Siapakah manusia? Apakah diri itu? Pengenalan akan hakikat diri menjadi faktor esensial karena dapat menjadi titik start (titik awal), sekaligus titik tuju (pusat orientasi) untuk menjalani dan mengembangkan diri. Sebab, bagaimana orang bisa menjalani diri dan mengembangkan dirinya bila tidak tahu siapa dirinya itu, dan kemana sebaiknya ia bertumbuh?
Konsep pengembangan diri (self-development) ternyata bukan isu baru di abad super-modern ini. Sejak abad 4 SM konsep ini sudah diperkenalkan oleh para filsuf Yunani, terutama Platon dan kaum Stoicis. Pemikiran-pemikiran Platon kemudian dilanjutkan dan dikembangkan oleh Plotinos.
"Metode" pengembangan diri dalam konsep berpikir filsafat ini cukup lengkap karena mengandung wawasan-wawasan spiritual yang sudah maju menjadikannya tetap penad di era milenial ini.
Dalam situasi bangsa yang menghadapi krisis multidemensi total, termasuk krisis identitas para pemimpinnya yang banyak terjerat kasus hukum, sikap hedonis yang sibuk merawat eksterioritas diri, para "dewa korupsi" yang mengobar nafsu dengan dikelilingi dayang-dayang pemuas seks, kiranya cahaya pemikiran para filsuf Yunani antik ini dapat menerangi kepekatan nurani dan memandu jalan kembali ke diri sejati, diri fitrah atau diri yang ilahiah. Krisis identitas hakikatnya adalah kesesatan, yaitu sesat dari diri sejati.
Dari Tubuh Menuju Jiwa
Sebagai murid Socrates, pemikiran Platon dipengaruhi oleh pemikiran sang guru. Bahkan, dalam kaitan dengan konsep diri, Platon menjadikan pengalaman hidup (dan mati) gurunya sebagai teladan. Diri harus makin sempuna dengan lebih memerhatikan kebutuhan pertumbuhan jiwa dibandingkan kebutuhan tubuh. Dan, untuk itu kematian pun tidak dapat menaklukkan semangat menyempurnakan jiwa dan kemenyatuan dengan Yang Utama atau Yang Total.
Kehidupan tidak lain dari perjalanan kembali sang Diri menuju hakikatnya. Itu dilakukan dengan cara mengambil jarak dan meninggalkan ikhwal duniawi lalu mengkontemplasikan realitas diri sejati yaitu jiwa yang rohaniah. Proses ini dicapai dengan metode "latihan mati," yang merupakan sebuah tindak pembalikan (conversio) dari nafsu ke jiwa. Conversio mungkin bisa dipahami dalam bahasa teologi sebagai pertobatan. Â
Untuk memahami pembagian diri (pandangan dualitas) menurut Plotinus, saya mencoba merangkumnya dalam sebuah diagram. Diagram tersebut terdiri dari dua kolom sebelah menyebelah untuk menggambarkan keterpilahan Tubuh dan Jiwa, masing-masing dengan sifat, penanda dan asosiasinya.
Diantara kedua kolom tersebut terdapat kolom lain yang diberikan anak panah (arrow) untuk menggambarkan arah pertumbuhan diri (yaitu dari TUBUH ke JIWA) dan metode yang digunakan agar dapat mencapai jiwa.
Melalui metode latihan mati, conversio, konsentrasi pada keinginan jiwa, dan simplifikasi diri, orang (diri) dapat bertransformasi dari keadaan kebertubuhan (yang becirikan "keinginan daging") menuju kemurnian Jiwa yang bersifat ilahi, kemenyatuan kosmik, intelek dan sebagainya.
Proses menuju Jiwa ini digambarkan dengan sangat cerdas lewat metafora "sang Pemahat." Metafora ini digunakan untuk menggambarkan proses penemuan atau pencapaian diri sejati, sebagaimana dikutib oleh A.Setyo Wibowo (Basis No.09-10 tahun 2009) sebagai berikut:
"Jikalau kamu belum melihat keindahan jiwamu, berlakulah seperti orang pemahat yang ingin membuat patung indah. Ia akan mencongkel bagian ini, menggerus bagian itu. Ia akan menhakuskan bagian sini, membersihkan bagian situ, dan ia akan melakukannya terus sampai wajah indah patung itu keluar. Demikia juga halnya dengan kamu, cungkillah segala hal yang tidak perlu, benarjan apa-apa yang suram, murnikan segala yang gelap supaya bersniar, dan jangan pernah berhenti memahat patungmu sendiri sebelum keutamaan yang jernih dan ilahi muncul bersinar dari dirimu"Â (Plotinus, Enneades, 16, 9,7).
Metafora ini memberi gambaran yang sangat jelas tentang bagaimana sang diri menjalani penyempurnaan secara gradual dan berkelanjutan, dan bahwa dalam proses tersebut diri (subyek) berperan aktif. Setiap orang bertanggungjawab atas pengembangan dirinya dan terlibat secara langsung membentuknya.
Ia berhadapan dengan berbagai pilihan, dan setiap pilihan tindakan harusnya merupakan pilihan terbaik yang dilakukan dengan sadar agar mengarahkan pertumbuhan diri menuju kesejatian atau keluhuran jiwa.
Hirarkhi Realitas
Plotinus menggambarkan pengalamannya menurut tradisi Platonik sebagai hirarkhi realitas. Hirarkhi realitas sesungguhnya adalah hirarkhi dalam kehidupan, dan juga hirarkhi dalam diri. Menurut tradisi ini, urutannya mulai dari yang tertinggi adalah: SUPREME LEVEL (GOD) MATERI (ZAT) dan JIWA MANUSIA berada diantara keduanya. Saya mencoba menggambarkannya sebagai berikut:
"Dulunya kamu adalah Yang Total, tetapi karena ada sesuatu yang ditambahkan kepadamu maka kamu bukan lagi Yang Total, oleh tambahan-tambahan itu kamu justru menjadi lebih kurang daripada Yang Total itu. Tambahan-tambahan itu sama sekali tidak bersifat positif (karena sebenarnya apa lagi yang bisa kita tambahkan kepada Yang Total?), semua tambahan-tambahan itu bersifat negatif. Saat kita menjadi "seseorang", artinya kita tidak lagi menjadi Yang Total, kita telah menambahan suatu negasi". (Plotinus, Enneades VI5, 12, 19)
Agar kembali ke hakikatnya itu, diri harus melakukan "latihan mati" (askesis) sebagai proses conversio (pembalikan) agar melepaskan diri dari keterikatan nafsu atau tubuhnya. Titik akhir dan titik tuju dari perjalanan diri (batin) adalah ketika jiwa telah menyatu kembali secara total dengan Tuhan, Higher Self atau Yang Total.
Dengan kata lain, ketika diri tidak lagi terbelah dua sebagai Tubuh dan Jiwa, melainkan telah menyatu sebagai Satu dalam Segalanya, dan Segalanya dalam Satu (One and All) bersama dengan Tuhan. Itulah diri sejati, dan True self atau self in God ini  tidak terpisah melainkan terdapat dalam diri.
Akhirnya, dapat disimpulkan bahwa pemikiran-pemikiran Plotinos dapat menerangi konteks kita di Indoensia. Pokok pemikiran Plotinos mengajarkan proses pengembangan diri dari yang duniawi kepada diri Ilahiah, dari diri yang tidak autentik kepada diri autentik, dari diri yang penuh  hawa nafsu kepada diri bijak dan intelek, diri yang subyektif menuju diri obyektif dan universal, diri yang terpisah dengan jiwa menjadi diri yang menyatu dalam kesatuan kosmis, dan pada akhirnya, menjadi diri yang menyatu dengan Tuhan.
Tuhan ada dalam diri dan diri ada dalam Tuhan sebagaimana diri ada dalam segala sesuatu dan segala sesuatu ada dalam diri. Dengan menjadikan 'kemenyatuan ilahi' sebagai titik orientasi bagi pertumbuhan diri, kita diingatkan oleh Plotinos untuk menjalani pertobatan atau pembalikan total (conversio) kepada hakikat diri sebagai makluk rohani, dan menjauhi segala nafsu serakah berlebihan.
Gejala yang telah menjangkiti sebagian besar elit di negeri menunjukkan bahwa 'teguran' Plotinos memiliki gema yang perlu digaungkan lebih keras di negeri yang kita imani sebagai ber-Ketuhanan-yang-Maha Esa ini.Â
CATATAN: tulisan ini sudah dipublish di Indonesia-Menalar.com dan blog pribadi semuellusi
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI