Mohon tunggu...
Semuel S. Lusi
Semuel S. Lusi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Belajar berbagi perspektif, belajar menjadi diri sendiri. belajar menjadi Indonesia. Belajar dari siapa pun, belajar dari apapun! Sangat cinta Indonesia. Nasionalis sejati. Senang travelling, sesekali mancing, dan cari uang. Hobi pakai batik, doyan gado-gado, lotek, coto Makasar, papeda, se'i, singkong rebus, pisang goreng, kopi kental dan berbagai kuliner khas Indonesia. IG @semuellusi, twitter@semuellusi

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Filsafat Abad Pertengahan (Bagian 1)

1 Agustus 2019   00:24 Diperbarui: 24 Juni 2021   09:14 5232
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Henricus de Alemannia with students in a medieval university, by Laurentius de Voltolina, second half 14th century / Kupferstichkabinett Berlin

Tiga problem yang menjadi inti perenungan filosofis Agustinus, yaitu pertama; darimana asal usul kejahatan?  Kedua; Apakah manusia masih bisa bebas bila hidup dalam Tuhan, bukankah Tuhan sudah tahu segala sesuatu dan menjadi penyebab utama atau mengatur segala sesuatu? Ketiga; bagaimana menginterpretasi sejarah (lewat karyanya De civitate dei)

Ajaran tentang Iman dan Pengetahuan. Ada dua doktrin, pertama; credo ut intellegam (saya beriman supaya saya mengerti dunia), mengajarkan bahwa  iman mendahului atau menjadi dasar bagi pengetahuan / pengertian. Sejarah hanya bisa dipahami secara tepat lewat iman kepada wahyu. Kebenaran hanya bisa dipahami secara memadai lewat iman. 

Di sini Agustinus berusaha menjelaskan hubungan antara filsafat dan pengetahuan/kebenaran. Kebenaran yang dimaksud tentu dalam pengertian kebenaran tertinggi, yaitu wahyu. Hanya dengan perspektif iman atas  wahyu kita dapat memahami kebenaran dan menjelaskan peristiwa-perstiwa sejarah secara lengkap.  Kedua, fides quaerens intellectum (faith seeking understanding" /"faith seeking intelligence") dengan akal budi saya bisa menjelaskan isi kebenaran Wahyu. Dasarnya adalah supaya percaya dengan seluruh kedalaman pengetahuan akal budi, yang bisa dinampakkan (dicerminkan) lewat sikap hidup.

Ajaran tentang waktu. Tidak ada masa lalu, dan masa depan. Yang ada hanyalah masa kini. Sesuatu yang pernah ada sudah tidak ada, dan sesuatu yang (diharapkan) akan ada juga belum ada. Jadi, yang harus dipikirkan dan dijalani adalah kenyataan kekinian.  Allah hadir di luar waktu, yaitu dalam "masa kini yang kekal," karena waktu hanya terdapat di dalam alam ciptaan, dimana waktu hanya dapat dirasakan dalam dimensi ruang, yaitu melalui gerak dan perubahan.

Ajaran tentang Kehendak Bebas dan Asal usul Kejahatan. Dalam karyanya "Tentang Pilihan Bebas Kehendak"  (De libero arbitrio), Agustinus membahas alasan mengapa Allah memberikan manusia kehendak bebas yang dapat digunakan untuk berbuat jahat. Dalam pandangan Agustinus kejahatan bukanlah sebuah kedurjanaan melainkan sebagai ketiadaan kebaikan. Kejahatan tidak memiliki eksistensi pada dirinya, sebagaimana gelap hanyalah kondisi ketiadaan cahaya. Dalam hal ini Agustinus mengadopsi pemikiran Plotinus, bahwa kejahatan adalah ketiadaan Tuhan.

Terhadap trilema Epikurean, Agustinus memberi jalan keluar, tidak dengan ajaran dualisme khas Manikeisme dan Plotinus. Juga tidak dengan monisme yang mengajarkan bahwa Allah maha Kuasa, maka segala sesuatu terjadi hanya atas ijin atau kendali Allah.  Jadi, bila ada kejahatan, bencana, kebencian dan sejenisnya itu juga kehendak Allah. Sedangkan dualisme mengajarkan bahwa prinsip tertinggi bukan hanya satu, melainkan dua, yaitu Yang Baik dan Yang Jahat.  Dosa dan kejahatan bersumber dari kuasa "Yang Jahat," yang ada untuk melawan "Yang Baik." Selama manusia memiliki tubuh ia tidak bisa terlepas dari godaan jasmaniah (yang jahat), dan untuk menaklukannya dilakukan dengan 'mematikan tubuh' melalui kehidupan asketis.

Agustinus mengajarkan doktrin teodesi (Latin: theos = Tuhan + dike = keadilan), yaitu bahwa Allah tidak bisa salah. Segala sesuatu pada dirinya tidaklah jahat, sebab merupakan ciptaan Tuhan.  Lalu, darimana asal usul kejahatan? Kejahatan muncul akibat dari penggunaan kebebasan manusia itu sendiri. Muncullah ajaranya tentang predestinasi, yaitu segala sesuatu sudah ditentukan oleh Tuhan. Namun. Allah menciptakan manusia dengan dilengkapi kebebasan kehendaknya. 

Oleh kebebasan itulah manusia kerap menggunakannya secara berlebihan yang hasilnya berupa akibat-akibat buruk. Kejatuhan Hawa dan Adam di Firdaus merupakan contoh yang dirujuk, dimana kebebasan pemberian Allah telah salah digunakan sehingga menimbulkan kejahatan dan kejatuhan (bencana). Manusia tentu kelak diminta tanggungjawab atas penggunaan kebebasannya itu. Tetapi juga, lewat "keburukan/kejahatan/bencana" yang terjadi selalu ada maksud baik yang hendak dihadirkan Allah.

Ajaran tentang Penciptaan Allah. Mengadopsi gagasan ide (eidos) Platon, Agustinus mengajarkan Allah mencipta dari ketiadaan. Pandangan ini bertentangan dengan worldview Yunani maupun Romawi yang meyakini gagasan bahwa dunia itu sudah dan selalu ada. Sebelum Tuhan menciptakan dunia, 'ide-ide' tentang apa yang akan diciptakan itu sudah ada di benak-Nya.

Jostein Gaarder memberikan contoh yang sangat membantu pemahaman ini. Saya momodivikasi Gaarder untuk memberi konteks yang sesuai. Bila Anda 'menjelajahi kosmos literasi' dalam sebuah buku karangan saya, misalnya The Real You is The Real Success, Anda sedikitnya akan mengenal saya berdasarkan pandangan, sikap moral, dan visi eskatologis saya sebagaimana Anda temukan sebagai kesimpulan setelah membaca. 

Baca juga: Konsep Diri Menurut Plotinos

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun