Perumahan penduduk makin padat ke arah Nemberala. Bangunan-bangunan perumahan menunjukkan ciri-ciri “kota baru” yang sedang dalam pembentukan. Pemukiman penduduk dengan kualitas yang makin bagus dibanding Bo’a dan Oeseli. Terlihat juga lanskap yang telah dipagari, sejumlah bangunan hotel dan resor sedang dalam proses pembangunan.
Di kejauhan, di antara bukit-bukit karang menyembul beberapa hotel yang berdiri anggun. Seakan berpadu dan bersaing dengan “bangunan alam” yang tak kalah artistik itu. Di sekitar pantai selain yang masih dalam proses pembangunan, beberapa fasilitas akomodasi itu nampak sudah beroperasi.
Meski kebanyakan dibangun dengan model tradisional, yaitu beratap daun, bentuknya sama sekali tidak menggambarkan rumah tradisional Rote. Saya tidak menyukainya. Itulah sebabnya saya tidak mengambil gambar dengan latar resor maupun hotel. Tidak terlihat ciri spesifik Rote di pantai ini. Tetapi untuk kepentingan tulisan, saya terpaksa mencari sumber lain untuk menunjukkan beberapa gambar.
Memang, ombak bergulung-gulung beberapa baris saling memburu, memecah dengan menghamburkan warna putih kapas ke udara. Ini menciptakan sensasi keindahan tersendiri. Seperti letupan popcorn yang menghambur ke udara, bertubi-tubi dan susul menyusul. Tetapi, menurut saya pantainya kotor penuh sampah rumput laut, juga dedaunan dan ranting pohon. Warna pasirnya cenderung kusam mempertegas kesan kotornya. Boleh jadi karena banyak dibalut sampah sehingga keindahan pasirnya tidak mencuat. Cuaca sedang berkabut dan rintik pula, membuat kecantikan pantai seakan redup.
Rumah-rumah penduduk maupun “rumah-rumah pemodal” serta tanah yang sudah dimiliki pemodal semuanya berpagar. Di mana-mana terdapat pagar batu yang menjadi ciri khas di Rote. Bebatuan di susun rapih setinggi 100-150 cm. Pagar-pagar para pemodal lebih kokoh, lebih rapih (karena batu-batunya terlebih dahulu dirapihkan dengan alat), juga lebih tinggi.
Dan, kita tahu bahwa pagar mengandung makna pembatas sebagai larangan masuk bagi yang bukan pemilik. Publik kehilangan kebebasan menikmati alam ciptaan Tuhan lantaran dicaplok individu-individu egois pemilik modal. Bahkan, konon masyarakat lokal pun tidak dapat leluasa memasuki areal-areal berpagar itu, termasuk yang belum ada bangunannya, yang mungkin saja merupakan milik mereka sebelum dijual.
Saya seungguhnya berharap bertemu lelaki Rote yang sedang menyadap nira sambil memperdengarkan suara merdunya lewat so’da (menyanyikan lagu-lagu bersyair Rote) seperti yang masih kuat terngiang di memori masa kekanakan saya 40-an tahun lalu, bunyi se’ek dipukul pada pelepah lontar setelah membersihkan haik (wadahpenampung nira), mendengar bunyi merdu mengalun dari dawai Sasando, tempat kerajinan tangan topi ti’ilangga yang mendunia itu, atau para lelaki yang melakukan aktivitas dengan mengenakan ti’ilangga, tempat pembuatan gula lempeng atau gula semut, penggembala domba, kerbau, sapi, dan aktivitas khas masyarakat Rote lainnya. Saya teringat bahwa bulan Januari bukanlah musim menyadap nira (dalam bahasa Rote disebut fai fanuk/fanduk) sehingga wajar tidak terlihat aktivitas penyadapan, tetapi berharap masih menjadi kebiasaan masyarakat Rote yang terawat baik.
Sejujurnya saya lebih jatuh cinta pada Oeseli. Menurut saya, pantai dan lingkungannya lebih natural. Rumah-rumah masih khas “rumah desa”, lahannya bebas (belum dipatok-kapling), pasir putih gading dan air tenang di satu sisi tetapi di sisi lainnya ombak yang bergemuruh, kawanan domba, kambing dan sapi yang merumput bersama-sama, keriuhan lambaian nyiur yang mencitrakan keramahan alam, juga perumahan yang belum padat.
Tentu saja, Bo’a juga masih menarik. Sedangkan Nembrala bukanlah lingkungan yang menarik bagi saya. Menurut saya tidak lagi alamiah. Lebih-lebih, kesan kuat tak terhindarkan bahwa Nemberala bukan lagi milik masyarakat lokal. Sebagian besarnya milik kaum berduit dan manfaatnya lebih banyak untuk mereka yang berduit.