Pesta rakyat di salahsatu pentas electoral terbesar dunia telah sukses kita selesaikan. Kita bangga karena sukses penyelenggaraannya diapresiasi oleh para pemimpin dunia. Corak demokrasi yang diakui memiliki tingkat kerumitan tinggi lantaran menggabungkan pemilihan pimpinan tertinggi eksekutif (presiden) dan legisilatif dalam satu even. Namun hanya dalam waktu dua jam paska pelaksanaan hasilnya sudah bisa tergambarkan. Tiada duanya di dunia.
Pemilu telah usai. Namun, getaran panggung dan keriuhan bercampur rasa was-was membayang. Di tengah tebaran kabut panas saling klaim kemenangan, kipas-kipas bara oleh kelompok-kelompok kecil di belakang layar yang inginkan jalan pintas ke kursi kuasa, umat Kristiani memasuki minggu Paskah. Sebuah ironi, tetapi pasti bukan kebetulan, bahwa Paskah hadir pada waktu dimana suhu politik nasional memanas.
Paskah dimaknai dengan jalan salib. Salib memaknai rekonsiliasi. Ia menghubungkan bumi dan langit, dunia dan sorga, manusia dan Pencipta. Hubungan manusia yang rusak akibat pemberontakan kepada Allah Pencipta, didamaikan oleh Salib. Dengan Salib, hubungan yang rusak itu dipulihkan.
Sementara, palang menggambarkan relasi horizontal antara manusia dan sesamanya, bahkan dengan sesama ciptaan Allah. Ia menghadirkan keramahan dan perhatian, cinta kasih dan pemulihan, persaudaraan dan kekeluargaan. Itulah jalan kehidupan.
Tetapi, bila bentuk salib dibalikkan, yaitu bagian palngnya di bawah, maka bentuknya terlihat mirip pedang. Dan, kita tahu bahwa pedang dalam banyak hal menyimbolkan perang, konflik, pertumpahan darah, permusuhan, pemisahan, provokasi dan sejenisnya. Dan, itu adalah jalan menuju maut.
Maka, jalan salib antitesa jalan pedang. Jalan Salib Paskah hadir untuk mendamaikan permusuhan, menguatkan yang lemah, mengangkat yang rendah, menyembuhkan yang terluka, melindungi yang tertindas, dan memberi pengharapan bagi yang putus asa.
Persitiwa penyaliban menjadi puncak penggenapan misi Yesus di bumi. Lewat teladan hidup dan karya-Nya, Yesus menjadikan jalan Salib sebagai metode aksi.
Metode jalan salib terlihat pada keseluruhan pendekatan dan kesaksian hidup-Nya. Beberapa teladan darinya dapat ditunjukkan lewat persitiwa-peristiwa penting menjelang Paskah, yang akan menjadi klimaks dari misi mesianik-Nya.
Pertama; ketika bersama murid-murid menuju kota Yerusalem Ia disambut sebagai Raja. Bukan Ia yang mendeklarasikan diri sebagai raja, melainkan rakyat banyak berinisiatif sendiri memproklamasikan status kerajaan-Nya. Meskipun, dalam ‘persitiwa pelantikan’ yang sangat momental itu, Ia datang dengan hanya mengendarai seekor keledai, betina pula!?? Dan, kita tahu bahwa keledai adalah binatang pengangkut barang, bentuknya mungil dan lemah, bahkan kerap diasosiasikan dengan kebebalan. Padahal, jabatan Raja dan Guru adalah pembesar agung, yang pantasnya mengendarai kuda jantan pilihan berparas elok, perkasa, dan kuat. Kuda yang bisa membuat kehadiran-Nya memancarkan wibawa, ketakjuban, dan rasa hormat, sekaligus kegentaran di tengah khalayak. Namun, kuda gagah adalah simbol kekuatan, kekuasaan, pengaruh duniawi, dan penaklukan, yang substansinya bertolak belakang dengan spirit jalan salib, yaitu kelemahlembutan dan cinta kasih. Toh, meski mengendarai keledai lemah, dengan sukarela, tanpa dikomando atau rekayasa, rakyat menyambutnya dengan sorak-sorai dan gegap gempita. Mereka menanggalkan pakaian di badan dan memangkas ranting-ranting dedaunan sebagai karpet yang ditebarkan sepanjang jalan menuju kota, sambil berseru, “Hosana! Diberkatilah Dia yang datang dalam nama Tuhan, Raja Israel!”
Kedua; malam menjelang penangkapan-Nya, Ia merayakan Paskah, hari raya penting umat Yahudi bersama murid-murid. Ia yang dikenal sungguh oleh para murid sebagai Raja dan Guru, tanpa disangka-sangka mengambil baskom dan air, lalu membasuh kaki murid-murid-Nya, satu persatu. Ia justru merendahkan diri serendah-rendahnya. Pernah di Cyprus kami melakukan ibadat pembasuhan kaki, dan ketika tiba di teman dari Betlehem dan Yordania, mereka menolak kakinya dibasuh. Karena penasaran, setelah ibadat saya menanyai keduanya. Menurut mereka, tindakan membasuh kaki adalah pekerjaan yang sangat hina dalam tradisi mereka, karenanya mereka merasa tidak layak menghinakan orang lain dengan membiarkan kaki dibasuh. Mereka pun tak sudi melakukan pekerjaan pembasuhan. Dengan metode jalan Salib, Yesus melakukan ‘pekerjaan rendahan dan hina,’ bahkan yang paling rendah diantara semua jenis pekerjaan. Tetapi, lewat ‘demonstrasi’ itu pendekatan Salib mengajarkan bahwa manusia seharusnya saling merendahkan diri satu terhadap yang lainnya, dan saling melayani atas dasar cinta kasih. Bukankah Tuhan, sang Pencipta adalah sumber cinta kasih? Bukankah Tuhan maha penyayang? Arogansi dan struktur kuasa adalah sumber luka dan pengrusak martabat kemanusaiaan. Tidak ada pekerjaan yang lebih rendah daripada membasuh kaki orang lain, tetapi itulah yang dipilih Yesus untuk meneladankan kerendahatian dan empati, memporakporandakan arogansi dan sok kuasa. Sebelumnya, Ia telah mengajarkan kepada para murid, bahwa pemimpin adalah dia yang melayani, bukan dilayani dan lewat pembasuhan kaki Ia memperkuat ajaran-Nya itu, tetapi di sisi lain juga mengangkat martabat dari para pelayan dan pekerjaan pelayanan itu sendiri ke puncak struktur piramida kepemimpinan.
Ketiga; ketika ditangkap Ia dihadapkan pada Pilatus. Dalam pemeriksaan, Pilatus tidak menemukan kesalahan-Nya, lalu mengirim-Nya kepada Herodes, yang juga ternyata tidak menemukan kesalahan apapun yang dituduhkan kepada-Nya. Peristiwa itu mendamaikan hubungan antara Pilatus dan Herodes yang sebelumnya saling bermusuhan. Itulah dampak lain dari pendekatan Jalan Salib. Ia memulihkan hubungan antara sesama.