Hasil pemilu bergulir, angka-angka berkejaran di layar televisi. Nama Mas Arga bertahta di puncak. Mata Mbak Darmi berkaca-kaca, harapan runtuh bagai gundukan tanah yang dibuldozer. Tapi tak lama, ia tersadar. Perjuangan belum selesai. Keadilan tak dihitung suara, ia harus direbut.
Warung kopi "Suara Sawah" kembali berdenyut. Kopi pahit, obrolan panas. Para petani tak putus asa. Mereka bergerak, menyambangi DPRD, menggelar protes di depan gedung pengadilan. Mas Arga tak lagi menjanjikan keadilan di panggung megah. Ia berhadapan dengan mata penuh duka dan suara lantang para petani.
Perlahan, perubahan menyelinap. Pembangunan dihentikan, tanah dikembalikan. Mbak Darmi tak bersorak. Ia hanya berdiri di sawahnya, embusan angin terasa lebih sejuk. Pak Sardi tersenyum samar, matanya berbinar melihat padi kembali menghijau.
Tahun 2024 berlalu, matahari tahun 2025 bersinar tak lagi terik. Di atas tanah leluhurnya, Mbak Darmi berjongkok menanam semai, tangannya kuat dan lembut. Keadilan tak sepenuhnya didapat, tapi ia bertekad, ia tak lagi terjebak janji dan berhala. Keadilan tak diturunkan, ia direbut, dipelihara, setiap hari, secangkir kopi demi secangkir kopi, di warung kecil bernama "Suara Sawah".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H