Dalam bahasa Jawa kuno, Puspa itu berarti bunga, atau harum. Titi (tambahan akhirnya ek pada ti- seperti mien, wien atau atau tien, pada Aminah, Winarsih, atau Sutinah --biasa dilakukan cewek-cewek Jawa pada masa itu untuk memberi kesan lebih keren), berarti waktu, tanda, atau cermat.Â
Titi Puspa (Titiek Puspa) dengan demikian dapat diartikan Musim Bunga, Waktu (zaman) Harum, atau Pertanda Harumnya Bunga. Dan nyatanya, dengan nama itu pulalah titik balik karier mbah Titiek mulai berkibar.
Mbah Titiek itu hidupnya ibarat kumbang bersayap karier. Sudah hampir 45 tahun jebolan Sekolah Guru Taman Kanak-kanak (SGTK) itu menyanyi dan tetap mampu bertahan di blantika pasar musik popular.Â
Ini luar biasa, karena berbagai penyanyi seperti itu normalnya sudah akan dianggap berhasil kalau mampu bertahan antara 10 sampai 15 tahun saja. Penyebabnya banyak hal.Â
Di samping semakin ketatnya persaingan dan banyaknya tawaran dalam bursa pasar musik seperti ini, pasar musik itu selalu berubah dari waktu ke waktu.Â
Selera berubah karena zaman juga berubah. Kiat dagang budaya industri, secara teknologis, bahkan mensyarati progesi beraneka perubahan itu berlangsung secara cepat, drastis dan radikal.
Sejak 50 tahun terakhir dunia musik pun diguncang perubahan yang terus menerus. Berbagai perubahan karakterisasi pasar selera dari jiv ke fox, musik-musik dansa tango, mambo, rumba, cha-cha, beat, rock, disco, break, rap, metal dan sebagainya itu berlangsung terus tanpa tenti dan kompromi.Â
Ditambah dengan ramuan selera lokal dalam bentuk musik seriosa dan hiburan versi Bintang Radio; langgam, keroncong, musik-musik keetnikan sampai dangdutan dan lain-lain, pasar musik popular di Indonesia memang hiruk-pikuk berbagai simpang-siurnya lalu-lintas di pasar Tanah Abang. Siapa tak bermental metal akan terpental di aspal kemacetan atau terlempar keluar orbit lalu-lalang.
Dengan gaya dan caranya sendiri Mbak Titiek menembus semua palang pusaran pasar musik itu, nyaris selama kurang lebih 50 tahun. Tidak pernah ngetop benar seperti meledaknya  pasar Evi Tamala, Farid Hardja atau Rhoma Irama, tapi selalu eksis dan hadir di hati khalayak luas.Â
Mbah Titiek memang tidak jualan kacang goreng. Ia tidak menjual sensasi primadona, tetapi menawarkan commonsense yang dirindukan banyak orang. Ia autodidak. Ia mau belajar. Ia rendah hati. Ia luwes, lincah dan ramah. Ia hati-hati, cermat tapi cepat. Ia tangkas, tapi sabar dan tepo seliro. Ia tidak ngoyo tapi total dalam order kerja yang dierimanya. Ia tekun, konsisten dan setia pada pilihan profesinya. Ia mau risiko. Ia telah menyanyi apa saja dalam rentang jiv hingga dangdut seperti deret ukur model musik dicontohkan di atas.
Ia telah menciptakan sekitar 400-an sampai 600-an lagu di samping beberapa musik operet. Ia manggung sepanjang waktu. Ia main film dan teater. Ia menjadi organisator dan emaknya PAPIKO. Ia menjadi guru dan teladan bagi para penyanyi dan musisi juniornya. Ia bergaul dengan semua seniman, pengusaha, penguasa, tua-muda, kaya-miskin, Ia genit, cekikilan, centil dan cas-cis-cus tetapi serius. Pendeknya ia memiliki semua persyaratan yang diperlukan bagi seorang Sri Panggung yang dicintai penggemarnya: sosok figur, sikap perilaku, dan kemampuan professional.