Ketegangan antar kubu terjadi karena kaum terdidik ini justru terkesan mengabaikan kultur akademik dan sikap patriot lalu ikut pasang kuda-kuda membela kubu politiknya dengan memanipulasi profesionalitas keilmuan maupun keagamaan.Â
Tradisi ilmiah yang pernah dipelajari-latihnya seakan kehilangan relevansi. Sikap arogansi inetelektual berlebihan menyebabkan tertutupnya ruang saling memahami perspektif, serta membuka diri bagi pertimbangan nalar dan sikap takluk pada fakta-fakta teruji dan data kredibel.
Ada baiknya, setiap elit terdidik menghayati kembali janji alumni, visi universitas, mars lembaga atau sumpah profesi, untuk dikonkretkan dalam sepak-terjangnya di dunia politik. Ia berbicara dan berkarya sebagai orang terdidik dan melek politik. Politik ditangan kaum intelek seharusnya merupakan seni mengelola keadaban dan meningkatkannya ke level yang makin tinggi. Bukankah politik adalah antitesa non adab dalam kerangka Hobbesian, yaitu era ketika manusia menjadi serigala bagi sesamanya (homo homini lupus)?
Kaum intelek merupakan hasil investasi pendidikan dari 20% dana APBN hasil bayar pajak rakyat yang ditujukan antara lain untuk meraih cita-cita luhur mencerdaskan kehidupan bangsa. Artinya, mereka merupakan bagian penting dari proyek pencerdasan bangsa.Â
Dibutuhkan Intellectual Humility
Proses pemilu menunjukkan apa yang diharapkan sebagai peran ideal kaum terdidik untuk mengkontribusikan kualitas intelektual dan adab di praxis politik gagal didemonstrasikan.Â
Keluhan Effendi Gazali dalam tulisan kolom Detiknews (6/5/19) yang menggambarkan karut-marut proses pemilu 2019 sebagai "penghancuran peradaban" merupakan salah satu gambaran terang kondisi itu.Â
Dari angle lain, tulisan Kolom Kang Hasan (DetikNews 6/5/19) memotret kondisi merusak dari dalam kelas-kelas sekolah oleh para guru. Kedua tulisan di atas menggambarkan kelumpuhan nalar dan adab serta manipulasi forum untuk kultivasi kebencian bermotif politik. Sebuah gambaran masa depan yang menakutkan.
Investasi negara untuk mewujudkan cita-cita mencerdaskan kehidupan bangsa di dunia politik terlihat tersumbat, justru oleh mereka yang telah menikmati investasi tersebut melalui dunia pendidikan. Yang terpantau dari perilaku di panggung politik adalah sikap apolitis anti-sains, agen penyebar hoax, dogmatisasi kebenaran parsial, dan sikap kurang adab lainnya.
Mereka bahkan lebih memercayai sumber fakta dari keluhan seorang ibu Iyem di pasar tradisonal atau bisikan oknum aparat anonim yang tidak punya kaitan dengan otoritas penyelenggaran pemilu, bahkan bisikan-bisikan "setan gundul" yang mendukung ambisi politik kubunya, daripada providensi data dari sumber primer dan dengan metode ilmiah teruji. Mereka tidak membuat data, juga tidak mengakses sumber data kredibel, justru lebih doyan mengarang data.
Resah oleh bencana post-truth yang ikut ditularkan kaum terdidik, para psikolog, filsuf dan teolog mengembangkan proyek intellectual humility (kerendah-hatian intelektual). Tesis pokoknya adalah bahwa para politisi (yang diandaikan merupakan kaum intelek atau terdidik) perlu menyadari hakikat intelektualitas yaitu kabajikan. Dan, kebajikan tertinggi adalah sikap rendah hati.
Kerendah-hatian intelektual merupakan salah satu elemen penting dari berpikir kritis. Kesalahan memahami dan mempraktikkan metode berpikir kritis selama ini adalah mengabaikan aspek etis atau aksiologinya, yang bahkan dalam model berpikir kritis Paulian merupakan ontologi (tujuan akhir /obyek pencarian) yang menjadi ragaan (tampilan yang melekat) seorang critical thinker.Â