"Jikalau kamu belum melihat keindahan jiwamu, berlakulah seperti orang pemahat yang ingin membuat patung indah. Ia akan mencongkel bagian ini, menggerus bagian itu. Ia akan menhakuskan bagian sini, membersihkan bagian situ, dan ia akan melakukannya terus sampai wajah indah patung itu keluar. Demikia juga halnya dengan kamu, cungkillah segala hal yang tidak perlu, benarjan apa-apa yang suram, murnikan segala yang gelap supaya bersniar, dan jangan pernah berhenti memahat patungmu sendiri sebelum keutamaan yang jernih dan ilahi muncul bersinar dari dirimu"Â (Plotinus, Enneades, 16, 9,7).
Metafora ini memberi gambaran yang sangat jelas tentang bagaimana sang diri menjalani penyempurnaan secara gradual dan berkelanjutan, dan bahwa dalam proses tersebut diri (subyek) berperan aktif. Setiap orang bertanggungjawab atas pengembangan dirinya dan terlibat secara langsung membentuknya.
Ia berhadapan dengan berbagai pilihan, dan setiap pilihan tindakan harusnya merupakan pilihan terbaik yang dilakukan dengan sadar agar mengarahkan pertumbuhan diri menuju kesejatian atau keluhuran jiwa.
Hirarkhi Realitas
Plotinus menggambarkan pengalamannya menurut tradisi Platonik sebagai hirarkhi realitas. Hirarkhi realitas sesungguhnya adalah hirarkhi dalam kehidupan, dan juga hirarkhi dalam diri. Menurut tradisi ini, urutannya mulai dari yang tertinggi adalah: SUPREME LEVEL (GOD) MATERI (ZAT) dan JIWA MANUSIA berada diantara keduanya. Saya mencoba menggambarkannya sebagai berikut:
"Dulunya kamu adalah Yang Total, tetapi karena ada sesuatu yang ditambahkan kepadamu maka kamu bukan lagi Yang Total, oleh tambahan-tambahan itu kamu justru menjadi lebih kurang daripada Yang Total itu. Tambahan-tambahan itu sama sekali tidak bersifat positif (karena sebenarnya apa lagi yang bisa kita tambahkan kepada Yang Total?), semua tambahan-tambahan itu bersifat negatif. Saat kita menjadi "seseorang", artinya kita tidak lagi menjadi Yang Total, kita telah menambahan suatu negasi". (Plotinus, Enneades VI5, 12, 19)
Agar kembali ke hakikatnya itu, diri harus melakukan "latihan mati" (askesis) sebagai proses conversio (pembalikan) agar melepaskan diri dari keterikatan nafsu atau tubuhnya. Titik akhir dan titik tuju dari perjalanan diri (batin) adalah ketika jiwa telah menyatu kembali secara total dengan Tuhan, Higher Self atau Yang Total.
Dengan kata lain, ketika diri tidak lagi terbelah dua sebagai Tubuh dan Jiwa, melainkan telah menyatu sebagai Satu dalam Segalanya, dan Segalanya dalam Satu (One and All) bersama dengan Tuhan. Itulah diri sejati, dan True self atau self in God ini  tidak terpisah melainkan terdapat dalam diri.
Akhirnya, dapat disimpulkan bahwa pemikiran-pemikiran Plotinos dapat menerangi konteks kita di Indoensia. Pokok pemikiran Plotinos mengajarkan proses pengembangan diri dari yang duniawi kepada diri Ilahiah, dari diri yang tidak autentik kepada diri autentik, dari diri yang penuh  hawa nafsu kepada diri bijak dan intelek, diri yang subyektif menuju diri obyektif dan universal, diri yang terpisah dengan jiwa menjadi diri yang menyatu dalam kesatuan kosmis, dan pada akhirnya, menjadi diri yang menyatu dengan Tuhan.
Tuhan ada dalam diri dan diri ada dalam Tuhan sebagaimana diri ada dalam segala sesuatu dan segala sesuatu ada dalam diri. Dengan menjadikan 'kemenyatuan ilahi' sebagai titik orientasi bagi pertumbuhan diri, kita diingatkan oleh Plotinos untuk menjalani pertobatan atau pembalikan total (conversio) kepada hakikat diri sebagai makluk rohani, dan menjauhi segala nafsu serakah berlebihan.