Mohon tunggu...
Semuel S. Lusi
Semuel S. Lusi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Belajar berbagi perspektif, belajar menjadi diri sendiri. belajar menjadi Indonesia. Belajar dari siapa pun, belajar dari apapun! Sangat cinta Indonesia. Nasionalis sejati. Senang travelling, sesekali mancing, dan cari uang. Hobi pakai batik, doyan gado-gado, lotek, coto Makasar, papeda, se'i, singkong rebus, pisang goreng, kopi kental dan berbagai kuliner khas Indonesia. IG @semuellusi, twitter@semuellusi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Radikalisme Sukses Kandaskan Globalisme, Bagaimana Nasib Indonesia?

21 Desember 2016   17:42 Diperbarui: 21 Desember 2016   18:24 495
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
demo tolak-terorisme-dan-kampanye-kamitidaktakut (Sumber: Tribunnews.com)

Laksana aliran darah seseorang yang sangat sehat karena rajin olah raga dan menjaga menu makan dengan baik, tiba-tiba didiagnosis sel-sel darahnya tercemari virus ganas berbahaya. Demikianlah, globalisasi pasar berubah menjadi globalisasi kekerasan. Kota-kota megah seperti Washinton DC yang menjadi simbol kemegahan globalisasi goncang dihantam teror bunuh diri. Juga tak luput teror mengguncang kota-kota penting yang menjadi sel-sel inti globalisasi seperti Perancis, Inggris, Jerman, Spanyol, Denmark, Itali, Swedia, Belgia, dan sebagainya.

Maka, muncul sikap yang tanpa sadar menyerang jantung globalisasi. Masyarakat di negara-negara maju yang sudah terbiasa hidup nyaman, damai dan tenang merasakan aura panas dan teror yang tiba-tiba hadir di depan mata, dan setiap saat menelan kurban. Peradaban damai yang dibangun bertahun-tahun, dan menjadi magnit bagi petualangan masyarakat dunia, kini terancam hancur. Justru oleh intrumen-instrumen kemudahan yang dibangunnya.

Keterkejutan akan bahaya di depan mata dan desakan-desakan internal memaksa mereka melindungi diri dari potensi ancaman. Masing-masing negara itu memikirkan diri sendiri mengatasi musuh yang terlanjur masuk, seperti hendak mengamputasi kanker yang telah menyerang dari dalam tubuh. Apa yang menjadi ikon-ikon sakral globalisasi dilanggar sendiri, yaitu kecenderungan “menutup diri.”  Globalisasi seakan-akan terserang stroke akut yang segera membunuhnya. Ironisnya, justru dilakukan oleh bunda kandungnya sendiri.

Diawali dengan Brexit, yang tak lain sebagai gerakan menutup diri Inggris dari “dunia luar.” Gejala “exit” dari Uni Eropa (UE) menyusul Ingris juga menggaung di Itali dan Perancis. Yunani telah lebih dahulu mengalami colapse secara ekonomi dan mengambil jarak dengan UE. Kemenangan Donald Trump di USA yang terkenal selama kampanye dengan “kebijakan pintu tertutup”nya makin memastikan berhentinya denyut jantung globalisme. Pemilihan kepala negara di sejumlah negara di Eropa memberi kemenangan kepada kaum ekstrim kanan dan ultranasionalis, yang secara kultur politik memiliki kesamaan garis kebijakan dengan Partai Konservatif Inggris dan Partai Republik Amerika.  

Kegagalan globalisasi bagaikan matinya pusat tata surya yang menjadi titik orbit planet.  Planet-planet berpencaran, mungkin saling menabrak, terlempar jauh dari orbit. Semua garis edar yang menjadi sirkuit luncuran perputaran planet putus dan berantakan. Tatanan (politik) dunia  mengalami “perubahan musim” secara ekstrim.  Tidak ada lagi blok Amerika, blok Rusia, blok Cina dan sebagainya.  Peta politik di atas planet ini segera berubah total. Secara dramatis Amerika di bawah Trump mungkin akan bersekutu dengan Rusia. Berbagai sinyalemen resmi yang dilempar CIA dan FBI yang menuduh keterlibatan Rusia dalam memenangkan Trump memberi kesan presiden terpilih ini berada dibawah pengaruh Putin. Kalau benar, betapa naas akhir kisah dari sebuah negara adidaya yang pernah tak tertandingi sebagai polisi dunia puluhan tahun dan menentukan hitam-putihnya dunia. Sesuatu yang tak pernah dipikirkan oleh pengamat politik kelas dunia sekali pun.

 

Ada dampak runutan dari hancurnya pusat tata surya politik dunia.  Virus mematikan yang menghantam jantung globalisasi telah terlanjur menyusup dalam nadi negara-negara bangsa. Kekerasan menyebar dari Timur Tengah ke berbagai pelosok dunia lainnya. Dia tidak hanya mengobrak-abrik Eropa dan Amerika, melainkan juga masuk ke Asia dan Afrika. Tak terkecuali Indonesia. Boleh jadi, Indonesia menjadi target utama gerakan puritanisme Islam garis keras dari Timur Tengah. Kegagalan mendirikan negara khilafah di Timur Tengah menyebabkan pencarian lokasi baru bagi imajinasi religius mereka, sama halnya dengan kaum puritan Kristen Eropa menemukan Amerika sebagai eksperimen “Yerusalem baru” sekitar abad 15 dan 16.

Bagaimana dengan nastib nation state?  Terutama, bagaimana nasib Indonesia sebagai negara bangsa? 

Organisasi-organisasi berlatar Islam garis keras bermunculan laksana jamur. Sulit mengingkari kaitan mereka dengan aliran sejenis di Timur Tengah yang sukses menciptakan kekacauan perang dan instabilitas kawasan. Terbukti, sejumlah sel teroris yang diungkap intelejen dan Densus 88 memperkuat klaim itu. Di Indonesia, mereka dengan lihai mencoba memainkan kartu truf “klaim mayoritas,” yang mengatasnamakan 85% warga Muslim untuk memaksakan kebenaran primordialnya kepada negara. Logika “demokrasi voting” tentu berada dibalik kepala mereka. Unjuk massa dijadikan alat tekan atau senjata pemungkas untuk mengambil alih kekuasaan dan atau memaksakan akomodasi kepentingan.

Negara (pemerintah), seperti cara Eropa dan Amerika hadapi kehadiran kaum ekstrim kanan ini di periode awal, mengakomodirnya dengan penuh pengertian dan belas kasih atas nama demokrasi dan pemenuhan hak politik warga. Negara nampak tidak belajar dari pengalaman kampiun globalisme di atas, yang akhirnya terancam hancur oleh keluasan pengertian dan politik akomodatif itu.   

Saya ingin mengingatkan, jangan sampai Indonesia terlambat mengantisipasi seperti Eropa dan Amerika. Ketika virus intoleransi dan teror telah menyerang di jantung kekuasaan dan menjalari nadi dari organ-organ kebhinekaan, menghancurkan solidaritas dan persatuan nasional, barulah secara terburu-buru memberi respons. Di centrum globalisme mungkin bentuk respons negara-negara itu sudah terlambat. Kalau pun belum, kedalaman serangan kronis kelompok radikal sudah sedemikian jauh sehingga tidak akan mudah melumpuhkannya. Haruskah Indonesia menunggu hingga mengalami nasib serupa, atau bahkan bisa lebih parah?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun