Mohon tunggu...
Semuel S. Lusi
Semuel S. Lusi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Belajar berbagi perspektif, belajar menjadi diri sendiri. belajar menjadi Indonesia. Belajar dari siapa pun, belajar dari apapun! Sangat cinta Indonesia. Nasionalis sejati. Senang travelling, sesekali mancing, dan cari uang. Hobi pakai batik, doyan gado-gado, lotek, coto Makasar, papeda, se'i, singkong rebus, pisang goreng, kopi kental dan berbagai kuliner khas Indonesia. IG @semuellusi, twitter@semuellusi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Gotong Royong dan Sikap Stoicis Taklukkan Covid-19

5 April 2020   16:14 Diperbarui: 5 April 2020   18:41 758
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar: NJ Lifehacks

Pandemi Covid-19 telah menjadi musuh homo sapiens. Hampir 200-an negara di seluruh dunia telah ditularinya.  Belasan ribu anggota homo sapiens dibunuhnya, sementara 1 jutaan telah positif terinfeksi. 

Mereka sedang berbaring tak berdaya, paru-parunya digerogoti virus-virus ganas itu. Para tenaga medis sedang berusaha keras selamatkan jutaan nyawa dengan mempertaruhkan nyawa mereka sendiri. Seluruh makluk beragama seluruh dunia khusuk mendoakan berlalunya pandemi pembunuh umat manusia ini.

Itulah sebabnya, pemerintahan di semua negara sibuk meracik strategi menghadapinya, dengan mennyesuaikan kondisi masing-masing. 

Indonesia memilih memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) melalui Peraturan Menteri Kesehatan, yang meliputi antara lain, peliburan sekolah dan tempat kerja, pembatasan kegiatan keagamaan; dan/atau pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum.

Baru 3 negara yang dianggap sukses menangani virus mematikan ini. China, Jepang dan Korea Selatan. Sukses menangani tidak berarti sepenuhnya telah terbebas. 

Tapi kita bisa belajar, bahwa faktor kunci kesuksesan mereka adalah disiplin/tertib diri, serta mempercayai pihak yang memiliki otoritas, terutama tentu saja pemerintah dan ahli medis. 

Sayangnya, di negara +62 ini sulit memenuhi kedua syarat di atas. Selalu saja ada yang lebih suka berkoar-koar layaknya punya otoritas. Bahkan, pemerintah di-bully dan menuntut hal lain yang justru berada di luar kebijakan pemerintah.

Padahal situasi kita sudah darurat. Para pengikut dan rakyat yang belum tentu paham apa-apa terkait virus corona pun ikutan berisik. Jadinya justru gaduh.

Masyarakat kita memang terkenal sebagai masyarakat yang suka berkumpul, suka bergotong royong. Tipikal masyarakat komunal. Segala hal harus dimusyawarahkan karenanya perlu kumpul. Hendak menikahkan anak kumpul keluarga. Ada kematian kumpul juga. 

Sukses studi, sukses dapat kerja, sukses dapat jabatan, kumpul lagi untuk syukuran. Belum lagi acara-acara dan ritual adat. Bahkan, tidak ada acara pun ada kebiasaan bersilaturahim atau saling kunjung. 

Ada pula kebiasaan pulang liburan bareng, mudik hari raya, dan sebagainya. Ditambahkan dengan berbagai 'titik kumpul' bawaan modernisme dan pasar, seperti belanja di mal, tempat rekreasi, cafe, pesta, dan sebagainya.

Gerakan Bergotong Royong bagikan masker gratis kepada masyarakat. ANTARA/Juraidi
Gerakan Bergotong Royong bagikan masker gratis kepada masyarakat. ANTARA/Juraidi
Semua itu merupakan modal sosial masayarakat Indonesia. Ciri yang mjenjadi kebanggaan kita dan menggambarkan nilai-nilai luhur Pancasila, yang diringkaskan sebagai "semangat gotong royong."

Sayangnya, Covid-19 justru menyerang kita di  "titik kumpul komunitas"  itu. Virus mudah menyebar dan membunuh sangat banyak orang apabila tanpa diketahui seseortang diantara yang berkumpul itu sudah terinfeksi. 

Itulah sebabnya, kita harus menyikapinya dengan bijak.  Bukan menghilangkan perkumpulan melainkan melakukannya untuk sementara dengan difasilitasi teknologi, yaitu pertemuan-pertemuan virtual.  

Dengan itu, budaya gotong-royong ditransformasi ke zona virtual, yang berarti secara kultural kita dapat beradabtasi dengan teknologi tingkat tinggi. Ini justru menunjukkan elastisitas dan keunggulan budaya kita. 

Maka, cara kita bergotong royong dalam arti kompak dan bahu membahu melawan virus mematikan ini adalah menjalani apa yang sebaiknya dilakukan dalam situasi darurat saat ini.

Kepala BNPB Doni Monardo ketika menyampaikan keterangan pers terkait penanganan Covid-19 bersama Ketua MPR Bambang Soesatyo di GRaha BNPB, Jakarta, Kamis (2/4/20) (Foto : Dok. BNPB)
Kepala BNPB Doni Monardo ketika menyampaikan keterangan pers terkait penanganan Covid-19 bersama Ketua MPR Bambang Soesatyo di GRaha BNPB, Jakarta, Kamis (2/4/20) (Foto : Dok. BNPB)
Program sosial distancing melalui isolasi maupun karantina mandiri merupakan sebuah pilihan yang tepat karena telah terbukti sukses diberlakukan di Wuhan, Tiongkok.  

Lewat disiplin ketat dan ketaatan warga kepada protokol pemerintah, akhirnya penyebaran virus corona dapat dihentikan, bahkan lebih banyak kasus terobati sehingga sehat kembali. 

Kini Wuhan sudah normal kembali, meski belum 100%. Tetapi disiplin dan taat pada satu komando, yaitu komando pemerintah itu benar-benar  sangat dibutuhkan.

Ada alasan lainnya juga. Yaitu, bahwa kita tidak cukup memahami secara teknis untuk membantu mengatasi penyebaran virus ini. Karenanya kita perlu tergantung kepada pemerintah dan para ahli medis. 

Ketika masyarakat tidak disiplin, ikutan sibuk mem-bully, lalu terinfeksi corona, toh protokal kesehatan pemerintahlah juga yang akan menangani, bukan para tukang kritik yang selalu sibuk berkoar-koar itu.

Sikap terbaik dan berdampak besar mengatasi penyebaran Covid-19 adalah justru "sikap membantu diri sendiri," tidak usah terpengaruh dengan sumber-sumber yang tidak punya otoritas legal. 

Itu jauh lebih baik dibanding bersikap di luar kapasitas kita, sikap ikut-ikutan, yang akhirnya lebih menggangu dan memperburuk situasi alih-alih mengatasi masalah. Dengan kata lain, cara paling efektif bagi kita sebagai rakyat kebanyakan adalah mengikuti panduan yang telah dibuat pemerintah dan tim medis.

Kita harus belajar dari sikap filosofis kaum Stoa (Stoicis) yang hidup tahun 300-an SM, sebagai pendekatan menghadapi Covid-19.  

Bagaimana menghadapi Covid-19 ala Stoicis? 

Kaum Stoa atau Stoicis  membedakan secara tegas antara apa yang tergantung pada kita (up to us), dan apa yang tidak tergantung pada kita (not up to us).  

Jelas, bahaya epidemik dari Covid-19, dengan segala daya membunuhnya tidak tergantung pada kita. Kecepatannya menginfeksi dan menularkan, lalu membunuh banyak orang, juga tidak tergantung pada kita. 

Menyediakan fasilitas kesehatan, misalnya Alat Pelindung Diri (APD) bagi tenaga-tenaga medis, berbagi masker bagi masyarakat dalam jumlah besar, menyandang dana, juga mungkin tidak tergantung pada kita, kecuali kita memang punya kemampuan untuk itu.  

Membuat keputusan politik itu juga diluar kapasitas kita karena sudah ada pemerintah yang kita pilih melalui mekanisme demokrasi untuk mengurus hal-hal demikian.  

Bila tidak setuju, toh ada waktu dan mekanismenya mengevaluasi dan memberi masukan. Dalam situasi perang melawan virus, kita butuh satu komando. Tanyalah para tentara, bagaimana bersikap dalam situasi perang.  Ini real perang semesta antara virus corona vs homo sapiens.

Karenanya, yang bisa kita lakukan adalah, apa-apa yang sudah pasti tergantung pada kita. Apa yang 100% ada dalam kendali kita, yang bila dilakukan akan membantu menyelesaikan masalah, yaitu memutus rantai penularan virus corona. Itulah 'strategi perang' kita secara global menghadapi Covid-19.

Inilah hal-hal yang tergolong sebagai "up to us" untuk dilakukan:

1). Mengisolasi diri di rumah. Ini kebijakan pemerintah, dan jelas 100% dibawah kendali kita. Dengan membuat keputusan mengisiolasi diri kita membantu meniadakan potensi menjadi rantai penyebaran virus Corona. 

2). Selalu bersihkan tangan setiap bersentuhan dengan benda-benda atau fasilitas publik.  

Cara ini mencegah kemungkinan kita bersentuhan dengan tempat atau alat yang 'memuat potensi virus' lalu tanpa sadar kita menggaruk hidup yang gatal, menggaruk bibir, menutup mulut karena menguap, lalu dari sana terbuka jalan bagi masuknya virus ke dalam tubuh.  

Kemudian, tanpa sadar virus yang sudah menginfeksi kita 'menyebrang' ke orang-orang dekat dalam rumah. 

3). Jaga kesehatan dengan bersitirahat dan makan teratur. Bisa buat gerakan-gerakan kecil untuk menciptakan kebugaran dan menjaga stamina serta cukup istirahat. 

Menu juga bisa diatur, misalnya buah-buahan yang mengandung vitamin  (bukan minum kapsul vitamin C dan E), makan telur, minum madu, berjemur sinar matahari, dan sejenisnya. Ini membantu memperkuat stamina agar memiliki daya tahan tubuh untuk melawan virus dari dalam. 

4). Gunakan masker bila pilek dan batuk. Bila tidak memiliki masker, usahakan tutup mulut dan hidung dengan tisu, yang setelah digunakan langsung dibuang ke tempat sampah serta cuci tangan dengan  sabun. Bila batuk, pilek dan gejala sesak napas segera memeriksakan diri ke lembaga kesehatan terdekat.

5). Hindari kerumunan, hindari menggunakan kendaraan umum, hindari kerumunan di pasar, mal dan sebagainya. Prinsipnya, minimalkan perjumpaan dengan orang banyak, bahkan dengan keluarga sekali pun.  Sekali lagi, ini situasi darurat, karena itu butuh respons darurat.

6). Intinya, jalankan Protokol Kesehatan dari pemerintah terkait Penanganan Covid-19 yang sudah disosialiasi, atau yang telah diatur dalam Kepmen tentang  PSBB.

Keenam hal di atas sepenuhnya masuk kategori  "up to us,"  yang berarti 100 dibawah kendali kita.  Apa yang tidak dibawah kendali kita sebaiknya tenang saja.  

Kaum Stoicis bahkan menganjurkan kita untuk tidak usah terpengaruh oleh apa pun yang  "not up to us."  Udara yang makin panas is not up to us. Penangan pemerintah yang dianggap lamban is not up to us. Gubernur yang terkesan tidak peduli is not up to us. 

Tentu saja, kita bisa katakan, "tidak mau menaati kebijakan dan protokol kesehatan dari pemerintah"  itu juga masuk kategori up to us. Juga, tetap mau adakan pertemuan-pertemuan, kunjungi teman, perjalanan jauh dengan bus, dan sebagainya.  

Itu semua juga masuk kategori up to us. Namun, itu pasti tidak membantu mengatasi penyebaran covid-19, sebaliknya justru berisiko memfasilitasi penularan virus pembunuh itu. Dengan demikian situasi akan bertambah buruk.

Karena itu, mari lakukan apa yang benar-benar up to us, yang dapat membantu memutus rantai penularan virus corona. Bila semua melakukannya tentu penangan Covid-19 bisa lebih efektif, suasana bisa terkendali, keadaan kembali normal, dan negara kita selamat. 

Lalu, semangat gotong royong kembali dihidupkan, baik di dunia konkrit seperti biasanya, maupun di dunia virtual seperti yang telah kita biasakan selama masa "darurat Covid-19"  ini.   

Akhirnya, Stoicsm mengajari kita tau diri dan mengambil peran  signifikan dalam kapasitas kita. Tidak menyibukkan diri mengatur sesuatu yang bukan kapasitas atau otoritas kita. 

Bergotong royong dapat berarti bersatu, kompak dan bahu membahu dalam cara mendisiplinkan diri  melakukan apa yang seharusnya kita lakukan.

Mari bergotong royong taklukan Covid-19 serta mengenyahkannya dari bumi pertiwi tercinta!

Keterangan: Selengkapnya sudah pulish di indonesia-menalar.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun