Kaum terdidik di kedua kubu paslon sebaiknya secara gentle membiasakan diri mengembangkan metode-metode sains untuk mendapatkan data valid, dan meramu isu-isu kampanye yang membangun dan mencerahkan, mengembangkan keterbukaan, mengibarkan panji kebajikan intelektual secara efektif, yaitu pemikiran kritis, penyelidikan berkelanjutan dan, bila diperlukan, revisi keyakinan berdasarkan bukti terkuat.Â
Merangkul keyakinan buta sambil memaksakan kebenaran pihak sendiri merupakan bentuk arogansi intelektual yang jauh dari sikap bijak dan rendah hati. Sikap arogansi tergolong sebagai sikap weak critical thinker.
Brian Resnick, seorang saintific reporter di Vox.com mengingatkan perlunya kaum terdidik, bahkan yang paling cerdas sekalipun, menyadari memiliki titik buta kognitif (cognitive blind spots). Itu sebabnya, setiap orang perlu membuka diri pada perspektif yang berbeda atau berlawanan.Â
Sikap demikian membuka ruang saling belajar dan berbagi sumber sehingga bisa bertumbuh bersama ke level kualitas yang lebih baik. Pun, apabila ternyata apa yang menjadi keyakinan dan pegangan salah atau keliru, perlu menunjukkan kebesaran jiwa mengakui kesalahan dihadapan bukti dan fakta baru yang lebih kuat. Itulah yang dimaksud dengan intellectual humility.
Tetapi, itu tidak berarti kerendah-hatian intelektual mengatribusi sikap politik plin-plan yang justru melumpuhkan demokrasi. Michael Lynch, seorang profesor filsafat Universitas Connecticut, sebagaimana dikutip Brian Resnick, menganjurkan supaya demokrasi berkembang perlu keseimbangan antara keyakinan (yang dipegang teguh) dan kerendahan hati.Â
Sikap teguh diperlukan karena "politisi yang apatis bukanlah politisi sama sekali." Tetapi, juga kerendahan hati diperlukan, karena kemajuan pembelajaran demokrasi terjadi dalam kemauan saling mendengarkan.
Kembali ke kondisi politik aktual kita, rekonsiliasi politik hanya efektif bila kaum terdidik di kedua kubu mengambil sikap kerendah-hatian intelektual. Masing-masing membiarkan "pengadilan nalar" memutuskan hasil akhir, dan membuka diri pada bukti-bukti yang diadministrasikan oleh lembaga penyelenggara yang punya otoritas (KPU, Bawaslu dan DKPP), baik secara digital maupun manual.Â
Metode sains dan keterbukaan untuk dikoreksi dari pihak penyelenggara menunjukkan sikap intelek yang rendah hati. Seharusnya sikap tersebut juga disambut positif oleh kedua kubu dengan menunjukkan sikap yang sama, dan kalau diperlukan diuji juga dengan metode sains. Membuat tuduhan kecurangan dengan membawa tekanan massa bukanlah sikap intelek.
Hanya dengan sikap kerendah-hatian intelektual rekonsiliasi bisa terbangun di atas fondasi filosofis-etis yang kuat. Lebih dari itu, dengan menunjukkan sikap rendah hati kita merayakan penghormatan pada hasil pencerdasan kehidupan bangsa, yaitu tegaknya karakter pendidikan yang paling utama: kebajikan intelektual (intellectual traits).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H