Sebab, sofis Indonesia bertindak menggunakan keahlian retorika-penyesatannya dalam posisi sebagai warga negara dengan banyak hak sebagaimana diatur konstitusi. Â Bahkan kerap dengan memanfaatkan posisi struktural di lembaga-lembaga negara mereka lebih leluasa menunggangi kewenangan formalnya untuk menyusupkan dan meng-goal-kan agenda-agenda tersembunyi.Â
Bahaya lainnya lagi, memanfaatkan sikap religiusitas masyarakat Indonesia yang tinggi, para sofis membajak simbol-simbol agama sebagai tunggangan untuk memasuki jantung dan denyut nadi masyarakat guna menularkan virus jahatnya. Hasil penelitian LIPI, seperti dilansir cnnindonesia.com (18/1/19) Â menemukan adanya relasi faktor agama (politik) dengan penyebaran hoaks. Peneliti LIPI, Amin Mudzakir mengungkapkan bahwa di daerah yang memiliki afiliasi dengan Islam politik sangat tinggi tingkat penerimaan informasi hoaks. Tiga daerah yang disebutkan memiliki tingkat penyebaran hoak tertinggi adalah Jawa barat, Aceh dan Banten. Menurut saya, ini bukan masalah agamanya, melainkan bukti kelihaian kaum sofis membungkus rapih maksud-maksud jahat dibalik atribut-atribut religius.
Kondisi di atas menyadarkan kita bahwa kehadiran kaum sofis di pentas politik Indonesia patut diwaspadai karena berpotensi menghancurkan sendi-sendi kehidupan bersama, sebagaimana suksesnya kaum sofis meluluhlantakkan polis Athena. Lepas dari potensi bahaya sistem demokrasi yang telah ditolak sejak awal kelahirannya, antara lain oleh Socrates, Platon dan Aristoteles, Â kaum sofis sangat berkontribusi pada kejatuhan Athena. Â
Maka, tidak ada salahnya mengambil sikap tegas dan konstitusional sejak dini untuk menertibkan keliaran virus relatifisme yang diumbar bebas, sebelum Indonesia ikut jatuh terkubur menjadi sekadar lembar arsip-arsip sejarah. Hukum harus punya kepekaan dan daya untuk menangkap para penyebar hoaks, Â pengusung relatifisme, termasuk pembajak agama-agama, agar bisa menciptakan efek jera. Â Beberapa kasus telah menunjukkan gejala lahirnya daya imun masyarakat menghadapi kaum sofis.
Bahkan, bisa disebut sebagai bentuk mekanisme pertahanan diri  dimana secara proaktif dilakukan pengecekan data autentik. Masyarakat tidak mau percaya begitu saja pada informasi yang diterimanya melainkan mau mengujinya dengan mencari-temukan dan menampilkan fakta serta mengunggahnya ke publik via berbagai media.Â
Strategi ini untuk sementara cukup ampuh mengunci gerak liar kaum sofis karena langsung diperhadapkan pada 'pengadilan nalar publik.'  Secara massif untuk strategi jangka panjang sebaiknya juga segera diwacanakan post-hoaks society demi membersihkan sampah-sampah hoaks dari ruang publik Indonesia.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H