Mohon tunggu...
Semuel S. Lusi
Semuel S. Lusi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Belajar berbagi perspektif, belajar menjadi diri sendiri. belajar menjadi Indonesia. Belajar dari siapa pun, belajar dari apapun! Sangat cinta Indonesia. Nasionalis sejati. Senang travelling, sesekali mancing, dan cari uang. Hobi pakai batik, doyan gado-gado, lotek, coto Makasar, papeda, se'i, singkong rebus, pisang goreng, kopi kental dan berbagai kuliner khas Indonesia. IG @semuellusi, twitter@semuellusi

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pancasila Sebagai "Agama Nasional"

24 Agustus 2017   23:49 Diperbarui: 1 Juni 2018   09:16 1888
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Keempat; frase, "atas berkat Allah yang Maha Kuasa" diganti dengan "Atas berkat Tuhan yang Maha Kuasa" disepakati atas usul I Gusti Ktut Pudja, dengan alasan konsep Tuhan lebih netral dan mudah dipahami dalam agama Hindu ketimbang konsep Allah.  Usul seorang, yang dalam praktek politik dapat saja diabaikan dan dikalahkan oleh suara mayoritas dapat diterima dengan kebesaran jiwa. Penerimaan usul ini telah menyempurnakan "naskah Proklamasi" sebab dengan demikian tidak membuka ruang bagi peluang tindakan diskriminatif. Akomodasi terhadap suasana kebatinan dan keyakinan religius penganut minoritas terpenuhi, dengan tanpa mengurangi keagungan esensi agama yang memiliki penganut mayoritas.  

Kelima; peristiwa Sumpah Pemuda 28 Oktober sendiri tidak dapat dipahami sebagai peristiwa biasa. Franz Magnis-Suseno menyebutnya sebagai "peristiwa kelahiran bangsa Indonesia," yang kemudian  baru diumumkan atau diproklamasikan pada 17 Agustus 1945. Sebuah kekuatan adikodrati nampak ketika para utusan dari berbagai daerah, yang sesungguhnya hadir sebagai 'wakil dari kerajaan-kerajaan lokal,' masing-masing dengan kebesaran masa lalu dan keagungan kedudukan primordial yang disandangnya. Namun, dengan kesadaran dan kerelaan mau melepaskan semua jabatan istimewanya demi tekad berama menjadi Indonesia.  Tanpa intervensi Tuhan fenomena ini sulit dipahami. 

Setidaknya kelima alasan di atas menggambarkan, bahwa tidak lagi ada keraguan lahirnya bangsa Indonesia merupakan sebuah anugerah Tuhan, yaitu Tuhan Yang Maha Esa (TYME).  Intevensi TYME dalam kemerdekaan NKRI sama nyata dan sama kuatnya dengan keyakinan bangsa Yahudi atas penyertaan Yahweh (Tuhan) yang membawa mereka keluar dari tanah perbudakan Mesir ke 'negeri yang penuh air susu dan madu."

Keyakinan itu membuat bangsa Yahudi menjadi bangsa yang sangat kuat, baik dalam persatuan maupun dalam etos kerja membangun bangsanya.  Demikianlah, bangsa Indonesia pun seharusnya memiliki iman yang sangat kuat atas penyertaan TYME, yang menganugerahkan kemerdekaan dengan segala kelimpahan sumberdayanya.  Iman itu seharusnya pula menjadi kekuatan sejati untuk mempererat persaudaraan dan persatuan kebangsaan demi membangun negeri yang telah dianugerahkan TYME itu.

Antara Ideologi Pancasila dan 'Ideologi Agama'

Apa hakikat Pancasila? Dalam uraian Soekarno di persidangan BPUPKI tanggal 1 Juni 1945,  yang kemudian diperingati sebagai hari lahir Panasila dijelaskan sebagai berikut: Pancasila adalah "Philosofische grondslag daripada Indonesia Merdeka. Philosofische grondslag itulah pundamen, filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya, jiwa, hasrat yang sedalam-dalamnya untuk di atasnya didirikan gedung Indonesia Merdeka yang kekal dan abadi."Gambaran dan pemaknaan Soekarno  itu menunjukkan bahwa Pancasila memiliki posisi 'sekuat agama' bagi warga negara Indonesia, tanpa perlu dipahami seolah-olah menggeser posisi agama.  Dengan dasar demikian,  NKRI tidak didirikan untuk satu golongan, satu etnis, satu ras atau satu agama, melainkan 'semua untuk semua."

Dalam Pancasila, konsep "Tuhan Yang Maha Esa (TYME)" merupakan tuhannya bangsa Indonesia. Setiap agama memiliki sebutan yang berbeda, juga ritual dan cara penyembahan yang berbeda. Namun sebagai bangsa menunjuk kepada  satu tuhan, yaitu TYME.   Itulah sebabnya, bagi Titaley Pancasila amat sesuai dengan keyakinan Kristen sehingga perlu diimani.  "Orang Kristen patut mengimani Tuhannya di Indonesia, yaitu Tuhan Yang Maha Esa," demikian tegas Profesor, yang juga Rektor UKSW itu.

Dengan rumusan berbeda Prof.Alwi Shihab memahami Pancasila sebagai titik temu dalam mendirikan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). KarenanyaPancasilatidak bertentangan dengan agama apapun. Titik temu, tentu berarti sebuah 'titik" dimana semua perbedaan menemukan esensi kesamaannya. Sebuah saripati dari 'keagungan' semua prinsip primordial.  "Pengingkaran terhadap Pancasila merupakan ciri dari perilaku yang tidak Islami," demikian mantan menteri Luar Negeri itu menegaskan. Tentu, Islam dalam perspektif tersebut merupakan ciri Islam moderat.  Di sini catatan KH.Mustofa Bisri menjadi penting, yaitu bahwa Islam itu moderat, dan kalau tidak moderat berarti bukan Islam.  Gus Mus, seperti biasanya ia disapa, menegaskan tidak ada Islam radikal, atau label lainya, karena Islam sejati adalah moderat.

Nampaknya konsepsi  Pancasila sebagai  'titik temu' juga diusung oleh  Prof.Dr.Quraish Shihab. Menurutnya, meski pun kita berbeda-beda dalam keimanan dan agama, kita memiliki banyak titik temu sebagai ajang kerjasama, misalnya, mengatasi kesenjangan, kemiskinan, ketidakadilan,  kebodohan, dsb.  

Secara sosiologis agama adalah produk budaya. Manusia sebagai makhluk berbudaya hanya bisa memahami Tuhan menurut interpretasi budayanya, dan bukan memahami Tuhan sebagaimana eksistensi Tuhan yang sebenarnya. Dengan cara paham seperti itu, Prof. Titaley meyakini bahwa teks Proklamasi dan Pancasila  bersifat Injili, Kristiani, dan Ilahi sehingga patut diimani.  Apakah pernyataan (iman) semacam itu dapat diakui oleh ulama dan penganut agama lainnya?

Agama apapun sifatnya budayawi. Dengan pemahaman itu, truth claim bahwa sebuah agama paling benar dan paling ilahi tidaklah tepat. Klaim demikian tentu sahih hanya secara internal di "ruang private" sebagai pernyataan iman demi pertumbuhan keimanan dari pengnut agama itu. Namun tidak patut diklaim di 'ruang publik." Sebab, di ruang publik Indonesia, semua agama memiliki kedudukan setara dengan TYME  sebagai "tuhan nasional."  Sebagai Tuhan kebangsaan,  TYME memiliki semua ciri yang melekat pada tuhan agama-agama primordial, antara lain Maha Besar, Maha Kuasa,  Maha Adil, Maha Kasih, Maha Baik, Maha Sempurna, Maha Pengampun, dan maha-maha lainnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun