Dalam sastra dunia anak-anak termanjakan. Riuh imajinasi dan kenikmatan masa kanak-kanak terlampiaskan dalam kebebasan untaian kata-kata sastrawi yang mendekatkan dalam dunia mereka. Ini beda benar dengan kondisi sekarang. Bagaimana dunia anak-anak dicengkeram dalam ketakutan akan penculikan, kekerasan seksual dan hal-hal yang menyebabkan teror pada dunia kanak-kanak. Informasi media massa telah mendikte ancaman pada anak-anak sekaligus kecemasan orang tua. Ada gerangan apakah realitas kanak-kanak di Indonesia mengalami kegentingan sedemikian rupa. Beda benar dengan dunia sastra yang memanjakan imajinasi mereka dalam kenikmatan membaca.
Darurat anak-anak yang dilansir beberapa publikasi, menjadi keprihatinan tak hanya soal krisis kepercayaan pada dunia rumah, sekolah dan juga membaca. Membaca sastra dan juga kebutuhan asupan sastra anak-anak harusnya menjadi keprihatinan kita bersama. Menyalakan imajinasi dalam kenikmatan membaca sudah selayaknya menjadi kebutuhan bagi anak-anak untuk menangkal segala kemungkinan terjelek.
Bersyukurlah Indonesia memiliki Sukanto S.A, Djoko Lelono yang mengeksplorasi fiksi ilmiah pada dunia anak-anak, Arswendo Atmowiloto, Dwianto Setyawan yang menorehkan karya-karya mereka pada anak-anak Indonesia. Terakhir kita bergeliat dengan ciptaan Andrea Hirata melalui Laskar Pelangidan Beny Ramdani dengan Princess Noura.Pengembaraan dunia anak-anak pun menjadi ruang kreatif para sastrawan dunia. Sebut nama Charles Dicksen, Hans Christian Anderson, Oscar Wilde, Mark Twain dengan tokoh Tom Sawyer, Hector Malot, Antoine de Saint Exupery, Enid Blyton, Â J.R.R Tolkien dengan makhluk Hobbietnya, JK Rowlins yang menghipnotis anak-anak melalui rekaan tokohnya Harry Potter. Mereka memanjakan dunia anak-anak dalam petualangan karya-karya mereka. Seperti tulisan cerita Sukanto S.A membahagiakan anak-anak melalui cerita yang tidak terkesan mendikte, menggurui. Inspirasi ceritanya diambil dari hal-hal kecil -- memaksanya sebagaimana pengantar Maria Hartiningsih dalam kumpulan Orang-orang Tercinta,kreatif agar penyelamannya tersaji secara indah dan lebih tersaring.
Soekanto berpantang dalam ceritanya menggurui anak. "Buku cerita anak pertama harus memberikan kenikmatan membaca. Dan terpenting supaya hanya sari makanan yang bernilai yang perlu untuk perkembangan jiwa anak" ungkap Sukanto. Simak saja cerita Tangan Teruluryang berkisah pertanyaan anak soal keberadaan Tuhan kepada ayahnya. Untuk membuktikan, sang ayah cukup memperagakan menutup mata sang anak serta menutup telinga sang anak. Di penutup cerita pesan ayah melalui sejumlah pertanyaan pada anaknya :
Dapatkah kau hidup bila tak ada udara yang ke luar masuk rongga dadamu ? Dapatkah kau melihat alam yang indah tanpa matamu ? Dapatkah             kau menikmati lagu merdu tanpa telingamu ? kepada siapakah kau harus berterima kasih untuk semuanya itu ? Matahari yang menerangi bumi,             siapakah penciptanya ? Lalu alam tempat kita tinggal dan hidup ini.
Oscar Wilde (1854-1900) sastrawan kelahiran Dublin Irlandia mengguratkan kisah anak-anak dalam cerita Pangeran Bahagia (The Happy Prince). Kisah persahabatan patung Pangeran Bahagia dan seekor burung wallet kecil. Kisah persahabatan itu memberikan inspirasi bagi anak-anak yang membacanya, Nilai ketulusan menjadi sikap bagaimana memaknai jalinan cerita pengarang yang dikenal flamboyant ini. Bagaimana tidak menyentuh diakhir cerita Oscar Wilde menyuguhkan perkisahan yang membuat imaji anak-anak tergerak
Walet mungil kedinginan menunggui patung Pangeran Bahagia saat salju kembali turun. Sang wallet tak sanggup menahan dinginnya salju. Ia pun terjatuh ke kali Pangeran Bahagia, setelah sebelumnya berpesan, "Aku akan pergi ke Rumah Kematian. Bukankah Mati saudara dari Tidur ?" Demikian halnya dengan patung Pangeran Bahagia. Dewan Kota memutuskan untuk melelehkan patung lama dan menggantikan dengan yang baru
Krisis Sastra Anak ?
Menorehkan cerita bagi anak-anak bukan hal yang mudah. Sampai sekarang penulis yang berkonsentrasi mengeksplorasi sastra anak yang tak kehilangan nilai edukasi, sangat jarang di Indonesia. Buktinya adalah nilai kuantifikasi publikasi bacaan anak-anak yang relatif kecil. Di rak-rak toko buku, konsumsi bacaan anak-anak dipenuhi oleh produk mangaJepang atau cerita teenlit.Pajangan buku sastra hampir dipenuhi sastra untuk dewasa. Lalu dimanakah sastra anak ketika dibutuhkan sebagai asupan jiwa anak-anak ?Â
Majalah anak-anak dapat dihitung dengan jari. Legenda tentang majalah Kuncung, Ananda era 1970-an dan 1980-an tak bisa diulang kembali. Hanya majalah Bobo, Aku Anak Saleh yang masih konsisten. Selain sisipan pada beberapa lembar koran yang mengkhususkan pada dunia anak-anak seperti halnya yang dilakukan Suara Merdeka.
 Bacaan anak lainnya dapat terlihat dari rendahnya publikasi buku anak-anak. Rendahnya penerbitan ini menjadi bagian dari keseluruhan penerbitan buku di Indonesia. Berdasarkan data tahun 2012, Indonesia mempublikasikan 18.000 judul buku per-tahun (Kompas, 25/6-2012). Jumlah ini cukup rendah dibandingkan dengan penerbitan buku di India yang mencapai 60.000 judul buku per-tahun, Jepang 40.000 judul buku per-tahun. Rekor terbanyak adalah Tiongkok sebesar 140.000 judul buku per-tahun.
Politik Perbukuan
Di Indonesia beberapa penerbit yang konsisten dalam penerbitan bacaan anak dapat disebut belum begitu maksimal. Tak bisa dipungkiri, krisis bacaan / sastra anak dipicu oleh politik perbukuan Indonesia yang banyak dikeluhkan selain minat baca masyarakat Indonesia yang turut berkelindan di dalamnya. Krisis bacaan anak berdampak keringnya imajinasi anak serta perkembangan jiwa sang anak yang tak diharapkan. Hal ini turut menimpa para pendidik yang diharapkan membantu perkembangan intelektual dan karakter sang anak didik.
Para pendidik di jenjang Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) yang memfasilitasi anak meminati dunia membaca, kehilangan koleksi pengayaan penceritaan sebagai story teller yang membawa anak didiknya berkelana dalam belantara imajinasi. Bagaimana seorang pendidik bisa mengeksplorasi cerita jika tidak disertai dengan referensi bacaan anak yang digunakan sebagai bahan pengayaan. Sementara ini kita ketahui proses digitalisasi teknologi menjadikan para penutur cerita itu digantikan oleh "guru-guru lainnya" macam play station, games online, televise kabel.
Dengan demikian kondisi darurat anak-anak disebabkan efek simultan yang tak hanya berakhir di bangku sekolah atau lingkungan sosial lainnya. Tanpa disadari krisis sastra anak dan bacaan anak turut pula memberikan andil kondisi darurat anak. Anak-anak kering imajinasinya, dunia literasi yang diharapkan membentuk karakter anak menjelma dunia yang tak dirambah anak-anak.
Sastra sebagai bagian yang merekonstruksi perkembangan jiwa anak tak lagi dilirik. Tak ada lagi ketokohan yang meriuh macam Tom Sawyer, Hucklibery Finn, atau cerita bersahaja petualangan anak-anak Bangka Belitung lewat kisah Laskar Pelanginya Andreas Hirata. Ruang kelas dunia pendidikan senyap sunyi dari gelanggang imajinasi sastra. Akankah kondisi seperti bak jalan tak ada ujung?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H