Mohon tunggu...
Semuel S. Lusi
Semuel S. Lusi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Belajar berbagi perspektif, belajar menjadi diri sendiri. belajar menjadi Indonesia. Belajar dari siapa pun, belajar dari apapun! Sangat cinta Indonesia. Nasionalis sejati. Senang travelling, sesekali mancing, dan cari uang. Hobi pakai batik, doyan gado-gado, lotek, coto Makasar, papeda, se'i, singkong rebus, pisang goreng, kopi kental dan berbagai kuliner khas Indonesia. IG @semuellusi, twitter@semuellusi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Radikalisme Sukses Kandaskan Globalisme, Bagaimana Nasib Indonesia?

21 Desember 2016   17:42 Diperbarui: 21 Desember 2016   18:24 495
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
demo tolak-terorisme-dan-kampanye-kamitidaktakut (Sumber: Tribunnews.com)

Sebagian besar negara berkembang lahir pasca perang dunia kedua. Kemerdekaan yang diperjuangkan bartahun-tahun, bahkan ratusan tahun  melawan penjajah dari Eropa dan Jepang. Negara-negara bayi yang umumnya berada di Asia dan Afrika ini kemudian digiring masuk ke tatanan global, sebuah orde pergaulan antara bangsa yang menjanjikan surga dunia  bagi kebebasan,  kesetaraan, dan kesejahteraan.

Di level negara model politik pintu terbuka, sistem demokratis, sikap toleransi, penghargaan atas pluralitas dan HAM merupakan frase khas penjabaran tipikal negara modern. Sementara, di level individu istilah stylish, ngetrend atau trendy, trendsetter, metropolis, dan sejenisnya menggambarkan kesuksesan status sebagai seorang warga global. Pikiran anak-anak muda dipenuhi tekad dan impian  besar masuk dalam warga global itu dengan segala atribut kegermelapannya. Amerika dan sekutu-sekutunya di Eropa menjadi pemain utama sebagai  patron, sementara negara-negara diluarnya hanya figuran yang dipaksa masuk dalam blok-blok yang sudah disediakan.

Negara-negara baru ini seolah-olah diajar cara bergaul, mendapatkan asupan ekonomi, bantuan dan perlindungan politik, suplai senjata untuk kepentingan pertahanan, dsb. Blok-blok ekonomi, pertahanan, dan blok politik tumbuh dalam pertarungan global. Peta geopolitik penuh dengan garis-garis penanda blok bagi kaluklasi strategis dalam pensituasian adu kuat dan adu pengaruh.

Di tatanan antar bangsa ini pasar menjadi semacam sarana kesejahteraan. Maka, globalisasi tidak lain daripada perwujudan manajemen pasar, yang dikendalikan dari pusat-pusatnya di Amerika dan Eropa, menerobos masuk ke berbagai negara hingga ke pelosok-pelosoknya. Politik pintu terbuka merupakan ikon yang dipararelkan dengan negara berpikiran maju dan modern. Keterbukaan di sini terutama dipahami dalam artian pasar, terutama bagi produk-produk Amerika dan Eropa. Tetapi, akhirnya secara mencengangkan juga diikuti Jepang, Korea dan Cina, yang menyeruak ke pasar global dan mengalahkan “pemain lama” dalam sejumlah produk. Pada intinya, ekspansi pasar makin deras masuk ke rumah-rumah tangga, memaksa dan menghancurkan semua pembatas yang sebelumnya dianggap privat sebagai “rahasia dapur.” Termasuk menggeser produk-produk lokal.

Tidak heran kalau tahun 1990-an Kenichi Ohmae, seorang pakar manajemen strategis berkebangsaan Jepang yang sangat berpengaruh  memproklamasikan hilangnya batas-batas negara lewat karya fenomenalnya the Borderless World(1990). Hal senada juga ditulis oleh Thomas L.Friedman, jurnalis harian New York Times lewat karyanya The World is Flat - A Brief History of the Twenty-First Century (2005). Kedua buku ini memperkuat “ramalan” Marshall McLuhan tahun 1960-an yang menyebut gejala ini sebagai global village (desa global).

Globalsiasi menjanjikan kesejahteraan bersama, keamanan, kenyamanan hidup dan sebagainya. Namun, diluar dugaan, terbukanya tembok-tembok pembatas antara negara bagi curahan produk ekonomi dan ekspansi sains modern, juga diikuti budaya dan gaya hidup.  Sejak 1970-an globalisasi sudah terasa sebagai westernisasi. Mulai 1990-an pasar Asia mulai ikut meramaikan pasar global, diawali produk-produk elektronik dan kendaraan bermotor. Produk-produk buatan Jepang, Korea, Cina membanjiri pasar Eropa dan Amerika, setelah terlebih dahulu menguasai Asia. Maka, gaya hidup Korea dan Jepang pun merebut perhatian dunia dan menjadi trendsetter.

Inovasi drastis di bidang teknologi transportasi dan komunikasi membuat dunia makin menjadi “flat” laksana “aula raksasa” dimana semua umat manusia bisa saling berhubungan setiap saat. Media sosial membuat orang berkomunkasi dengan siapa pun di mana pun di sudut dunia. Sesuatu yang terjadi di London atau di sudut dunia mana pun, dapat disaksikan langsung dari kamar tidur di desa-desa. Pembatas fisik, baik antar negara, antar rumah, bahkan tembok antar kamar pun kehilangan fungsi penghalang. Semua seolah menjadi tembus pandang. Bisnis-bisnis besar hanya dijalankan oleh perorangan secara online lewat handphone, tablet, laptop, dsb.

Dengan demikian, fenomen globalisasi telah menciptakan keterbukaan, transparani, sharing pengetahuan dan informasi, imitasi dan inovasi teknologi, juga persaudaraan dunia. Bencana kemanusiaan di sebuah tempat dengan mudah dan cepat mendapatkan simpati global dan mobilisasi bantuan. Antara lain tzunami Aceh, bencana kelaparan di Afrika, musibah perang di Timur Tengah merupakan beberapa contoh aktual.

Namun, nampak secara dramatis globalisasi sedang menuju anti klimaks. Tanpa disadari infrastruktur globalisasi yang serba canggih dan serba mempermudah itu memfasilitasi penyebaran budaya teror dan kekerasan ke berbagai sudut dunia. Perang saudara dan menguatnya gerakan Islam garis keras di Timur Tengah menciptakan krisis berkepanjangan kawasan yang tak tentu ujung. Krisis memaksa gelombang manusia terusir keluar dari kampung halaman dan negerinya sendiri. Surga tempat lahir agama-agama besar seperti Islam, Kristen dan Yahudi justru berubah menjadi tempat tak nyaman bagi masyarakatnya; keturunan langsung dari tokoh-tokoh yang melahirkan agama-agama damai itu.

Eropa, Amerika, dan Australia dibanjiri gelombang pengungsi dan pencari suaka yang melarikan diri dari “surga.” Ironisnya, mereka justru menuju negara yang dinistakan kafir dan dihinakan sebagai jatah warga neraka. Dengan tangan terbuka para pengungsi diterima atas pertimbangan HAM, serta dasar sebagai sesama manusia. Namun, sebagian oknum warga surga pelarian ini kerap membawa serta mental kekerasan, lalu menciptakan teror baru di negeri tuan rumah. Ketaknyamanan warga negeri penerima makin terasa seiring intensnya aksi-aksi kekerasan dan bom bunuh diri yang menyasar kerumunan dan fasilitas publik. “Pikiran normal” bahwa kebaikan dapat menaklukkan kekerasan dan kebencian berubah menjadi “bumerang gagal” yang melesat balik menyerang tanpa mampu dikuasai tuannya sendiri.

Seseorang yang tinggal di sebuah desa di Karang Anyar, misalnya bisa dengan mudah merakit bom canggih berhulu ledak tinggi, hanya dengan mempelajari panduan pembuatannya via internet. Konsolidasi kekuatan radikal dengan mudah dioperasikan lintas negara, dan dari Suriah seseorang di Solo atau kota-kota lain di Jerman atau Perancis,  dipersiapkan menjadi “pengantin” yang siap meledakkan diri di lokasi-lokasi strategis yang telah ditentukan sebagai target.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun