Mohon tunggu...
Semuel S. Lusi
Semuel S. Lusi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Belajar berbagi perspektif, belajar menjadi diri sendiri. belajar menjadi Indonesia. Belajar dari siapa pun, belajar dari apapun! Sangat cinta Indonesia. Nasionalis sejati. Senang travelling, sesekali mancing, dan cari uang. Hobi pakai batik, doyan gado-gado, lotek, coto Makasar, papeda, se'i, singkong rebus, pisang goreng, kopi kental dan berbagai kuliner khas Indonesia. IG @semuellusi, twitter@semuellusi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Jalan Salib dan Rekonsiliasi Nasional

21 April 2019   21:26 Diperbarui: 23 April 2019   21:50 187
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Paus Fransiskus berlutut dan mencium kaki Presiden Sudan Selatan Salva Kiir. (Foto: Vatican Media/Handout via REUTERS)

Keempat; di kayu Salib Yesus melihat ibu-Nya bersama murid-Nya Yohanes, lalu berkata, “Ibu, lihatlah anakmu,” selanjutnya kepada Yohanes, “lihatlah ibumu.”  Dan sejak itu, Maria, Ibu Yesus tinggal di rumah Yohanes.  Jalan salib membuat hubungan keluarga meluas, tidak hanya terkurung pada ayah, ibu dan anak sedarah-daging. Itu sebuah pemulihan hubungan antar manusia, yaitu memperluas makna kekeluargaan.  Persitiwa penting lain dicatat di kayu Salib adalah, Yesus mendoakan mereka yang memusuhi dan menyalibkan-Nya, “Ya Bapa, ampunilah mereka karena mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat.”  Ia bukannya memprovokasi pengikut menggalang kekuatan untuk membalas dendam lalu mensiasati kudeta atau perang saudara sebangsa. Melainkan, dengan doa-Nya itu makin memperkuat iman para murid akan esensi pendekatan jalan salib. Pengertian mereka diperkaya, kebijkasanaan mereka diperluas.  Ini diperkuat pula dengan sikap-Nya ketika hendak ditangkap di taman Getsemani dan seorang murid melawan dengan mengangkat pedang dan memangkas putus telinga Malkhus, budak dari imam besar, Yesus dengan kuasa penyembuhan melekatkan kembali telinga Malkhus dan menegor Petrus, “Sarungkan pedangmu, bukankah Aku harus meminum cawan yang dierikan Bapa kepada-Ku?” (Yoh.18:11). Yesus tegas menolak jalan pedang!

Kelima; pada hari minggu Paskah, ia memperkenankan para perempuan menjadi saksi pertama atas kebangkitan-Nya. Perempuan dalam tradisi Yahudi bahkan tidak pantas menjadi saksi pengadilan atau saksi kebenaran. Kalau terpaksa, nilai kesaksiannya hanya setengah dari kesaksian laki-laki.  Para perempuan itu pagi-pagi datang dan menemukan kubur-Nya kosong. Segera mereka pergi memberitahu para murid, tetapi tidak ada yang mau percaya. Mungkin karena perempuan sehingga kesaksian mereka dianggap “tidak layak dipercayai.” Tetapi, Petrus, salah seorang dari mereka akhirnya penasaran dan pergi juga ke kubur hendak membuktikan sendiri. Berkat kesungguhan Petrus mencari Tuhan itulah ia menjadi murid pertama yang kepadanya Yesus memperlihatkan diri sejak bangkit dari kubur (Lukas 24:34). Di sini pendekatan jalan Salib mengangkat kelompok marginal dalam struktur sosial, yaitu kaum perempuan menjadi tokoh penting.  Demikian pula, Ia memberkati yang sungguh-sungguh mencari-Nya, yaitu Petrus dengan memperkenankannya menjadi orang pertama yang ditemui-Nya. 

Itulah makna jalan salib. Ia tidak hadir sebagai penguasa yang menggentarkan, melainkan menunjukkan kelemahlembutan sebagai kekuatan. Kekuatan, untuk menghadirkan cinta kasih, pemulihan hubungan, dan saling melayani demi mencapai kebaikan bersama.

Paus Fransiskus berlutut dan mencium kaki Presiden Sudan Selatan Salva Kiir. (Foto: Vatican Media/Handout via REUTERS)
Paus Fransiskus berlutut dan mencium kaki Presiden Sudan Selatan Salva Kiir. (Foto: Vatican Media/Handout via REUTERS)
Makna itulah sepenuhnya juga kerap diteladankan oleh Paus Fransiskus, pemimpin tertinggi umat Katolik sedunia.  Yang paling aktual dalam kunjungannya baru-baru ini ke Sudan Selatan dalam misi perdamaian untuk bertemu para pemimpin di negara itu, baik dari pejabat pemerintah maupun partai oposisi. Seperti diketahui, negara itu terancam menjadi negara gagal lantaran kemiskinan dan perang saudara yang seakan tidak berkesudahan. Dalam pertemuan itu, Paus Fransiskus mencium kaki presiden Salva Kiir, juga kaki pemimpin pemberontak Riek Machar, serta tiga wakil presiden Sudan Selatan untuk memohon agar mereka mau mengakhiri perang dan kembali bersatu merawat perdamaian dan membangun bangsa.

Hal yang mirip pernah pula dilakukan Neslon Mandela, presiden Afrika Selatan 1994-1999.  Ia adalah orang kulit hitam pertama yang menjadi Preasiden di negara yang dikuasai warga kulit putih dengan politik Aparatheid yang rasial dan diskriminatif.  Dibawah kekuasaan Apartheid Mandela dijadikan tahanan politik dan sekurangnya 28 tahun dikurung di penjara. Namun, ketika keluar dan terpilih menjadi presiden melalui konstetasi elektoral multirasial pertama dalam sejarah negara itu, sikap mulia yang dilakukannya adalah memaafkan semua musuh-musuh politiknya itu, kemudian mengajak mereka terlibat dalam pemerintahan, bekerja sama membangun negara. Afrika Selatan bertumbuh menjadi negara yang jauh lebih baik, karena Mandela memilih jalan salib (memaafkan musuh dan menghilangkan diskriminasi), bukan menggunakan kekuasaan sebagai kepala negara untuk membalas dendam.

Demikian pula kita di Indonesia. Kiranya makna jalan salib Paskah menginspirasi kita untuk merawat kembali hubungan persaudaraan kebangsaan. Pilpres sempat membuat kita terbelah dalam dukungan, juga terbelah dalam memilih partai-partai politik dan caleg. Tetapi perbedaan itu hal normal, bahkan anugerah. Pemilu sudah usai dan kita tinggal menunggu hasil real count dari KPU.  Sambil menunggu, saatnya kita rekonsiliasi untuk merekatkan kembali hubungan pertemanan dan kekeluargaan,  lalu dengan gotong-royong kita siap membangun bangsa bagi kebaikan bersama.yaitu meraih masyarakat adil dan makmur berdasaran Pancasila. Siapa pun yang kelak resmi ditetapkan sebagai Presiden dan wakil, ia adalah pemimpin bangsa Indonesia. Karena itu, dengan semangat persatuan dan persaudaraan kita siap menerima hasil. Bukankah pemimpin adalah pelayan masayarakat? Bertempur dan konflik bukanlah nature seorang pelayan sejati!

Saya yakin, apa yang menjadi substansi jalan salib seperti dibahas di atas terdapat juga dalam ajaran agama-agama lain, meski tentu dengan konsep yang berbeda.  Sebab, semua agama pasti mengajarkan moralitas dan keagungan, perdamaian dan cintakasih. 

Marilah kita memilih jalan salib, bukan jalan pedang, demi Indonesia yang damai, adil, makmur  dan sejahtera!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun