Jarak antara bangunan cukup jauh (saya kira antara 50-100-an meter). Diantarai areal kosong yang dihijaukan serta nampaknya untuk taman. Pemanfaatan ruang hijau saya kira sangat diubutuhkan untuk menetralisir suhu panas dan sinar matahari yang sering sangat menggigit.
Didalamnya ruangan ber-AC. Terlihat mewah seperti di bandara berkelas internasional. Tersedia dua lajur untuk pelintas asing dan satu untuk warga negara (Indonesia). Fasilitas x-ray juga tersedia. Karena tidak tahu saya rupanya membawa minuman beralkohol melebihi yang diperbolehkan Undang-undang. Dari 4 botol (3,5 liter), saya hanya boleh membawa 1 liter. Sisanya harus dibuang. Ya, saya ikut saja. Ini kan aturan jadi harus ditaati. Petugas dengan sopan bertanya, apakah saya bersedia membuka tutup botol dan membuang sendiri isinya di tempat yang telah disediakan. Saya tentu saja tidak keberatan. Saya bahkan meminta bantuan petugas mendokumentasikannya dengan menggunakan kamera tablet saya.
Saya yang hanya membahwa sebuah tas pakaian dan tas lainnya berisi oleh-oleh merasa ngos-ngosan melintasi jarak sedemikian, di tengah suhu yang meski masih pagi sudah terasa ganas menyengat. Matahari sudah terasa terik. Total jarak yang ditempuh dari pos batas TLS ke pemeriksaan Imigirasi Indonesia saja sudah mendekati setengah kilometer. Bagi yang membawa banyak bawaan tentu membutuhkan tenaga ekstra.
Setelah melewati pemeriksaan Imigrasi dan Beacukai, kami diarahkan mengikuti jalur memutar untuk mencapai tempat kendaraan umum maupun rental serta ojek. Jaraknya mungkin 1000 meter (1 km). Jadi, total jarak yang saya tempuh berjalan kaki sejak perbatasan TLS hingga tempat tersedianya kendaraan bisa mencapai 2 km. Penjagaan terlihat di sepanjang jalan. Kesibukan juga terlihat di mana-mana. Persiapan akhir rupanya sedang dilakukan karena presiden beserta rombongan sudah dalam perjalanan dari Atambua menuju lokasi persemian.
Sekitar dua km ke aras Atambua saya berpapasan dengan rombongan Presiden, yang meski tidak diarak secara berlebihan namun tetap terkesan istimewa di daerah yang lalulintasnya memang relatif belum ramai. Petugas berjaga-jaga di sepanjang jalan dan rombongan presiden segera lewat, namun kendaraan dari arah perbatasan tidak dihentikan. Kami melaju begitu saja, juga dua buah kendaraan roda dua di belakang kami, meluncur berpapasan dengan sang Presiden dan rombongannya dari arah yang berbeda.
Dibandingkan dengan presiden-presiden sebelumnya, yang selalu punya sistem pengamanan standar, jalanan yang hendak dilalui Presiden mungkin setidaknya 30 menit sebelumnya sudah harus steril dan tak boleh dilalui masyarakat umum. Apalagi berpapasan sudah pasti harus berhenti dan menepi. Kondisi kini sangat berbeda. Sungguh, presiden Jokowi sangat merakyat dan bersahaja!
Pasar bersama untuk masyarakat kedua negara sejauh ini telah diselenggarakan di Napan, perbatasan dari arah TTU (kabupaten Timor Tengah Utara) ke distrik Oeccusse (Oekusi). Meski hanya sebulan sekali, kalau tidak salah biasanya diawal bulan. Karena pasarnya diselenggarakan di ruang bebas di antara pos Indonesia dan Pos TLS para pengunjung, penjual dan pembeli tidak perlu menggunakan paspor dan membayar visa. Hasil-hasil pertanian, sembako, kebutuhan rumah tangga dan produk lainnya dari masyarakat kedua negara bertemu dan bertransaksi dengan riang, damai dan saling menguntungkan.
Apalagi, secara kultur masyarakat pebatasan ini, meski beda kewarganegaraan masih menggunakan bahasa yang sama yaitu Tetun dan bahasa Indonesia. Pun, kebanyakan masih punya hubungan famili. Ditunjang oleh tersedianya fasilitas penukaran uang, aktifitas jual beli antara dua masyarakat yang berbeda alat tukar itu makin lancar. Saya belum pernah tukar uang di perbatasan, tetapi di Atambua USD dibeli dengan harga yang “standar bank.” Misalnya, ketika di Dili di bank Mandiri, pada penukaran 23 Desember 2016 dollar dibeli dengan Rp.13.300. Ketika tiba di Atambua saya menukar lagi nilainya sama persis seperti di bank Mandiri Dili.
Demikian sekilas gambaran Pos Perbatasan Motaain yang baru diresmikan Presiden Jokowi, dan gambaran masa depan “pasar tradisional mewahnya.” Wah, iri juga saya dengan masyarakat perbatasan Motaain yang bertransaksi dalam USD dan IDR, pasar lokal berkualitas internasional.