Paska pemilu 2019 muncul wacana perlunya rekonsiliasi nasional. Kaum terdidik (intelektual) di kedua kubu sebaiknya berperan proaktif.
Kebutuhan rekonsiliasi urgent lantaran kedua kubu capres saling klaim kemenangan. Kubu satunya berdasarkan hasil quick count sebagian besar lembaga survei, dan satunya atas dasar real-count internal.Â
Politik kian gaduh dan masyarakat pun terbelah oleh perbedaan dukungan. Bara perpecahan makin panas dipicu aroma delegitimasi otoritas penyelenggara pemilu, people power, revolusi, tuduhan makar, kecurangan massif, penolakan hasil pilpres, dan sejenisnya.
Tak terhindarkan bahwa kegaduhan politik membutuhkan peran kaum intelektual. Bukan karena para terdidik ini diyakini mewarisi tradisi berpikir kritis untuk menerangi rimba gelap perpolitikan dan menenteramkan kegaduhan dengan kebeningan pikir dan metode pencarian kebenaran yang terlatih, melainkan karena, secara langsung ataupun tidak, mereka juga memegang peran kunci dalam kegaduhan itu.
Betapa tidak? Proses pemilu, khususnya pilpres menunjukkan peran nyata permainan hoax dan fake-news. Para pendukung kedua kubu memainkan "strategi-strategi" pra adab itu untuk saling menghancurkan disatu sisi, dan disisi lain menarik simpati dukungan massa. Tidak tanggung-tanggung pula atribut-atribut agama dan sains diseret masuk untuk melegitimasi posisi sebagai yang paling benar karenanya lebih pantas menang.Â
Ayat-ayat suci dan emosi primordial agama diumbar guna mengkonsolidasi dukungan, juga survei-survei internal atau bayaran digelar sekadar gagah-gagahan untuk meneguhkan klaim kemenangan pihaknya.
Fenomena yang mirip juga pernah terjadi dalam pilpres di negara-negara lain, seperti AS tahun 2016, Turki dibawah kepemimpinan Erdogan, dan Brazil tahun 2018 yang mengantarkan Bolsonaro ke tampuk kekuasaan, juga Venezuela yang menghasilan kepemimpinan ganda. Seakan sudah menjadi gejala global, pada dekade lalu Ralph Keyes (2004) mendeklarasikannya sebagai "the post-truth era."Â
Ancaman seriusnya adalah pada relativasi fondasi kebenaran dan dasar moral sebagai pegangan bersama. Khas gaya Trump, kabar bohong dicanggihkan dengan istilah alternative facts.
Kaum terdidik adalah mereka yang pernah menyelami pendidikan tinggi, baik sipil maupun militer. Dengan definisi sederhana ini, hampir dipastikan sebagian besar (kalau tidak semuanya) elit inti di kedua kubu paslon masuk dalam kategori. Bahkan, tidak sedikit penyandang gelar prestisius Magister, Doktor, Profesor, Jenderal, dan lainnya.
Dominannya para terdidik di struktur inti partai politik dan elit ring-satu dukungan paslon seharusnya sebagai kabar baik, yang diharapkan berperan memfasilitasi terciptanya proses dan output demokrasi berkualitas. Baik kualitas dari segi intelektualitas dan keadabannya, maupun dari segi proses teknis seperti desain isu kampanye, bangunan argumen berbasis data, proyeksi keakanan yang achievable, hingga jaminan tercapainya output pemilu ideal.Â
Bukankah mereka telah akrab dengan metode pengadaan dan pengujian data, analisis fakta, dan teknik penyimpulan sebagai pegangan (keputusan) dan titik berangkat? Bukankah mereka terlatih menjadikan pencarian kebenaran sebagai object of desire (tujuan) sekaligus metode dan cara penyelesaian masalah? Bukankah mereka juga terlatih memiliki jiwa patriotisme dan nasionalisme?