Pandemi Covid-19 telah menjadi musuh homo sapiens. Hampir 200-an negara di seluruh dunia telah ditularinya. Â Belasan ribu anggota homo sapiens dibunuhnya, sementara 1 jutaan telah positif terinfeksi.Â
Mereka sedang berbaring tak berdaya, paru-parunya digerogoti virus-virus ganas itu. Para tenaga medis sedang berusaha keras selamatkan jutaan nyawa dengan mempertaruhkan nyawa mereka sendiri. Seluruh makluk beragama seluruh dunia khusuk mendoakan berlalunya pandemi pembunuh umat manusia ini.
Itulah sebabnya, pemerintahan di semua negara sibuk meracik strategi menghadapinya, dengan mennyesuaikan kondisi masing-masing.Â
Indonesia memilih memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) melalui Peraturan Menteri Kesehatan, yang meliputi antara lain, peliburan sekolah dan tempat kerja, pembatasan kegiatan keagamaan; dan/atau pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum.
Baru 3 negara yang dianggap sukses menangani virus mematikan ini. China, Jepang dan Korea Selatan. Sukses menangani tidak berarti sepenuhnya telah terbebas.Â
Tapi kita bisa belajar, bahwa faktor kunci kesuksesan mereka adalah disiplin/tertib diri, serta mempercayai pihak yang memiliki otoritas, terutama tentu saja pemerintah dan ahli medis.Â
Sayangnya, di negara +62 ini sulit memenuhi kedua syarat di atas. Selalu saja ada yang lebih suka berkoar-koar layaknya punya otoritas. Bahkan, pemerintah di-bully dan menuntut hal lain yang justru berada di luar kebijakan pemerintah.
Padahal situasi kita sudah darurat. Para pengikut dan rakyat yang belum tentu paham apa-apa terkait virus corona pun ikutan berisik. Jadinya justru gaduh.
Masyarakat kita memang terkenal sebagai masyarakat yang suka berkumpul, suka bergotong royong. Tipikal masyarakat komunal. Segala hal harus dimusyawarahkan karenanya perlu kumpul. Hendak menikahkan anak kumpul keluarga. Ada kematian kumpul juga.Â
Sukses studi, sukses dapat kerja, sukses dapat jabatan, kumpul lagi untuk syukuran. Belum lagi acara-acara dan ritual adat. Bahkan, tidak ada acara pun ada kebiasaan bersilaturahim atau saling kunjung.Â
Ada pula kebiasaan pulang liburan bareng, mudik hari raya, dan sebagainya. Ditambahkan dengan berbagai 'titik kumpul' bawaan modernisme dan pasar, seperti belanja di mal, tempat rekreasi, cafe, pesta, dan sebagainya.