Mohon tunggu...
Semuel S. Lusi
Semuel S. Lusi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Belajar berbagi perspektif, belajar menjadi diri sendiri. belajar menjadi Indonesia. Belajar dari siapa pun, belajar dari apapun! Sangat cinta Indonesia. Nasionalis sejati. Senang travelling, sesekali mancing, dan cari uang. Hobi pakai batik, doyan gado-gado, lotek, coto Makasar, papeda, se'i, singkong rebus, pisang goreng, kopi kental dan berbagai kuliner khas Indonesia. IG @semuellusi, twitter@semuellusi

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Bersihkan Sampah Hoaks dari Ruang Publik-Politik

24 Januari 2019   17:08 Diperbarui: 1 Desember 2019   23:24 184
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Critias (460-403 BC). Greek sophist. One of the Thirty Tyrants. Engraving.

"What appears to you to be true

 is true for you,

And what appears to me to be true

is true for me."

-Protagoras-

Sedikitnya lima tahun terakhir kita merasakan sesak-napas akibat pekatnya polusi wacana di langit politik nasional. Kebohongan demi kebohongan diubar  ke ruang publik tanpa malu, tidak saja oleh orang-orang awan tak terdidik, melainkan oleh para elit, bahkan yang menyandang titel akademik prestisius. Ironis! Tindakan-tindakan yang sungguh menghina nalar dan intelektualitas. 

Menarik juga mengamati, bahwa untuk pertamakalinya menyongsong  sebuah even pilpres 2019, alumni dari berbagai kampus ternama mendeklarasikan dukungan terbuka kepada pasangan calpres. 

Bisa jadi, fenomena ini menjadi bukti betapa kaum intelek telah tak bisa menahan diri dan terganggu oleh permainan wacana yang membahayakan tatanan moral dan standar-standar kebenaran  yang menjadi kultur akademik. Gejala merebaknya kebohongan dan penyesatan nalar dalam dunia filsafat dikenal sebagai sikap sofistik, merujuk  sekelompok filsuf Yunani Antik yang menamai diri sofis.

Sofis merupakan kaum cendekiawan profesional yang lahir saat  kuncup kembang demokrasi Athena sedang mekar-mekarnya.  Sekitar abad ke-5 SM (Sebelum Masehi),  didahului kemenangan besar Athena dalam perang melawan Persia tahun 449 SM, serta kemenangan atas kerajaan sekitar menyebabkan banyaknya upeti (pajak) mengalir ke Athena sehingga syarat kesejahteraan dan kemakmuran rakyat terpenuhi. Kondisi ini memungkinkan konsentrasi pada tatanan hidup bersama di polis lebih memadai dan menjadi prioritas. 

Boleh dikatakan, kaum sofis adalah pemikir awal dalam sejarah filsafat, terutama yang berkaitan dengan manusia dan kehidupan bersama (politik dan negara). Kelompok yang menyebut diri sebagai pengajar kebijaksanaan itu, sebagaimana arti dari nama itu (sofis), hadir sebagai kebutuhan zaman dalam konteks perkembangan politik-demokratik Athena. Dalam pratik demokrasi purba itu, sebagian besar keputusan yang menyangkut kehidupan bersama (politik) diambil berdasarkan pemungutan suara. Praktik kepengacaraan (hukum) dan keputusan-keputusan pengadilan juga ditentukan oleh dukungan suara terbanyak para juri.  

Dengan demikian, iklim demokrasi membutuhkan topangan rakyat yang cerdas, terutama dalam hal beretorika dan berorasi secara persuasif untuk meyakinkan dan memenangkan dukungan massa sebagai voter. Dalam kondisi demikianlah, kaum sofis menemukan 'segmentasi pasar' untuk menjajakan ilmu dan keterampilannya, yaitu dalam hal debat dan retorika. 

Mereka menyelenggarakan kursus-kursus publik maupun private dengan memungut bayaran. Bahkan, beberapa tokoh disebut-sebut memiliki tarif tinggi, mungkin sama dengan para seminaris dan motivator di abad modern ini.  Ini tidak mengherankan, dikarenakan para sofis bukanlah warga negara Athena sehingga mereka tidak berhak memiliki properti. 

Mereka hanyalah pesiarah dari daerah sekitar, seperti Makedonia, Alexandria, Sicilia, Ionia, Persia dan sebagainya. Di Athena, yang boleh disebut sebagai kota metropolitan (meter=ibu, polis = kota. Metropolitan = ibu dari polis-polis lainnya) untuk ukuran zaman itu, para sofis berstatus pendatang (orang asing) yang hanya menumpang mencari nafkah.

Sulit menyebut sofisme sebagai ajaran kritis.  Bila pendahulu mereka, yaitu filsuf pra-Socartik (phusikoi) seperti Thales, Permanides, Empedokles, Herakleitos dan lainnya bergelut dengan upaya menemukan kebenaran hakiki (arche), kaum sofis lebih fokus ke 'bisnis pengajaran.'  Terutama untuk melatih keterampilan dalam beretorika.

Mengutip sejumlah pendapat, Copleston (1951, A History of Philosophy, Vol.1) menyebut kaum ini sebagai nihilisme filosofis (philosophical Nihilism), dan bahwa mereka memiliki keahlian dalam mempermainkan kata-kata sehingga bisa membuat hal-hal yang tidak masuk akal menjadi masuk akal, sebaliknya yang masuk akal menjadi tidak masuk akal.  Yang benar bisa dibuat salah, dan apa yang salah bisa dibuat benar, yang faktual menjadi maya dan sebaliknya. Tidak tanggung-tanggung, Platon menyebut kelompok sofis sebagai amoral, manipulatif, kaum intelektual dangkal, penyesat, dan sejenisnya.  

Mudah memahami pemikiran kaum sofis, bila terlebih dahulu mengungkap  asumsi filosofis mereka tentang manusia. Bagi sofisme, manusia pada dasarnya egois dan selalu dikendalikan hasrat untuk mengakumulasi apa saja yang diinginkan bagi kepentingan dirinya.  Asumsi filosofis ini nampak menyatu dalam tindakan praxis mereka.

Dengan klaim antropologis seperti itu, mudah menyimpulkan orientasi self-centered yang dijadikan panduan filosofi hidup. Tokoh-tokoh utama yang dapat disebut sebagai juru bicara aliran filsafat relatifisme purba ini antara lain Protagoras, Prodicus, Grogias, Thrasymachos,  Antipas, dan lainnya. Quote (kutipan) yang tercantum di bawah judul tulisan ini sedikit menggambarkan corak filosofisnya, yaitu bahwa kebenaran tidak memiliki ukuran baku sehingga tergantung pada situasi setiap orang.  Yang baku adalah kebenaran ku, kebenaran mu, kebenaran dia, dan sejenisnya.

Protagoras misalnya, menyatakan bahwa persepsi setiap orang itu benar (atau pasti memiliki unsur kebernaran), sementara Grogias berpendapat sebaliknya, bahwa tidak ada persepsi yang benar karena,  nothing exists!  Secara umum, kaum sofis merelatifkan semua ajaran kebenaran, hukum, ukuran-ukuran moral, dan kearifan-kearifan Yunani demi kepentingan diri. 

Dengan cara itu, mereka mengajari para pengikutnya menggunakan berbagai trik untuk memenangkan perdebatan. Mereka piawai dalam beretorika dan persuasi sehingga mudah memengaruhi massa. Terkait hukum misalnya, Protagoras mengajarkan bahwa keadilan itu semata-mata alat penguasa untuk menekan kelompok yang dikuasai. Apakah yang adil itu? "Adil adalah bertindak baik pada teman dan menjahati musuh," demikian Protagoras.

Apa dampak dari kehadiran kaum Sofis di Athena? Harus diakui ada hal positif, seperti kontribusi mereka dalam menginisiasi pendidikan formal, mempersiapkan masyarakat berpartisipasi dalam rezim demokrasi, memajukan Athena dari sikap kolot, membangun tradisi bernalar, dan sebagainya. Namun, dampak negatifnya paling eksplosif mengaduk-aduk fondasi nilai-nilai yang menjadi pegangan bersama masyarakat Athena, menggoyahkan sendi-sendi kehidupan masyarakat, menghasilkan orator-orator ulung  yang terampil beretorika  melandas pada asumsi-asumsi sesat dan rapuh. Argumentasi dan 'sikap intelektual' mereka tergantung pada orderan, bukan pada data, informasi, dan fakta-fakta yang bisa diuji. 

Bagi kaum sofis, kata-kata dapat menciptakan realitas, maka dari permainan katalah mereka mencipta realitas sebagai amunisi bagi argumentasi pemungkas mereka. Sofisme dalam filsafat sejak awalnya sudah mengandung negatifitas, karena dianggap jauh dari substansi dan 'roh' filsafat itu sendiri, yaitu terikat pada upaya pencarian kebenaran dan kebijaksanaan.

Kiranya paparan di atas memberi sedikit gambaran tentang kaum Sofis. Lalu, apa hubungannya dengan Indonesia? Hiruk pikuk politik yang kita rasakan, terutama sejak Pilkada DKI tahun 2012 dan 2017, juga Pilpres 2014 hingga Pilpres 2019 sepenunya menggambarkan bagaimana efektifitas metode sofistik bekerja.  

Era ini seolah diakui dan dibabtis dengan sebutan mentereng post-truth society, yang seungguhnya menyembunyikan asumsi berbahaya yang memberi panggung bagi sofisme. Para elit politik dengan posisi terhormat, kadang bahkan berlatar akademis berpangkat prestisius, pun ulama dengan reputasi keagamaan yang kuat, secara transparan aktif memproduksi dan atau menyebarkan informasi-informasi palsu. 

Mereka tidak segan-segan membajak Tuhan untuk membenarkan argumentasi yang diperjuangkannya. Masih segar diingatan publik, bagaimana wacana liar dimuntahkan dengan membuat pembelahan partai allah dan partai syeitan, prediksi kemenangan pilpres untuk calon yang diusung berdasarkan tanda-tanda dari langit, juga tanda-tanda alam, dan sejenisnya. 

Bahkan, menyebar tuduhan pro asing, PKI, anak haram, ijazah palsu, pengkhianat bangsa, musuh-musuh allah, dan sejenisnya kepada lawan politik. Sebuah tuduhan palsu yang terus direpitisi, dengan maksud agar menanamkan dalam benak masyarakat sehingga lama-kelamaan bisa diterima sebagai realitas. Semua itu menunjukkan dengan sebenar-benarnya cara kerja kaum sofis. 

Untuk menyerang lawan, misalnya Ahok dalam kasus pilkada DKI tahun 2017 yang kebetulan masih turunan Tionghoa, dikembangkan isu pribumi vs asing-aseng. Entah apa definisi pribumi dalam benak para pengusung isu ini, jelasnya pada saat bersamaan mereka mengusung Anis Baswedan, yang juga keturunan pendatang dari Timur Tengah.  

Ketika mengonsolidasi kekuatan dan dukungan untuk mempersiapkan capres dan cawapres 2019, diselenggarakan pertemuan ulama kemudian menghasilkan rekomendasi antara lain agar ulama diusung dalam pilpres. Sebagai pendukung capres Prabowo, diusulkan beberapa nama ulama untuk pasangan cawapres. Alih-alih mengakomodir rekomendasi ulama, Prabowo malah memilih dari internal partai Gerindra, yakni Sandiago Uno. 

Sebaliknya, petahana diluar dugaan memilih kyai Ma'ruf Amin, seorang ulama kawakan yang sekaligus ketua MUI menjadi cawapresnya.  Namun, dengan gaya sofistik yang lihai kelompok ini sukses merasionalisasi dukungan pada Prabowo-Sandi, yang bahkan keduanya menolak diuji kemampuan membaca kitab suci Islam. Bila diasumsikan kadar ke-Islam-an bisa diukur dari kemampuan membaca kitab suci, jelas dukungan para pendukung khilafah ini terhadap Capres no. 002  merupakan sikap inkonsistensi. Tetapi, sebagai penganut sofis justru sikap itu konsisten dalam inkonsistensinya itu.

Dilansir cnnindonesia,com (17/1/19) Direktur Eksekutif PARA Syndicate Ari Nurcahyo menyangsikan kesalahan data Praboowo dalam depat pilpres 17 Januari 2019 sebagai ketidaksengajaan. "Kita lihat pola, dan sepertinya berulang teraplikasi dan terpola, saya menduga salah data ini bukan sesuatu terpleset, bukan sesuatu yang tidak sengaja. Justru ini bagian dari strategi untuk melakukan disinformasi terhadap data dan fakta,"  demikian argumennya. 

Selain 'teknik salah data' yang digunakan Prabowo-Sandi dalam debat Capres itu,  Ari juga menyebut sejumlah kasus lain seperti kasus Ratna Sarumpaet, penyebutan tax ratio Indonesia hanya 10%,  selang  cuci darah di RSCM yang dipakai 40 orang, penderitaan petani beras Klaten akibat import beras yang membanjir,  dan sebagainya.

Sasaran antara kaum sofis adalah relativisasi nilai-nilai kebenaran, standar moral, kearifan budaya dan semua yang menjadi pegangan bersama seperti ideologi Pancasila, ajaran-ajaran moral agama, kearifan-kearifan budaya Nusantara, dan sebagainya. Termasuk didalamnya, delegitimasi terhadap lembaga-lembaga Negara, terhadap otoritas pemerintah, otoritas data statistik, dan apa pun yang berseberangan atau dianggap menghambat tujuan-tujuan politik mereka. 

Tujuannya, sekali lagi, bukanlah untuk menegakkan nilai-nilai agung tertentu sebagai pegangan bersama, melainkan semata-mata merebut kekuasaan. Bahkan, sekalipun mengusung simbol-simbol agama, mereka sesungguhnya bukan memperjuangkan esensi agama terlihat dari sikap-sikap dan metode yang digunakannya, yang jauh dari nilai-nilai kebaikan dan etika. Bukankah Allah adalah yang maha baik?

Kita perlu berefleksi lebih jauh. Kaum sofis Indonesia memiliki perbedaan yang khas. Antara lain tujuan-tujuan politik untuk meraih kekuasaan, sementara tujuan kaum sofis Athena sangat parktis, yaitu mengajari keterampilan beretorika dan debat. Lain dari itu, kaum sofis Athena dibatasi  oleh hak-hak kewarganegaraan.  Maka, di Indonesia implikasinya menjadi lebih serius dengan potensi merusak yang lebih dahsyat. 

Sebab, sofis Indonesia bertindak menggunakan keahlian retorika-penyesatannya dalam posisi sebagai warga negara dengan banyak hak sebagaimana diatur konstitusi.  Bahkan kerap dengan memanfaatkan posisi struktural di lembaga-lembaga negara mereka lebih leluasa menunggangi kewenangan formalnya untuk menyusupkan dan meng-goal-kan agenda-agenda tersembunyi. 

Bahaya lainnya lagi, memanfaatkan sikap religiusitas masyarakat Indonesia yang tinggi, para sofis membajak simbol-simbol agama sebagai tunggangan untuk memasuki jantung dan denyut nadi masyarakat guna menularkan virus jahatnya. Hasil penelitian LIPI, seperti dilansir cnnindonesia.com (18/1/19)  menemukan adanya relasi faktor agama (politik) dengan penyebaran hoaks. Peneliti LIPI, Amin Mudzakir mengungkapkan bahwa di daerah yang memiliki afiliasi dengan Islam politik sangat tinggi tingkat penerimaan informasi hoaks. Tiga daerah yang disebutkan memiliki tingkat penyebaran hoak tertinggi adalah Jawa barat, Aceh dan Banten. Menurut saya, ini bukan masalah agamanya, melainkan bukti kelihaian kaum sofis membungkus rapih maksud-maksud jahat dibalik atribut-atribut religius.

Kondisi di atas menyadarkan kita bahwa kehadiran kaum sofis di pentas politik Indonesia patut diwaspadai karena berpotensi menghancurkan sendi-sendi kehidupan bersama, sebagaimana suksesnya kaum sofis meluluhlantakkan polis Athena. Lepas dari potensi bahaya sistem demokrasi yang telah ditolak sejak awal kelahirannya, antara lain oleh Socrates, Platon dan Aristoteles,  kaum sofis sangat berkontribusi pada kejatuhan Athena.  

Maka, tidak ada salahnya mengambil sikap tegas dan konstitusional sejak dini untuk menertibkan keliaran virus relatifisme yang diumbar bebas, sebelum Indonesia ikut jatuh terkubur menjadi sekadar lembar arsip-arsip sejarah. Hukum harus punya kepekaan dan daya untuk menangkap para penyebar hoaks,  pengusung relatifisme, termasuk pembajak agama-agama, agar bisa menciptakan efek jera.  Beberapa kasus telah menunjukkan gejala lahirnya daya imun masyarakat menghadapi kaum sofis.

Bahkan, bisa disebut sebagai bentuk mekanisme pertahanan diri  dimana secara proaktif dilakukan pengecekan data autentik. Masyarakat tidak mau percaya begitu saja pada informasi yang diterimanya melainkan mau mengujinya dengan mencari-temukan dan menampilkan fakta serta mengunggahnya ke publik via berbagai media. 

Strategi ini untuk sementara cukup ampuh mengunci gerak liar kaum sofis karena langsung diperhadapkan pada 'pengadilan nalar publik.'  Secara massif untuk strategi jangka panjang sebaiknya juga segera diwacanakan post-hoaks society demi membersihkan sampah-sampah hoaks dari ruang publik Indonesia. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun