Awalnya tulisan ini merupakan saripati atau katakanlah, hasil pemahaman dan proses internalisasi saya berdasarkan diskusi empat Profesor dalam sebuah seminar. Seminar yang diadakan oleh mahasiswa Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) itu megusung tema, "Mengukuhkan Pancasila, Merawat Kebhinekaan" menghadirkan empat ulama besar.
Mereka adalah Prof.Dr.Romo Franz Magnis-Soseno (ulama Katolik), Prof.Dr.Alwi Shihab (ulama Islam), Prof. .Dr.Drs.I Nengah Duija (ulama Hindu), dan Prof.John A.Titaley,Th.D. (ulama Protestan). Di kemudian hari, setelah menyaksikan sebuah acara live show di sebuah tv swasta nasional saya tambahkan pula pikiran-pikiran Prof.Quraish Shihab dan KH.Mustofa Bisri.
Tentu saja, konsep "Agama Nasional" yang dijadikan judul tulisan ini tidak pernah diungkapkan secara eksplisit oleh para Profesor yang dirujuk seperti disebutkan di atas. Namun, substansi yang dipahami dan direfleksikan mengkristal dalam konsep tersebut. Meski demikian, sama sekali tidak dimaksudkan sebagai 'pelecehan terhadap keluhuraan agama-agama,' apalagi sebagai agama baru menandingi agama-agama yang sudah ada.
Indonesia sebagai Sebuah Anugerah
Pernyataan Proklamasi (Pernyataan Indonesia Merdeka) yang tercantum dalam Pembukaan UUD'45 merupakan sebuah 'pengakuan iman' para pendiri bangsa, yang diformulasikan dengan indah dan tegas pada alinea ketiga: Atas berkat Rahmat Tuhan yang Maha Kuasa...dst). Deklarasi iman ini merupakan manifestasi dari keimanan yang sungguh-sungguh pada agama dan tuhan primordial masing-masing individu pendiri bangsa. Dengan rumusan frase deklaratif di atas, semua anggota pendiri bangsa meyakini campurtangan kekuatan transenden yang disebut Tuhan itu. Tuhan, yang dikenalnya dengan sebutan berbeda-beda dalam agama masing-masing, namun menerima 'sebutan baru' itu sebagai unsur hakikat yang sama sebagaimana diimani dalam agama primordialnya.
Bagi Prof.Titaley, diproklamasikannya NKRI merupakan anugerah Tuhan yang nyata. Titaley berargumentasi bahwa banyak kejadian ditengah jalan sesungguhnya tidak sesuai skenario yang dipersiapkan matang oleh para pendiri bangsa, termasuk didalamnya hasil-hasil keputusan BPUPKI/PPKI. Nyata ada 'kekuatan lain' yang mengintervensi sehingga apa yang telah dipersiapkan "Panitia Persiapan Kemerdekaan" lebih disempurnakan.
Pertama; rencana proklamasi kemerdekaan tidak sesuai skenario para tokoh utama pendiri bangsa. Soekarno dan generasi tua lainnya menginginkan menunggu 'hadiah' kemerdekaan seperti dijanjikan Jepang, karena khawatir akan terjadi pertumpahan darah dan korban nyawa yang seharusnya tak perlu.
Bukankah BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) sudah dibentuk balatentara Jepang sejak Mei 1945? Seperti Karl Marx yang meyakini perwujudan cita-cita komunisme tidak perlu diperjuangkan karena sudah menjadi kehendak zaman, Soekarno mengandaikan momentum proklamasi sebagai 'ibu yang sedang hamil tua,' tentu waktu bersalinnya segera tiba. Tidak bisa tertunda, dan tidak akan ada yang bisa menghalangi.
Namun, tanggal 16 Agustus para pemuda menculik Soekarno dan Hatta ke Rengasdengklok dan berhasil meyakinkan mereka untuk segera memproklamasikan NKRI. Skenario besar para pendiri bangsa berantakan, tergantikan oleh sebuah 'skenario dadakan' yang tak terencana. Kalau bukan intervensi Tuhan, kekuataan apa yang bisa lebih besar dari perencanaan matang para pendiri bangsa yang berkolaborasi dengan peguasa Jepang waktu itu?
Kedua; Pernyataan Indonesia Merdeka (PIM) yang telah disiapkan melalui persidangan-persidangan BPUPKI/PPKI tidak digunakan, melainkan sebuah naskah ringkas yang dikenal sebagai teks Proklamasi. Naskah ini baru dibuat pada malam sebelum hari proklamasi, sementara PIM kemudian menjadi Pembukaan UUD'45 telah dipersiapkan jauh sebelumnya, dibahas dan diputuskan dalam persidangan BPUPKI. Apabila yang dibacakan pada hari Proklamasi 17 Agustus itu adalah naskah PIM, maka nuansa Islam-nya sangat kuat sebab masih menggunakan naskah Piagam Jakarta. Demikianlah, intervensi Tuhan yang maha dahsyat telah menyempurnakan Proklamasi kemerdekaan Indonesia, dari kecondongannya pada nilai-nilai agama tertentu ke posisi netral yang universal dan tidak diskriminatif.
Ketiga; BPUPKI/PPKI telah menghasilkan rumusan akhir Pancasila, yang dikemudian hari disebut sebagai "piagam Jakarta," yaitu dengan mencantumkan tujuh kata, "dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi penganut-penganutnya" pada Sila I. Namun, di tanggal 18 Agustus 1945 oleh usul keberatan sejumlah tokoh dari Kawasan Timur akhirnya disepakati menghapuskan ke tujuh kata itu. Apabila tidak dihilangkan ketujuh kata itu akan sangat berpotensi meciptakan peluang terjadinya diskriminasi terhadap golongan non Islam. Nilai-nilai diskriminatif tentu tidaklah sesuai dengan ajaran agama manapun, dan bertentangan dengan sifat hakiki Tuhan sebagai yang "Maha Adil," dan "Maha Kasih." Sekali lagi terlihat, apa yang telah dihasilkan melalui proses panjang terkoreksi agar menjadi sempurna, hanya dalam waktu sesaat dan tak terencana.