Mohon tunggu...
Semuel S. Lusi
Semuel S. Lusi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Belajar berbagi perspektif, belajar menjadi diri sendiri. belajar menjadi Indonesia. Belajar dari siapa pun, belajar dari apapun! Sangat cinta Indonesia. Nasionalis sejati. Senang travelling, sesekali mancing, dan cari uang. Hobi pakai batik, doyan gado-gado, lotek, coto Makasar, papeda, se'i, singkong rebus, pisang goreng, kopi kental dan berbagai kuliner khas Indonesia. IG @semuellusi, twitter@semuellusi

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Dari Oeseli ke Nemberala: Kejutan Keindahan Alam Tiada Akhir

6 Februari 2017   15:41 Diperbarui: 10 Februari 2017   11:17 1311
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tanaman pun berjuang keras untuk hidup di atas batu karang. (Dokpri)

Pantai Nemberala di Rote sebagai surga wisata dunia tidak lagi asing. Khususnya bagi para peselancar dunia. Sebenarnya, disamping Nemberala, sekitar 2-3 km ke arah timur terdapat pantai Bo’a yang juga memiliki kualitas ombak yang sama menantang. Hanya saja Nemberala terlebih dahulu populer. Juga, infrastrukturnya lebih berkembang, terutama jalan,  resor dan sejumlah villa berkelas. 

Tetapi, sesungguhnya bukan hanya keindahan ombak saja yang layak dijadikan magnit bagi wisatawan. Untuk melihat kualitas ombaknya silahkan lihat video di bawah ini.


Dalam liburan keluarga akhir Januari 2017,  kami diantar oleh ponakan saya Hanok Lusi, yang lahir,  besar dan menetap di Busalangga yang jaraknya hanya puluhan menit ke Nembrala. Hanok adalah salah seorang cucu dari kakak ayah saya. Hanok memandu kami mengawali dari timur, yaitu pantai Oeseli. Pantai ini tenang, dikelilingi bebuktitan karang yang berdiri kokoh bagai benteng pelindung. 

Dari celah-celah karang yang amat alot menyembul dedaunan rimbun  hijau. Akarnya ulet menembus batu-batu alam yang keras. Musim hujan memungkinkan paduan dua kondisi kontras yang menciptakan ketakjuban tersendiri. Di musim panas, bukit-bukit cadas ini terlihat kusam, dingin dan membisu, dengan pepohonan yang cabang-cabangnya merana tanpa daun. Bagai kerangka tubuh mumi tanpa daging. Atau warna kekuningan yang menggambarkan kelayuan dan kerasnya perjuangan mendapatkan nutrisi untuk hidup. Di musim hujan tumbuhan-tumbuan itu seakan-akan merayakan kehidupan gemilang walau hanya dengan memungut “remah-remah nutrisi” tersisa dari celah cadas yang keras-kasar. Sepintas terkesan ganas tak kenal kompromi. 

Ketika masih sekolah kami diajarin bahwa tanah tempat kami pijak hanyalah karang tandus dan kritis. Ketika kuliah saya mulai sadari bahwa informasi itu menyesatkan. Sumber utamanya mungkin dari pengunjung luar pulau yang terbiasa melihatnya pada musim kemarau. Tanah batu itu ternyata sangat subur, hanya kekurangan air.  

Sumber: Maleber.net
Sumber: Maleber.net
Infrastruktur jalan dari ibukota kabupaten, yaitu Ba’a menuju Oeseli terbilang mulus. Ini salah satu syarat kemudahan yang terbilang penting untuk mengekspose sebuah obyek wisata, disamping ketersediaan akomodasi. Apalagi tempat wisata yang sudah punya “nama beken” macam Nemberala sudah sepantasnya didukung infrastruktur memadai.

Danau Oeseli lebih mirip “air laut yang terjebak” di sebuah lanskap. Airnya tenang bagaikan danau, namun terasa asin sebagai layaknya air laut. Istri saya dan Faith, anak kami, serta anak-anak yang ikut mengantar, tidak tahan diri untuk menceburkan diri ke dalamnya lantaran tergoda beningnya air, juga  jernih dan tenang.

Sejumlah rumah sederhana beratap daun kelapa berdiri di pinggir pantai. Rupanya dibangun oleh penduduk setempat untuk menyimpan rumput laut hasil budidaya mereka. Ini menambah level eksotis dari pantai Oeseli. Terlihat pula kawanan sapi dan domba sedang menikmati rumput muda dan hijau di sekitar pantai, memberi kesan suasana pedesaan yang ramah dan damai. Juga, rumpun kelapa dengan buah rimbun dan daun-daunnya diacak angin menambah keindahan suasana khas pesedaan. Sebuah surga memenuhi imajinasi saya!

Pantai Oeseli yang masih alami (Dokpri)
Pantai Oeseli yang masih alami (Dokpri)
Di bibir pantai yang dangkal Faith dan teman-temannya menemukan sejumlah bintang laut bewarna merah kecoklatan, juga undur-undur yang segera dijadikan obyek mainan. Beberapa bulu babi juga terlihat,  yang segera membuat mereka harus lebih waspada. Di depan sebuah rumah rumput laut istri saya melihat cangkang kerang ukuran besar. Tampilannya sangat indah dan artistik. Ia bertanya apakah bisa mendapatkannya? Setelah Hanok bertanya pada pemilik rumah, kami pun diperobolehkan membawanya. 

Entah berapa usia kerang ini? Ketika terdeteksi x-ray di bandara Eltari Kupang, kami diinformasikan jenis ini sudah langka dan terlarang dibawa keluar. Saya mengatakan bahwa ini hanya cangkang sebelah milik orang  yang mau memberikannya kepada kami. Jadi, bukan kerang hidup, juga bukan lengkap. Tetapi, kalau memang terlarang ya kami relakan saja. Setelah dikonsultasikan, mungkin ke atasan, akhirnya petugas membolehkan kami membawanya. Yang paling  bersyukur tentu istri saya.

Akhirnya cangkang kerang raksasa ini jadi vas bunga koleksi istri saya (Dokpri)
Akhirnya cangkang kerang raksasa ini jadi vas bunga koleksi istri saya (Dokpri)
Sambil menunggu Faith dan teman-temannya mandi, saya berkeliling mengeksplorasi daerah sekitar. Betapa kagum saya pada daya juang jenis tanaman yang akar dan batangnya begitu kokoh tumbuh dari celah karang yang kuat menghimpit namun tetap merambat liar. Beberapa tanaman kaktus bahkan sedang mekar berbunga. 

Saya bertanya dalam hati, bagaimana tanaman-tanaman ini mendapatkan nutrisi sehingga bertumbuh begitu subur?  Disebabkan tumbuh di atas cadas, meski terlihat batang-batangnya besar, kokoh dan subur, tanaman-tanaman tersebut nampak seperti “bonsai” saja. Usia mereka pasti sudah panjang namun cenderung kerdil.

Setelah puas-puas ber-selfie ria di sejumlah spot,  saya memandang ke bagian lain dari danau Oeseli. Nampak di sebelah barat, kurang lebih hanya 100-an meter jaraknya, terdapat bagian pantai yang bergemuruh. Berbeda dengan danaunya yang berpasir halus lembut bewarna keemasan, pantai yang juga dikawal bebatuan karang itu tak banyak berpasir. Perahu-perahu nelayan diparkir di bibir pantainya yang didominasi kerikil bewarna gelap. Tidak nampak aktivitas kenelayanan. Mungkin karena sedang musim hujan dan badai? 

Sebuah pelabuhan untuk sandaran kapal membelah bibir pantai. Terlihat sejumlah ABG (anak-anak remaja) duduk-duduk di ujungnya yang menjorok ke laut. Mungkin berselfie sambil menunggu sunset. Saya membayangkan sunset akan turun tepat di ujung pulau Ndana, dan bila posisinya tepat dibalik pukulan ombak yang memecah di udara akan memancarkan panorama unik yang layak ditunggu. Sayang sekali, karena harus mengejar beberapa lokasi lain kami tidak bisa menunggu momen yang mungkin sangat menjanjikan itu.

Kaktus pun bisa berbunga meski tumbuh di atas karang. Perjuangan hidup yang luar biasa (Dokpri)
Kaktus pun bisa berbunga meski tumbuh di atas karang. Perjuangan hidup yang luar biasa (Dokpri)
Saya ingin sedikit bercerita tentang pulau Ndana. Jaraknya hanya beberapa puluh mil laut dari pantai Oeseli. Dapat juga dilihat dari pantai Bo’a dan Nemberala. Ndana merupakan pulau terselatan Indonesia: sebuah pulau kecil tak berpenduduk. Sebagai salah satu dari 92 pulau terluar di Indonesia, sejak 2010 dibangun patung Jenderal Sudirman di atasnya. Sebelumnya telah dibangun pos dan barak TNI penjaga perbatasan.  

Ndana terkenal sebagai habitat rusa hutan (rusa Timor yang bernama latin cervus timorensis) yang di masa lalu banyak diburuh baik oleh penduduk lokal maupun dari luar yang hendak menyalurkan “hobi membunuhnya.” Kini jenis rusa ini termasuk hewan langka yang dilindungi pemerintah. Juga, terdapat ratusan gua tempat bersarang burung walet. 

Tentu, bagi pemburuh sarang walet akan merupakan “tambang profit” menggiurkan. Namun, tidak bisa sebebas itu mengakses sumberdaya di atas pulau. Marga Messakh, yang merupakan keturunan raja di masa sebelum Indonesia merdeka merupakan pemegang hak ulayat atas pulau yang luasnya sekitar 1000-an hektare itu.  Dalam nota kesepakatan dengan TNI disebutkan bahwa TNI-pun dilarang memburuh rusa maupun mengambil sarang burung walet. TNI bahkan ikut merawat ekosistem di pulau itu. Keindahan lainnya, di tengah pulau kecil itu terdapat sebuah danau air tawar yang sepintas berwarna merah kecoklatan. Bukankah dapat menjadi obyek wisata yang juga tak kalah menarik?

Di Pantai Oeseli (Dokpri)
Di Pantai Oeseli (Dokpri)
Faith dan teman-temannya telah selesai membersihkan diri di air tawar yang tersedia di pinggir danau. Kami pun melanjutkan perjalanan ke Nemberala. Sepanjang jalan, pemandangan khas bebatuan cadas dengan rimbun tumbuhan hutan yang tumbuh dan merayap di atasnya. Laksana lebat rambut bercat hijau tua di kepala orang Alor atau Papua. Ada nilai artistik dan estetik tak ternilai. Di beberapa titik terlihat bebatuan cadas berdiri kokoh dengan ketinggian menyolok bagaikan menara alam. 

Di puncaknya beberapa ekor kambing berdiri pongah mempertotonkan nyali alamiah mereka. Seakan-akan mengintai musuh dari puncak menara. Sayang, dipotret dengan kamera handphone (cellphone) jadul saya tidak bisa menghasilkan kualitas gambar yang cukup bagus untuk ditampilkan.

Kami tiba di Bo’a.  Pantainya juga masih alami. Pasir berwarna putih kecoklatan nampak membalut tipis di bibir pantai,  terputus-putus di beberapa titik karena bentukan karang. Pencemaran alami berupa sampah-sampah rumput laut, dahan dan dedaunan cukup menyolok. Hanya sebuah resor yang nampak berdiri di dekat pantai. Posisinya di puncak karang. Sebuah spot sengaja dibangun di ketinggian karang yang agak menjorok ke laut. Spot eksotik  dan strategis untuk memandangi keluasan dan birunya laut pantai selatan dengan gelombang yang bergulung-gulung menghantam pantai. Saya kira juga menjadi tempat selfie terfavorit. Pembangunan resor masih berlangsung. Pertanda terus ada pengembangan. Saya tidak tertarik untuk mampir.

Konon, ombak di pantai Bo’a ini sama dengan Nembrala. Tingginya di bulan Juli-Agustus bisa mencapai beberapa meter, berpadu hingga beberapa gulungan yang saling memburu. Itulah alasan yang memicu rasa penasaran para peselancar, yang tertantang mengubar adrenalin serta menguji kelincahan mengelola keseimbangan tubuh. Saya kerap sangat terpesona oleh kelihaian mereka menari-nari dan berakrobat menunggangi pundak-pundak gelombang. Ada saat menabrak frontal, menghindar, menyusup di “ketiak” gulungan air mengganas itu, dan melipir “tulang punggung” ombak yang bergerak liar anarkis menghantam pantai. 

Perumahan penduduk makin padat ke arah Nemberala. Bangunan-bangunan perumahan menunjukkan ciri-ciri “kota baru” yang sedang dalam pembentukan. Pemukiman penduduk dengan kualitas yang makin bagus dibanding Bo’a dan Oeseli. Terlihat juga lanskap yang telah dipagari, sejumlah bangunan hotel dan resor sedang dalam proses pembangunan.

Di kejauhan, di antara bukit-bukit karang menyembul beberapa hotel yang berdiri anggun. Seakan berpadu dan bersaing dengan “bangunan alam” yang tak kalah artistik itu. Di sekitar pantai selain yang masih dalam proses pembangunan, beberapa fasilitas akomodasi itu nampak sudah beroperasi. 

Meski kebanyakan dibangun dengan model tradisional, yaitu beratap daun, bentuknya sama sekali tidak menggambarkan rumah tradisional Rote. Saya tidak menyukainya. Itulah sebabnya saya tidak mengambil gambar dengan latar resor maupun hotel. Tidak terlihat ciri spesifik Rote di pantai ini. Tetapi untuk kepentingan tulisan, saya terpaksa mencari sumber lain untuk menunjukkan beberapa gambar.

Latar pagar sebuha resort dan di kejauhan di puncak-puncak karang nampak resor lainnya (Dokpri)
Latar pagar sebuha resort dan di kejauhan di puncak-puncak karang nampak resor lainnya (Dokpri)
Karena banyaknya kaplingan yang dipagari, dan konon masyarakat lokal pun di larang melewatinya, kami harus berputar mencari jalan masuk ke pantai. Rupanya bukan “musim berselancar” sehingga nampak hanya beberapa nelayan sedang membersihkan pukat, juga anak-anak bermain dengan riang di pantai. Karena bukan penggemar selancar (surving) saya tidak begitu terkesan. 

Memang, ombak bergulung-gulung beberapa baris saling memburu, memecah dengan menghamburkan warna putih kapas ke udara. Ini menciptakan sensasi keindahan tersendiri. Seperti letupan popcorn yang menghambur ke udara, bertubi-tubi dan susul menyusul. Tetapi, menurut saya pantainya kotor penuh sampah rumput laut, juga dedaunan dan ranting pohon. Warna pasirnya cenderung kusam mempertegas kesan kotornya. Boleh jadi karena banyak dibalut sampah sehingga keindahan pasirnya tidak mencuat. Cuaca sedang berkabut dan rintik pula, membuat kecantikan pantai seakan redup.

Rumah-rumah penduduk maupun “rumah-rumah pemodal” serta tanah yang sudah dimiliki pemodal semuanya berpagar. Di mana-mana terdapat pagar batu yang menjadi ciri khas di Rote. Bebatuan di susun rapih setinggi 100-150 cm.  Pagar-pagar para pemodal lebih kokoh, lebih rapih (karena batu-batunya terlebih dahulu dirapihkan dengan alat), juga lebih tinggi. 

Dan, kita tahu bahwa pagar mengandung makna pembatas sebagai larangan masuk bagi yang bukan pemilik. Publik kehilangan kebebasan menikmati alam ciptaan Tuhan lantaran dicaplok individu-individu egois pemilik modal. Bahkan, konon masyarakat lokal pun tidak dapat leluasa memasuki areal-areal berpagar itu, termasuk yang belum ada bangunannya, yang mungkin saja merupakan milik mereka sebelum dijual.  

sumber: meleber.net
sumber: meleber.net
Daya eksotik pantai Oeseli, Bo’a dan Nemberala menurut saya bukan hanya ombak,  pantai dan airnya yang jernih. Hijau keputihan di pinggirnya dan biru kehitaman di kedalamannya. Pemandangan pulau-pulau kecil, termasuk Ndana yang bisa dilihat dari ketiga titik itu, karang cadas yang tinggi menjulang, rimbun tanaman “bonsai” yang tumbuh subur dan membandel ulet mencengkram setiap lekukan cadas, keliaran kambing hutan yang lincah meloncat dan memanjat “menara-menara alam,” dan suasana pedesaan masyarakatnya mungkin bisa dipoles untuk “memperluas” daya tarik obyek wisata ini. 

Saya seungguhnya berharap bertemu lelaki Rote yang sedang menyadap nira sambil memperdengarkan suara merdunya lewat so’da (menyanyikan lagu-lagu bersyair Rote) seperti yang masih kuat terngiang di memori masa kekanakan saya 40-an tahun lalu, bunyi se’ek dipukul pada pelepah lontar setelah membersihkan haik (wadahpenampung nira), mendengar bunyi merdu mengalun dari dawai Sasando,  tempat kerajinan tangan topi ti’ilangga yang mendunia itu, atau para lelaki yang melakukan aktivitas dengan mengenakan ti’ilangga, tempat pembuatan gula lempeng atau gula semut, penggembala domba, kerbau, sapi, dan aktivitas khas masyarakat Rote lainnya. Saya teringat bahwa bulan Januari bukanlah musim menyadap nira (dalam bahasa Rote disebut fai fanuk/fanduk) sehingga wajar tidak terlihat aktivitas penyadapan, tetapi berharap masih menjadi kebiasaan masyarakat Rote yang terawat baik.

Sejujurnya saya lebih jatuh cinta pada Oeseli. Menurut saya, pantai dan lingkungannya lebih natural. Rumah-rumah masih khas “rumah desa”, lahannya bebas (belum dipatok-kapling), pasir putih gading dan air tenang di satu sisi tetapi di sisi lainnya ombak yang bergemuruh, kawanan domba, kambing dan sapi yang merumput bersama-sama, keriuhan lambaian nyiur yang mencitrakan keramahan alam, juga perumahan yang belum padat. 

Tentu saja, Bo’a juga masih menarik. Sedangkan Nembrala bukanlah lingkungan yang menarik bagi saya. Menurut saya tidak lagi alamiah. Lebih-lebih, kesan kuat tak terhindarkan bahwa Nemberala bukan lagi milik masyarakat lokal. Sebagian besarnya milik kaum berduit dan manfaatnya lebih banyak untuk mereka yang berduit.

Faith (berbaju kuning paling kanan), mama dan teman-temannya di Nembrala (Dokpri)
Faith (berbaju kuning paling kanan), mama dan teman-temannya di Nembrala (Dokpri)
Tidak ada salahnya berharap. Semoga Pemda Rote Ndao lebih mengembangkan kreasinya memperluas daya pikat dari ketiga pantai yang memang patut dijadikan obyek wisata kelas dunia ini. Seharusnya kalau lebih terencana saya bisa bertemu camat setempat yang juga adik angkatan saya waktu kuliah, yaitu Petson Hangge. Atau mengakses informasi dari senior saya Hanokh Ndoen yang berasal dari Nemberala. 

Bahkan, bisa juga mendapatkan informasi “A1” dan berbagi wawasan dengan bupati Rote Ndao, bapak Drs.Lens Haning, MM., yang sempat sekelas dalam beberapa mata kuliah ketika beliau melanjutkan studi Sarjananya di FIA Undana akhir 1980-an.  Tetapi karena tujuan saya hanya dolanan (jalan-jalan sejenak) dalam perjalanan pulang ke Salatiga, dengan sisa waktu yang amat singkat, tak sempat saya lakukan. Sungguh sayang!

Khusus untuk Bo’a dan Oeseli,  yang untungnya belum terlanjur “tercemari” kapitalisasi indusrti wisata modern, sebaiknya masyarakt lokal didampingi dan difasilitasi agar tidak melepaskan tanah milik mereka. Mungkin sebuah payung hukum dalam bentuk Perda dibutuhkan. Akan lebih bagus kalau digunakan sistem kontrak sehingga keuntungan bisa dinikmati juga oleh keturunan mereka di masa depan. 

Berbeda dengan melepaskan hak milik, meski alasan desakan kebutuhan ekonomi atau godaan hidup mewah (sikap hedonis), dimana hanya generasi kini yang menikmatinya. Sementara anak cucu mereka kelak terancam hidup melarat tanpa tanah sepenggal pun, bahkan untuk sekadar membangun rumah tempat berteduh. Seperti umumnya terjadi di berbagai kota di awal pengembangan.

Siap-siap makan jagung bose di rumah John Lusi di Busalangga (Dokpri)
Siap-siap makan jagung bose di rumah John Lusi di Busalangga (Dokpri)
Hal lain lagi, menurut saya akan menjadi sangat ideal dan strategis kalau masyarakat dihimbau mempertahankan bentuk rumah asli Rote dan tidak perlu tergoda membangun rumah tembok beratap seng. Adu gengsi terkadang tak tertahankan untuk menjebol pertahanan budaya lokal dari dalam oleh masyarakatnya sendiri. Wisatawan tentu lebih tertarik melihat sesuatu yang khas lokal. Intervensi pemerintah sangat dibutuhkan di sini. Kebiasaan-kebiasaan dan praktek-praktek budaya juga perlu dihidupkan kembali. 

Dengan demikian, keindahan alam terintegrasi dengan keindahan budaya akan menciptakan keunikan pesona yang tidak akan ditemukan di tempat mana pun di dunia ini. Kalau sekadar mengandalkan keindahan pantai (alam) sesungguhnya amat banyak tempat lain yang  indah, bahkan lebih indah dari Oeseli, Bo’a dan Nemberala. 

Di seluruh wilayah Indonesia ini bertebaran tempat-tempat indah bagai surga. Tetapi dalam kesatuan padu antara keindahan alam dengan keunikan budaya lokal, bisa dipastikan tidak akan ada bandingannya di mana pun di semesta ini. Termasuk kuliner lokal seperti lepa no  (campuran parutan kelapa yang dikeringkan dan dicampur gula nira), sayur bunga pepaya, lawar daun pepaya, se’i, jagung bose, dan lainnya. 

Perjalanan kami menjadi komplit ketika tiba di Busalangga, di rumah ponakan lainnya yaitu Jhon Lusi (adiknya Hanok). Semua ponakan lain, anak cucu, dan menantu telah menunggu dengan suguhan masakan jagung bose, lawar ikan sardin, ikan kua kuning dan minuman favorit saya, tua hopo (syrup gula air/nira lontar). Setelah makan malam yang spesial itu, kami pun foto bersama. Ponakan-ponakan ini sudah pada berkeluarga. Johni yang sulung, Hanokh, Merry  yang menikah dengan Pendeta Ardi Lay, lalu Jhon yang bungsu. Foto bersama anak-anak mereka yang dengan sendirinya berstatus cucu.  Wah, sudah kakek-kakek rupanya saya ini. Setelah foto bersama itu, kami pun melanjutkan perjalanan ke Ba'a untuk selanjutnya kembali ke Salatiga pada keesokannya.  Kesan tak terlupakan karena kembali menikmati makanan-makanan khas Rote serta suasana kekeluargaan. Bukankah hal semacam itu pula yang dirindukan dan akan diingat oleh para pelancong? 

Suatu saat saya pasti kembali ke sana menikmati keindahan alam dan budaya masyarakat Rote. Lalu, bertemu dengan orang-orang penting antara lain seperti  disebutkan di atas, untuk mendapatkan wawasan mereka dan mendiskusikan hal-hal penting yang mungkin perlu untuk dikembangkan.  

Jayalah Indonesia, majulah wisata Rote Ndao, nusa ndalu sitak (tanah kelahiran saya).

Salam Kompasiana!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun