Siapa bilang Propaganda Rusia, seperti yang disebutkan Presiden Joko Widodo itu tidak ada? Semburan fitnah itu hoaks?
Seperti sudah banyak dibahas, Propaganda Rusia atau popular dikenali dengan Firehouse of Falsehood diartikan sebagia teknik propaganda yang bercirikan penggunaan fitnah dan kebohongan-kebohongan secara terang benderang (obvious lies) dengan maksud menciptakan ketakutan publik untuk memberi vote (mencoblos) atau memberi dukungan kepada lawan politik.Â
Kebohongan-demi kebohongan dilakukan secara berulang-ulang dengan ragam cara agar kebohongan itu tertanam dalam benak massa sehingga seola-olah benar. Tujuannya jelas untuk meraih kemenangan dengan cara yang tidak fair.
Dengan definisi di atas, silahkan nonton video pidato Ahmad Dhani (AD) yang viral beberapa hari lalu. Dikutip dari Detiknews, video tersebut awalnya diunggah di Twitter oleh akun @qitmr pada Rabu (6/2/2019).
Karena sudah banyak disebarkan, saya tidak perlu menyebarkannya disini. Bagi yang tertarik silahkan ketik dengan kata kunci "PDIP dan Nasakom" atau "NU dan Nasakom," atau yang mirip itu, pasti ketemu.
Salah satu poin mengatakan kalau capres petahana, Joko Widodo menang pilpres maka akan menghidupkan kembali ideologi NASAKOM (Nasionalisme, Agama dan Komunisme) yang dulu dilahirkan oleh Soekarno. Dalam video tersebut AD menyebutkan PDIP (yang dulunya PNI) dan NU adalah pendukung Nasakom.
Saya mencatat, setidaknya beberapa point yang amat berbahaya, dan setidaknya diperlukan klarifikasi, entah dari pihak Jokowi, PDIP dan NU maupun dari AD dan kubu Capres 02 agar dapat menjadi sumber pembelajaran politik dan pencerahan bagi masyarakat. Tentu, Bawaslu lebih paham tugasnya terkait konten video ini sehingga bisa memberi penjelasan, mengingat kontennya memberi indikasi kuat kaitannya dengan kampanye Pilpres 2019. Bila tidak, framing dan kampanye hitam ini berpotensi berkembang luas sehingga menciptakan banyak kesesatan paham, juga keresahan di tengah masyarakat.
Pertama; dengan berani AD mengatakan, kalau ada keberanian Sandiaga Uno di debat nanti untuk tanya ke Jokowi, "apakah Nasakom bertentangan nggak dengan Pancasila, saya yakin pak Jokowi dalam hatinya akan menjawab, tidak bertentangan." Saya kategorikan pernyataan Dhani itu berani, karena ia seolah memastikan mengetahui 'jawaban di hati Jokowi.' Â Pernyataan ini licik, sebab memberi implikasi bila pertanyaan diajukan maka apa pun konten verbal yang akan dijawab Jokowi tidak lagi diperlukan karena sudah di-framing. AD sudah menunjuk jawaban sebenarnya yaitu 'di hatinya pak Jokowi.' Artinya, jawaban Jokowi sudah dianulir terlebih dahulu sehingga massa didorong untuk lebih percaya pada 'jawaban yang ada di hati pak Jokowi, seperti yang diketahui AD itu."
Kedua; HTI bahkan dianggap tidak ada apa-apanya dibanding Nasakom. Alasannya, HTI tidak mungkin menggantikan ideologi Pancasila, sementara PDIP dan NU seolah-olah diposisikan sebagai 'pewaris historis' NASAKOM.  AD menyebutkan, apabila Jokowi menang, dengan dukungan PDIP dan NU, lalu menguasai setidaknya 51% suara parlemen, mereka bisa mencabut TAP MPR No.XXV tahun 1966 yang melarang PKI, lalu memberlakukan kembali NASAKOM.  Apakah AD dan kubunya tidak tahu, bahwa sejak Golkar dibawah pimpinan Setya Novanto beralih ke kubu Indonesia Hebat kekuatan dukungan ke presiden Joko Widodo  di parlemen bahkan mungkin sudah lebih dari 60%? Jadi, kalau benar tuduhan AD, mengapa tidak dilakukan sekarang dan menunggu pemilu 2019 yang belum tentu hasilnya?
Ketiga; AD juga menyebut diri sebagai ustad, dan bersama para ustad lainnya akan ditangkapi (bila NASAKOM diberlakukan), atas tuduhan hendak mendirikan Negara Islam. Statemen ini berpotensi membenturkan para ulama (ustad-ustad) dengan NU, PDIP dan pasangan Capres/Cawapres no. 01. Â Apakah AD hendak mengabaikan begitu banyaknya ustad dan kyai berkharisma di NU dan juga mengabaikan kontribusi besar NU bagi tegakknya nasionalisme di bumi NKRI?
Keempat; AD tutup orasinya dengan mengatakan bahwa 17 April 2019 adalah perang melawan Nasakom. Â Kita ingat, dalam Pemilu 2014 Amin Rais menyebutkan 'perang Badar,' dan di pemilu 2019 adalah 'perang melawan Komunisme.' Upaya kubu Prabowo-Sandi (karena AD adalah jurkam nasional /BPN) untuk mengaitkan Presiden Joko Widodo dengan PKI tidak pernah surut, meski telah berulang-ulang dibantah dengan berbagai bukti dan argumentasi logis. Bedanya kini, bukan hanya Jokowi yang dikaitkan melainkan Cawapres Ma'ruf Amin juga dengan sendirinya terkait lantaran NU juga dianggap pendukung PKI.
Meskipun pengacara AD, Hendarsam Marantoko seperti dilansir detik.news (7/2/19) menyatakan kliennya hanya menceritakan sejarah: "Ya nggak perlu dikontroversikan, emang kita bercerita tentang sejarah kok, tidak menjelek-jelekkan suatu pihak kan. Sejarahnya memang nasakom itu ada. Nasionalismenya itu adalah orang-orang PNI, Marhaen, agamanya itu salah satunya orang-orang NU, komunis sisanya adalah PKI," imbuh Marantoko. Namun, ucapan-ucapan AD dalam video itu memberi indikasi yang jauh berbeda. Â Saya bahkan meyakini adanya indikasi kuat telah terjadi kampanye hitam (black campaign) atau lebih spesifik lagi, Â propaganda Rusia! Â
Entah, bagaimana dengan Anda?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H