Saya bertanya dalam hati, bagaimana tanaman-tanaman ini mendapatkan nutrisi sehingga bertumbuh begitu subur? Disebabkan tumbuh di atas cadas, meski terlihat batang-batangnya besar, kokoh dan subur, tanaman-tanaman tersebut nampak seperti “bonsai” saja. Usia mereka pasti sudah panjang namun cenderung kerdil.
Setelah puas-puas ber-selfie ria di sejumlah spot, saya memandang ke bagian lain dari danau Oeseli. Nampak di sebelah barat, kurang lebih hanya 100-an meter jaraknya, terdapat bagian pantai yang bergemuruh. Berbeda dengan danaunya yang berpasir halus lembut bewarna keemasan, pantai yang juga dikawal bebatuan karang itu tak banyak berpasir. Perahu-perahu nelayan diparkir di bibir pantainya yang didominasi kerikil bewarna gelap. Tidak nampak aktivitas kenelayanan. Mungkin karena sedang musim hujan dan badai?
Sebuah pelabuhan untuk sandaran kapal membelah bibir pantai. Terlihat sejumlah ABG (anak-anak remaja) duduk-duduk di ujungnya yang menjorok ke laut. Mungkin berselfie sambil menunggu sunset. Saya membayangkan sunset akan turun tepat di ujung pulau Ndana, dan bila posisinya tepat dibalik pukulan ombak yang memecah di udara akan memancarkan panorama unik yang layak ditunggu. Sayang sekali, karena harus mengejar beberapa lokasi lain kami tidak bisa menunggu momen yang mungkin sangat menjanjikan itu.
Ndana terkenal sebagai habitat rusa hutan (rusa Timor yang bernama latin cervus timorensis) yang di masa lalu banyak diburuh baik oleh penduduk lokal maupun dari luar yang hendak menyalurkan “hobi membunuhnya.” Kini jenis rusa ini termasuk hewan langka yang dilindungi pemerintah. Juga, terdapat ratusan gua tempat bersarang burung walet.
Tentu, bagi pemburuh sarang walet akan merupakan “tambang profit” menggiurkan. Namun, tidak bisa sebebas itu mengakses sumberdaya di atas pulau. Marga Messakh, yang merupakan keturunan raja di masa sebelum Indonesia merdeka merupakan pemegang hak ulayat atas pulau yang luasnya sekitar 1000-an hektare itu. Dalam nota kesepakatan dengan TNI disebutkan bahwa TNI-pun dilarang memburuh rusa maupun mengambil sarang burung walet. TNI bahkan ikut merawat ekosistem di pulau itu. Keindahan lainnya, di tengah pulau kecil itu terdapat sebuah danau air tawar yang sepintas berwarna merah kecoklatan. Bukankah dapat menjadi obyek wisata yang juga tak kalah menarik?
Di puncaknya beberapa ekor kambing berdiri pongah mempertotonkan nyali alamiah mereka. Seakan-akan mengintai musuh dari puncak menara. Sayang, dipotret dengan kamera handphone (cellphone) jadul saya tidak bisa menghasilkan kualitas gambar yang cukup bagus untuk ditampilkan.
Kami tiba di Bo’a. Pantainya juga masih alami. Pasir berwarna putih kecoklatan nampak membalut tipis di bibir pantai, terputus-putus di beberapa titik karena bentukan karang. Pencemaran alami berupa sampah-sampah rumput laut, dahan dan dedaunan cukup menyolok. Hanya sebuah resor yang nampak berdiri di dekat pantai. Posisinya di puncak karang. Sebuah spot sengaja dibangun di ketinggian karang yang agak menjorok ke laut. Spot eksotik dan strategis untuk memandangi keluasan dan birunya laut pantai selatan dengan gelombang yang bergulung-gulung menghantam pantai. Saya kira juga menjadi tempat selfie terfavorit. Pembangunan resor masih berlangsung. Pertanda terus ada pengembangan. Saya tidak tertarik untuk mampir.
Konon, ombak di pantai Bo’a ini sama dengan Nembrala. Tingginya di bulan Juli-Agustus bisa mencapai beberapa meter, berpadu hingga beberapa gulungan yang saling memburu. Itulah alasan yang memicu rasa penasaran para peselancar, yang tertantang mengubar adrenalin serta menguji kelincahan mengelola keseimbangan tubuh. Saya kerap sangat terpesona oleh kelihaian mereka menari-nari dan berakrobat menunggangi pundak-pundak gelombang. Ada saat menabrak frontal, menghindar, menyusup di “ketiak” gulungan air mengganas itu, dan melipir “tulang punggung” ombak yang bergerak liar anarkis menghantam pantai.