Mohon tunggu...
Semuel S. Lusi
Semuel S. Lusi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Belajar berbagi perspektif, belajar menjadi diri sendiri. belajar menjadi Indonesia. Belajar dari siapa pun, belajar dari apapun! Sangat cinta Indonesia. Nasionalis sejati. Senang travelling, sesekali mancing, dan cari uang. Hobi pakai batik, doyan gado-gado, lotek, coto Makasar, papeda, se'i, singkong rebus, pisang goreng, kopi kental dan berbagai kuliner khas Indonesia. IG @semuellusi, twitter@semuellusi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Dari Lereng Merbabu, Kaum Muda Lintas Agama Kobarkan Semangat Keberagaman

28 November 2016   07:09 Diperbarui: 3 Desember 2016   17:42 434
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Perkenalan dan Pengantar oleh Gus Hanif dan Kadus Thekeleng (Dok.grup WA Kita-Famili)

Kegitan Interfaith Youth Camp 2016 merupakan program dari Kita-Famili (Kita Forum Agamawan Muda Lintas Iman) Salatiga, dilaksanakan di Dusun Thekelen. Dusun ini merupakan salah satu perkampungan paling dekat ke puncak gunung Merbabu karenanya di sini terdapat base camp untuk pendakian ke puncak. Terletak hampir 2000 mdpl mengakibatkan suhu relatif dingin serta curah hujan cukup tinggi. Perkampungan ini banyak kali diselimuti kabut pekat.

Menurut kepala dusun, Bapak Supriyono, terdapat setidaknya 200-an KK yang secara religius menganut empat agama yang berbeda, yaitu Islam, Kristen, Katolik, dan Buddha. Karena itu, terdapat masjid Abu Bakr As-Siddiq, vihara Thekelen, juga gereja Protestan dan Katolik. Pun ada sekolah Kristen Karmel, dan TK Wira Putra. Salah satu faktor yang membuat dusun ini unik dan terkenal adalah sikap toleransi penduduknya dalam kehidupan keagamaan. Bila umat salah satu agama membutuhkan bantuan, apakah dalam bentuk materiil atau tenaga, warga agama lainnya memberi bantuan dan ikut bergotong royong. Maka, tidak heran kalau dusun ini kerap dikunjungi dan menjadi semacam destinasi live in untuk pembelajaran toleransi, pluralisme, dan kehidupan pedesaan yang natural.

Perkenalan dan Pengantar oleh Gus Hanif dan Kadus Thekeleng (Dok.grup WA Kita-Famili)
Perkenalan dan Pengantar oleh Gus Hanif dan Kadus Thekeleng (Dok.grup WA Kita-Famili)
Ketika penulis dan rombongan peserta Interfaith Youth Camp tiba di lokasi sekitar pukul 14.40, hujan masih mengguyur meski tak terlalu deras. Kabut mulai turun makin lama makin pekat. Suhu dingin khas pegunungan cukup terasa. Makin senja makin dingin. Kami diterima di rumah kepala dusun. Sementara sesi perkenalan peserta dengan dusun yang dipandu Pdt. Esher Helena Tulung, saya pergi menjelajahi daerah sekitar. Sayang karena sudah berkabut gambar-gambar yang diambil dengan kamera HP saya tidak berkualitas bagus.

Di tengah-tengah acara, sekitar pukul 17.00 tuan rumah membuatkan bara api di halaman rumah untuk sejumlah satgas dan saya agar bisa menghangatkan badan. Peserta disuguhi makanan yang berlimpah. Buah-buahan, lauk ayam, tahu, sayuran, teh panas, kopi panas, kue, kacang tanah, lampar, dan berbagai jenis panganan. Semua di selalu tersaji di atas meja yang disusun berderet di sepanjang tembok ruangan sebelah menyebelah. Setiap saat peserta bisa ambil dan makan sesukanya. Saya pikir terlalu melimpah. Padahal, per kepala hanya membayar Rp 60.000 sudah mendapat tambahan fasilitas inap di rumah-rumah penduduk, api unggun, trekking ke air terjun dan lainnya.

Meditasi (Dok.grup WA Kita Famili)
Meditasi (Dok.grup WA Kita Famili)
Sebagaimana lingkungan pegunungan umumnya, tanah memang terlihat subur. Kebun sayur membentang di mana-mana. Sejumlah penduduk juga menanam di pekarangan rumah dengan menggunakan plastik UV. Dari rumah sejumlah penduduk terdengar suara sapi dan embik kambing yang dipelihara dengan mengandangkannya di belakang atau samping rumah. Bau dupa dan kemenyan terasa khas dan menyengat dari arah rumah-rumah penduduk mengingatkan seakan-akan sedang berada di Bali. Konon, masyarakat juga biasa melinting rokok menggunakan tembakau hasil tanam sendiri dicampur kemenyan. Ah, sayangnya saya tidak sempat mencobanya selain karena bukan perokok juga tidak sempat mendapatkan tawaran.
Dok.Grup WA Kita-Famili Salatiga
Dok.Grup WA Kita-Famili Salatiga
Kegiatan Interfaith Youth Camp 2016memang memilih Thekelan agar para pemuda dan remaja lintas iman bisa belajar dari penduduk setempat. Karenanya, bentuk kegiatan sesungguhnya bukan camping, melainkan live in. Peserta diinapkan di rumah-rumah penduduk.

Tujuan kegiatan ini antara lain:

  • Membangun komunikasi yang erat antara remaja dan pemuda lintas iman di Salatiga dan sekitarnya,
  • Membangun kerjasama antar remaja dan pemuda lintas iman,
  • Mecipkanan perdamaian melalui perlindungan dan penanganan bencana,
  • Mengenal Kita-Famili sebagai ruang belajar dan bermain dalam membangun persahabatan multikultural di Kota Salatigas dan sekitarnya.

Meditasi/yoga (Dok.grup WA Kita-Famili)
Meditasi/yoga (Dok.grup WA Kita-Famili)
Menurut Koordinator Satgas, Ibu Kristina Arief, peserta yang terdaftar berjumlah 40 orang, berasal dari unsur-unsur Fatayat NU, Pondok Pesantren Edi Muncoro, Pemuda Muhammadiyah, Pemuda Hindu, Pemuda Buddha, SMP Stela Matutina, Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia Salatiga, dan Pemuda Katolik. Baik peserta maupun satgas menginap di rumah-rumah penduduk. Sementara dari unsur Kita-Famili hadir Ketua, Gus Hanif (Pondok Pesantren Edi Muncoro), Moh. Akbar (PERCIK/Islam), Kristina Arif (PERCIK/Katolik), Mbak Ati (Fatayat NU), Mbak Luluk (Fatayat NU), Mas Suklan (Hindu), Bikuni Samodana (Buddha), Reney Manopo (Protestan), Pendeta Esther H.Tulung (Protestan).

Karena tidak menginap, saya hanya mengikuti materi “Perdamaian dan Keamanan,” difasilitasi Kapolres Salatiga, yang diwakilikan kepada AKP. Didik Budiono sebagai Kasat Binmas Polres Salatiga. Presentasi yang disampaikan secara cair itu antara lain menekankan hak warga negara mendapatkan rasa aman. Merujuk Pasal 29 (ayat 2), Pak Didik menjelaskan bahwa negara menjamin hak setiap warga negara untuk memeluk agama dan beribadah menurut ajaran agamanya. Karena itu, sikap toleransi dan saling menghargai perbedaan masing-masing warga merupakan hal penting. Beragama apa pun di Indonesia, haruslah diekspresikan berdasarkan nilai-nilai keindonesiaan. Sebab, kita beragama di ruang politik yang namanya Indonesia karena itu karakter keindonesiaan itulah yang harus kita tunjolkan, yaitu sikap ramah, saling menghormati, semangat Bhinneka Tunggal Ika, dan sejenisnya. Polisi yang ramah dan simpatik ini kemudian mendapatkan respons yang hangat dan positif dari peserta yang memunculkan banyak diskusi.

Meditasi/yoga (Dok.grup WA Kita-Famili)
Meditasi/yoga (Dok.grup WA Kita-Famili)
Materi selanjutnya tentang Mitigasi Bencana, yang dibawakan oleh Reney Manopo, dari unsur Kita Famili. Materi ini dimaksudkan untuk membekali pemuda lintas iman dengan pengetahuan dan keterampilan menghadapi bencana, baik alam maupun bukan. Sayangnya penulis sudah harus kembali ke Salatiga, iring-iringan dengan Pak Didik dari Polres. 

Di tengah malam acara api unggun dan refleksi kebangsaan dipandu oleh Mas Suklan. Di dalamnya peserta menyanyikan lagu-lagu nasional seperti Indonesia Raya, Padamu Negeri, Rayuan Pulau Kelapa, dan sebagainya. Refleksi juga diisi doa bersama yang dilakukan secara berantai oleh masing-masing agama. Mengalunnya lagu-lagu kebangsaan dan doa agama-agama bagi Indonesia yang harmonis, damai dan ramah dari Thekelen di pundak Merbabu yang masih natural, terasa menggetarkan dan menggelorakan persaudaraan dalam perbedaan, persatuan dan kesatuan. Hakikat bhineka tunggal ika terasakan nyata dan begitu indah. Dengan itu, saya yakin peserta tidur di subuh yang dingin itu dalam suasana hati yang damai dipenuhi keakraban dalam kepelbagaian.

Foto bareng di air terjun (Dok.grup WA Kita-Famili)
Foto bareng di air terjun (Dok.grup WA Kita-Famili)
Menurut rencana, paginya diisi kegiatan meditasi, disusul trekking ke air terjun Grenjengan yang berjarak 15-20 menit berjalan kaki dari rumah kepala dusun. Meditasi dipandu oleh Bikuni Samodana (Buddha). Setelah trekking dilanjutkan dengan bakti sosial berupa pelayanan kesehatan bagi masyarakat Thekeleng. Tim Kesehatan difasilitasi oleh Gereja Katolik St. Paulus Miki Salatiga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun