Visi Presiden Joko Widodo untuk “menyelamatkan wajah Indonesia” lewat penampakan Pos Perbatasan di Motaain, perbatasan dengan Timor Leste akhirnya terealisasi. Sebagai orang yang sering melintasi perbatasan Motaain sejak 2013, saya merasakan betapa memprihatinkan sehingga rasa nasionalisme dan harga diri sebagai bangsa ikut teriris. Sebuah kantor dibangun berderet dengan luas ruang rata-rata ruang hanya sekitar 3 x 3 m, nyaris mirip loket karcis bus di terminal-terminal desa atau mirip kamar-kamar kos mahasiswa. “Kamar-kamar” itu untuk pelayanan Imigrasi, Bea Cukai, Pos Jaga, dan sebagainya. Masing-masing menempati satu ruang. Pemeriksaan barang bawaan dilakukan secara manual, sehingga pelintas harus membongkar bawaannya satu persatu untuk diperiks a petugas.
Sementara, 100-an meter dari “kantor jelek” itu, di Pos Perbatasan Timor Leste (TLS), telah tersedia ruang pemeriksaan yang luas dan nyaman, ber-AC, serta tersedia fasilitas X-ray. Dari penampakan fisik kantor saja sudah membuat malu sebagai warga Indonesia. Belum lagi fasilitas pelayanannya. Bayangkan negara TLS yang baru seumur jagung, yang dulunya “hanya sebuah provinsi terkebelakang bagian dari Indonesia,” dengan penduduk hanya satu jutaan, tiba-tiba nampak “begitu megah berwibawa,” dibanding Indonesia.
Beruntunglah, tahun 2015 pasca dilantik Presiden Joko Widodo (Jokowi) berkunjung ke daerah-daerah perbatasan, termasuk Motaain. Seperti disampaikan dalam sambutannya waktu peresmian Pos Lintas Batas Negara (PLBN) Motaain: “Saya ingat betul bahwa bangunan pos lintas perbatasan yang ada di sini (Motaain) kalau dibandingkan dengan pos lintas di negara sebelah (Timor Leste) betul-betul saya sangat malu," ungkap Jokowi. Selanjutnya, “Ini masalah kebanggaan, masalah wajah kita, bukan hanya wajah NTT tapi juga wajah Indonesia."
Saat peresmiannya 28 Desember 2016 itu saya sedang melintas batas dari arah Dili, TLS. Sebelumnya saya tidak tahu sebab seingat saya Presiden merencanakan meresmikannya di awal Desember. Karena tiba di perbatasan masih terlalu pagi, saya mencoba mencari warung untuk sekadar ngopi di Batugede, desa perbatasan di wilayah TLS sebelum ke Motaain. Ngopi bersama sejumlah tukang ojek saya diinformasikan bahwa Presiden Jokowi akan meresmikan pos batas Indonesia pada hari itu. Wah, gaung peresmian pun menyebar sampai di negeri seberang rupanya.“Ini keberuntungan, sebuah momentum historis yang amat penting,” pikir saya. Tidak saja bagi masyarakat perbatasan di Motaian, melainkan bagi Indonesia.
Dua bulan sebelumnya, Oktober 2016 saya melintasi perbatasan itu, juga dari Dili. Ketika itu capaian pembangunan PLBN Motaain sudah 95%. Menurut petugas di “loket” Imigrasi, tinggal finishing. Meski demikian, aura kemegahannya sudah sangat terasa. Driver rental yang mengantar saya, yang juga merupakan penduduk lokal perbatasan, dengan bangganya menceritakan perubahan-perubahan drastis sejak dimulainya pembangunan PLBN Terbadu, termasuk didalamnya infrastruktur jalan.
Dulu, jalanan ke Atambua-Motaain sangat jelek, masih berbatu dan dibeberapa titik menanjak, karena bebatuan dan kerikil sering terjadi kecelakaan. Waktu tempuh bisa mencapai 90 menit. Kini, hanya 30 menit saja karena jalan telah beraspal dan lebih lebar. PLBN juga menjadi semacam daya tarik wisata bagi masyarakat lokal dari pedesaan dan daerah sekitarnya. Mereka datang sekadar menyaksikannya, berfoto dan membanggakan kemewahannya.
Sekitar pukul 07.30 pintu gerbang dibuka. Saya dan lima pelintas lainnya langsung masuk menuju pos jaga, memperlihatkan paspor lalu petugas menulis nama di buku tamu. Kami harus menunggu hingga pukul 08.00 saat kantor imigrasi dan bea cukai dibuka. Saya terkejut melihat kebaruan lainnya di Pos TLS, yaitu fasilitas duty free. Sambil menunggu jam buka kantor, saya masuk untuk melihat-lihat siapa tahu ada yang bisa saya beli sebagai oleh-oleh. Kebanyakan produk yang dijual adalah jenis minuman, dari yang wine beralkohol rendah hingga “kelas berat” dengan prosentasi alkohol 30-an%. Seperti diketahui, TLS terkenal dengan konsumsi minuman-minuman beralkohol berbagai merek dan jenis. Akhirnya saya membeli seliter wine red label seharga USD22.5.
Tidak cukup waktu untuk mengamati secara detil kantor mewah PLBN. Apalagi karena sejam lagi Presiden bersama rombongan segera tiba, para pelintas tidak bisa bebas mengeksplorasi. Tetapi, secara garis besar, PLBN terdiri dari beberapa gedung bangunan yang terlihat mewah dibangun secara modern dengan dominasi ornamen dan gaya tradisionil dari segi bentuk mengadopasi rumah adat Belu. Menurut informasi media, PLBN ini dibangun di atas lahan seluas 8,3 hektare, dengan anggaran Rp.82 Milyar. Jadi bisa terbayang betapa luas, megah dan indahnya.
Jarak antara bangunan cukup jauh (saya kira antara 50-100-an meter). Diantarai areal kosong yang dihijaukan serta nampaknya untuk taman. Pemanfaatan ruang hijau saya kira sangat diubutuhkan untuk menetralisir suhu panas dan sinar matahari yang sering sangat menggigit.
Didalamnya ruangan ber-AC. Terlihat mewah seperti di bandara berkelas internasional. Tersedia dua lajur untuk pelintas asing dan satu untuk warga negara (Indonesia). Fasilitas x-ray juga tersedia. Karena tidak tahu saya rupanya membawa minuman beralkohol melebihi yang diperbolehkan Undang-undang. Dari 4 botol (3,5 liter), saya hanya boleh membawa 1 liter. Sisanya harus dibuang. Ya, saya ikut saja. Ini kan aturan jadi harus ditaati. Petugas dengan sopan bertanya, apakah saya bersedia membuka tutup botol dan membuang sendiri isinya di tempat yang telah disediakan. Saya tentu saja tidak keberatan. Saya bahkan meminta bantuan petugas mendokumentasikannya dengan menggunakan kamera tablet saya.
Saya yang hanya membahwa sebuah tas pakaian dan tas lainnya berisi oleh-oleh merasa ngos-ngosan melintasi jarak sedemikian, di tengah suhu yang meski masih pagi sudah terasa ganas menyengat. Matahari sudah terasa terik. Total jarak yang ditempuh dari pos batas TLS ke pemeriksaan Imigirasi Indonesia saja sudah mendekati setengah kilometer. Bagi yang membawa banyak bawaan tentu membutuhkan tenaga ekstra.
Setelah melewati pemeriksaan Imigrasi dan Beacukai, kami diarahkan mengikuti jalur memutar untuk mencapai tempat kendaraan umum maupun rental serta ojek. Jaraknya mungkin 1000 meter (1 km). Jadi, total jarak yang saya tempuh berjalan kaki sejak perbatasan TLS hingga tempat tersedianya kendaraan bisa mencapai 2 km. Penjagaan terlihat di sepanjang jalan. Kesibukan juga terlihat di mana-mana. Persiapan akhir rupanya sedang dilakukan karena presiden beserta rombongan sudah dalam perjalanan dari Atambua menuju lokasi persemian.
Sekitar dua km ke aras Atambua saya berpapasan dengan rombongan Presiden, yang meski tidak diarak secara berlebihan namun tetap terkesan istimewa di daerah yang lalulintasnya memang relatif belum ramai. Petugas berjaga-jaga di sepanjang jalan dan rombongan presiden segera lewat, namun kendaraan dari arah perbatasan tidak dihentikan. Kami melaju begitu saja, juga dua buah kendaraan roda dua di belakang kami, meluncur berpapasan dengan sang Presiden dan rombongannya dari arah yang berbeda.
Dibandingkan dengan presiden-presiden sebelumnya, yang selalu punya sistem pengamanan standar, jalanan yang hendak dilalui Presiden mungkin setidaknya 30 menit sebelumnya sudah harus steril dan tak boleh dilalui masyarakat umum. Apalagi berpapasan sudah pasti harus berhenti dan menepi. Kondisi kini sangat berbeda. Sungguh, presiden Jokowi sangat merakyat dan bersahaja!
Pasar bersama untuk masyarakat kedua negara sejauh ini telah diselenggarakan di Napan, perbatasan dari arah TTU (kabupaten Timor Tengah Utara) ke distrik Oeccusse (Oekusi). Meski hanya sebulan sekali, kalau tidak salah biasanya diawal bulan. Karena pasarnya diselenggarakan di ruang bebas di antara pos Indonesia dan Pos TLS para pengunjung, penjual dan pembeli tidak perlu menggunakan paspor dan membayar visa. Hasil-hasil pertanian, sembako, kebutuhan rumah tangga dan produk lainnya dari masyarakat kedua negara bertemu dan bertransaksi dengan riang, damai dan saling menguntungkan.
Apalagi, secara kultur masyarakat pebatasan ini, meski beda kewarganegaraan masih menggunakan bahasa yang sama yaitu Tetun dan bahasa Indonesia. Pun, kebanyakan masih punya hubungan famili. Ditunjang oleh tersedianya fasilitas penukaran uang, aktifitas jual beli antara dua masyarakat yang berbeda alat tukar itu makin lancar. Saya belum pernah tukar uang di perbatasan, tetapi di Atambua USD dibeli dengan harga yang “standar bank.” Misalnya, ketika di Dili di bank Mandiri, pada penukaran 23 Desember 2016 dollar dibeli dengan Rp.13.300. Ketika tiba di Atambua saya menukar lagi nilainya sama persis seperti di bank Mandiri Dili.
Demikian sekilas gambaran Pos Perbatasan Motaain yang baru diresmikan Presiden Jokowi, dan gambaran masa depan “pasar tradisional mewahnya.” Wah, iri juga saya dengan masyarakat perbatasan Motaain yang bertransaksi dalam USD dan IDR, pasar lokal berkualitas internasional.
Terimakasih pak Presiden Joko Widodo karena sudah membangun harga diri bangsa di perbatasan Motaain. Lebih dari itu, menghidupkan perekonomian masyarakatnya. Untuk masyarakat perbatasan, saya ucapkan selamat memasuki masa depan baru yang lebih membanggakan dan menjanjikan!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H