Siapa yang berwewenang mengatakan sebuah kegiatan di tingkat massa itu legal dan tak legal? Berijin dan tak berijin? Memenuhi syarat administratif dan tidak? Â Sesuai aturan dan tidak? Bukankah seharusnya itu fungsi dan peran negara? Â Dan, meski itu kewenangan penuh negara, haruslah memiliki pendasaran hukum yang kuat dan prosedur baku yang diketahui umum.
Dalam kasus Ahok, mislnya, gagasan memindahkan tempat gelar perkara karena alasan keamanan merupakan bukti lain tindakan yang menciutkan fungsi negara. Mendasarkan ketakutan gejolak tekanan massa sebagai pertimbangan pokok untuk menentukan tempat gelar perkara tidak lain merupakan bentuk pelecehan fungsi negara. Kalau perkara dilakukan dengan dasar ketakutan seperti itu, maka hasil akhir dari gelar perkara sudah dapat diduga, yaitu menjawab tuntutan kelompok penekan.
Kalau demikian, apa gunanya persidangan pengadilan? Bukankah hasilnya sudah ditentukan? Mengapa negara dipaksa tidak mengintervensi perkara, sementara kelompok penekan bebas mengintervensinya dengan cara menggalangan massa untuk mengawal perkara? Â Bukankah mengawal perkara itu bentuk ketidakpercayaan terhadap fungsi negara, atau bahkan bentuk teror terhadap negara, dalam hal ini aparat hukum?Â
Negara tidak saja memiliki kewenangan sah, tetapi juga dilengkapi sarana, prasarana dan berbagai fasilitas canggh untuk mengamankan dan mengelola ruang publik. Menjamin tegaknya hukum sebagai alat penata keteraturan kehidupan bersama. Â Itulah posisi dan fungsi negara. Bila negara abai melakukan fungsi dan peran itu, lalu untuk apa ada negara?
Maka, kita bersyukur bahwa sikap Walikota Bandung, Ridwan Kamil dalam  kasus pembubaran KKR Natal di Bandung (6/12/2016) dapat dijadikan contoh sukses mengangkat wibawa negara. Seperti dirilis news.detik.com, melalui rapat bersama dengan berbagai kelompok kepentingan (9/12/2016), diputuskan dan disepakati antara lain:
- Kegiatan ibadat keagamaan TIDAK MEMERLUKAN IJIN FORMAL dari lembaga negara, cukup pemberitahuan kepada kepolisian;
- Kegiatan ibadat keagamaan DIPERBOLEHKAN dilakukan di gedung umum selama sifatnya insidentil. SKB 2 Menteri 2006 hanyalah tata cara untuk pengurusan ijin pendirian bangunan Ibadah Permanen/sementara;
- TIDAK BOLEH ada kelompok masyarakat sipil yang melakukan pembatasan, perintangan, unjuk rasa atau melakukan kegaduhan terhadap kegiatan ibadah keagamaan yang sudah legal karean melanggar KUHP Pasal 175 dan 176, dengan hukuman kurungan maksimal 1 tahun 4 bulan;
- Kehadiran secara fisik di ruangan peribadatan KKR oleh sekelompok warga yang tergabung dalam Ormas Pembela Ahli Sunah (PAS) di tanggal 6 Desember 2016, adalah PELANGGARAN HUKUM KUHP. Seburuk-buruknya situasi yang berhak melakukan pemberhentian kegiatan keagamaan dengan alasan hukum yang dibenarkan hanyalah APARAT NEGARA, bukan kelompok masyarakat sipil;
- Sesuai UU 17 Tahun 2013 tentang Keormasan, Ormas DILARANG menebarkan rasa permusuhan terhadap suku, agama, RAS, dan golongan. Karenanya Pemkot Bandung MEMBERI SANKSI kepada Ormas PAS dengan 2 tahap sanksi sesuai aturan: Tahap persuasif, dan Tahap Pelarangan Organisasi;
- Tahap Persuasif: dalam rentang waktu 7 hari, Pihak Ormas PAS diwajibkan memberikan surat permohonan maaf kepada penitia KKR dan menyatakan kepada pemkot Bandung akan mengikuti semua aturan perundang-undangan dalam berkegiatan sebagai Ormas di wilayah hukum Newgara Indonesia;
- Apabila Ormas PAS menolak memberikan surat pernyataan, maka Pemkot Bandung akan secara hukum diberi kewenangan oleh UU 17 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan, akan memaklumatkan PELARANGAN berkegiatan di wilayah hukum Kota Bandung kepada Ormas PAS.
- Sesuai rekomendasi Komnas HAM, aspek dugaan pelanggaran hukum oleh Ormas PAS atas situasi ini agar dilakukan secepatnya dan sebaik-baiknya oleh pihak kepolisian.
- Meminta MUI, FKUB dan FSOI untuk mengintensifkan forum dialog antara kelompok umat beragama di Kota Bandung.
Penegakan hukum seperti yang dilakukan oleh Kang Emil di Bandung semoga diikuti penegakan di daerah lain. Terkait kasus apa pun, negara harus berdiri tegak dan menjadikan hukum sebagai panglima. Hukum, yang diturunkan dari ideologi negara yaitu Pancasila, dan bersumber dari konstitusi UUD’45. Siapa pun, kelompok mana pun, harus takluk dan ditaklukan pada hukum negara. Dan, sekali lagi, negara diberi kewenangan formal untuk memaksa setiap warga mentaati hukum negara. Hanya dengan cara itu, NKRI bisa lestari dan maju menjadi negara berkeadaban, meraih cita-cita berbangsa dan bernegara.
Salam Kompasiana!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H