Bahkan, bisa juga mendapatkan informasi “A1” dan berbagi wawasan dengan bupati Rote Ndao, bapak Drs.Lens Haning, MM., yang sempat sekelas dalam beberapa mata kuliah ketika beliau melanjutkan studi Sarjananya di FIA Undana akhir 1980-an. Tetapi karena tujuan saya hanya dolanan (jalan-jalan sejenak) dalam perjalanan pulang ke Salatiga, dengan sisa waktu yang amat singkat, tak sempat saya lakukan. Sungguh sayang!
Khusus untuk Bo’a dan Oeseli, yang untungnya belum terlanjur “tercemari” kapitalisasi indusrti wisata modern, sebaiknya masyarakt lokal didampingi dan difasilitasi agar tidak melepaskan tanah milik mereka. Mungkin sebuah payung hukum dalam bentuk Perda dibutuhkan. Akan lebih bagus kalau digunakan sistem kontrak sehingga keuntungan bisa dinikmati juga oleh keturunan mereka di masa depan.
Berbeda dengan melepaskan hak milik, meski alasan desakan kebutuhan ekonomi atau godaan hidup mewah (sikap hedonis), dimana hanya generasi kini yang menikmatinya. Sementara anak cucu mereka kelak terancam hidup melarat tanpa tanah sepenggal pun, bahkan untuk sekadar membangun rumah tempat berteduh. Seperti umumnya terjadi di berbagai kota di awal pengembangan.
Dengan demikian, keindahan alam terintegrasi dengan keindahan budaya akan menciptakan keunikan pesona yang tidak akan ditemukan di tempat mana pun di dunia ini. Kalau sekadar mengandalkan keindahan pantai (alam) sesungguhnya amat banyak tempat lain yang indah, bahkan lebih indah dari Oeseli, Bo’a dan Nemberala.
Di seluruh wilayah Indonesia ini bertebaran tempat-tempat indah bagai surga. Tetapi dalam kesatuan padu antara keindahan alam dengan keunikan budaya lokal, bisa dipastikan tidak akan ada bandingannya di mana pun di semesta ini. Termasuk kuliner lokal seperti lepa no (campuran parutan kelapa yang dikeringkan dan dicampur gula nira), sayur bunga pepaya, lawar daun pepaya, se’i, jagung bose, dan lainnya.
Perjalanan kami menjadi komplit ketika tiba di Busalangga, di rumah ponakan lainnya yaitu Jhon Lusi (adiknya Hanok). Semua ponakan lain, anak cucu, dan menantu telah menunggu dengan suguhan masakan jagung bose, lawar ikan sardin, ikan kua kuning dan minuman favorit saya, tua hopo (syrup gula air/nira lontar). Setelah makan malam yang spesial itu, kami pun foto bersama. Ponakan-ponakan ini sudah pada berkeluarga. Johni yang sulung, Hanokh, Merry yang menikah dengan Pendeta Ardi Lay, lalu Jhon yang bungsu. Foto bersama anak-anak mereka yang dengan sendirinya berstatus cucu. Wah, sudah kakek-kakek rupanya saya ini. Setelah foto bersama itu, kami pun melanjutkan perjalanan ke Ba'a untuk selanjutnya kembali ke Salatiga pada keesokannya. Kesan tak terlupakan karena kembali menikmati makanan-makanan khas Rote serta suasana kekeluargaan. Bukankah hal semacam itu pula yang dirindukan dan akan diingat oleh para pelancong?
Suatu saat saya pasti kembali ke sana menikmati keindahan alam dan budaya masyarakat Rote. Lalu, bertemu dengan orang-orang penting antara lain seperti disebutkan di atas, untuk mendapatkan wawasan mereka dan mendiskusikan hal-hal penting yang mungkin perlu untuk dikembangkan.
Jayalah Indonesia, majulah wisata Rote Ndao, nusa ndalu sitak (tanah kelahiran saya).
Salam Kompasiana!