Mohon tunggu...
Semuel S. Lusi
Semuel S. Lusi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Belajar berbagi perspektif, belajar menjadi diri sendiri. belajar menjadi Indonesia. Belajar dari siapa pun, belajar dari apapun! Sangat cinta Indonesia. Nasionalis sejati. Senang travelling, sesekali mancing, dan cari uang. Hobi pakai batik, doyan gado-gado, lotek, coto Makasar, papeda, se'i, singkong rebus, pisang goreng, kopi kental dan berbagai kuliner khas Indonesia. IG @semuellusi, twitter@semuellusi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Gus Dur-ian Salatiga: Senange Ngafirke...!

22 November 2016   10:38 Diperbarui: 25 November 2016   11:18 489
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Komunitas Gus Dur-ian (Gusdurian) Salatiga mengadakan kegiatan dalam rangka Hari Toleransi Internasional 2016 pada 19 November, bertempat di Perpustakaan Daerah Kota Salatiga.  Kegiatan tersebut diikuti kaum muda dan mahasiswa di Salatiga. Antara lain nampak hadir para anggota PMII (Persatuan Mahasiswa Islam Indonesia Cabang Salatiga), GMKI (Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia Cabang Salatiga), para santri Pondok Pesantren Edi Muncoro, Kita Famili (Kita-Fortum Agamawan Muda Lintas Iman) Salatiga, Persemaian Cintak Kasih (PERCIK), Komunitas Kaum Muda, dan lainnya.

Dok.Wendel Selsily/GMKI Salatiga
Dok.Wendel Selsily/GMKI Salatiga
Kegiatan diawali dengan ucapan selamat datang oleh Koordinator Jaringan, sambil memperkenalkan komunitas Gusdurian Salatiga. Menurutnya, Komunitas ini dideklarasikan 17 Februari 2016 bertepatan dengan penyelenggaraan Haul Gus Dur yang diadakan di Pondok Pesantren Edi Muncoro. Deklarasi tersebut dihadiri langsung oleh Koordinator Nasional Jaringan Gusdurian, yaitu Alissa Wahid, yang tidak lain merupakan salah seorang putri Gus Dur.

Setelah memperkenalkan Komunitas Gusdurian, Moh.Akbar mempersilahkan peserta memperkenalkan diri serta daerah asal komunitas masing-masing. Lantaran kebanyakan peserta adalah mahasiswa, maka melalui perkenalan itu nampaklah pluralitas penghuni kota Salatiga dari berbagai agama maupun etnis seluruh pelosok tanah air. Mulai dari Sumatera Utara, Padang, Banten, Kediri, Manado, Kalimantan, NTT, Halmahera, Ambon, hingga Papua.  

Dok.Wendel Selsily/GMKI Salatiga
Dok.Wendel Selsily/GMKI Salatiga
Sebagai tuan rumah (host), Moh.Akbar kemudian mempersilahkan hadirin yang ingin menyampaikan pengalamannya di Kota Salatiga, terkait masalah kebhinekaan, pluralisme, toleransi, kesetaraan, atau pengetahuannya tentang Gus Dur.  Maka, munculah berbagai kisah yang ternyata semuanya positif terkait isu-isu tersebut di Salatiga. Saya malah berpikir akan lebih menarik kalau ada pengalaman negatif sehingga bisa dibahas bersama. Tetapi, begitulah Salatiga. Saya dan keluarga yang menetap di Pulutan Lor, meski di perumahan namun berbaur (tanpa tembok pembatas) dengan penduduk lokal yang 99% Muslim (NU) merasa diperlakukan sangat baik. Kepolosan, kesederhanaan, dan keramahan khas masyarakt desa menjadi impian masa lalu yang telah terelisasi. Kampung saya dikitari Madrasah Ibtidaiyah Ma’arif, kampus STAIN, kampus Al Azhar, dan sebagainya. Setiap pertemuan bulanan RT (Rukun Tetangga) kami selalu awali dengan pengajian, setelah itu baru membincangkan perkembangan dalam kampung, rencana gotong royong, informasi dari kelurahan, dan lainnya. Jadi, saya sering bercanda ke teman-teman, “biar pun Kristen, saya ini rajin pengajian loh.” Itu sebuah pengalaman toleransi dan keberagaman yang memikat. Meski tidak paham, saya menikmatinya. Menurut saya itulah pengalaman khas ke-Indonesia-an.

Dok.Wendel Selsily/GMKI Salatiga
Dok.Wendel Selsily/GMKI Salatiga
Seorang peserta dari komunitas Sobat Muda, mbak Ambar Istiyana sebuah “paguyuban” lintas iman, menceritakan pengalamannya sewaktu Gus Dur berkunjung ke desanya di Gedangan, Muncul. Ketika itu Gus Dur menyamapiakan sebuah lagu atau pantun, yang syairnya sangat menginspirasi sehingga tidak dilupakan hingga saat ini. Kurang lebih seperti berikut: “senange ngafirke wong liyo,   kafire dewe ora digateke” demikian syair itu. Ia lalu menerjemahkannya: “Sukanya mengafirkan orang lain, tetapi kekafirannya sendiri tidak diperhatikan.” Demikian yang diingatnya tentang Gus Dur, yang mengajarkan supaya orang harusnya rajin mengoreksi diri dan tidak asal-asalan mengafirkan orang lain.

Setelah sejumlah peserta berbagi pengalaman dan pengetahuan, host memperkenalkan 9 Nilai Utama Gus Dur.  Menurutnya, hadirnya komunitas Gusdurian adalah untuk membumikan nilai-nilai utama yang disarikan sebagai ajaran Gus Dur itu. Berikut saya ringkaskan apa yang saya tangkap dari yang dijelaskan host, dengan memperkayanya dari sumber ini. http://www.gusdurian.net/id/9-Nilai-Utama-Gus-Dur/

  • Ketauhidan, yaitu spirit teologis atau religiusitas mencakup keimanan kepada Allah sebagai sebagai Dzat Hakiki, yang Maha Ada dan Maha Kasih. Ketauhidan menggambarkan kesadaran hakiki bahwa Allah adalah sumber segala sesuatu yang melampaui apa pun. Karena itu seharusnya mewarnai semua aspek kehidupan dan menjadi roh dalam setiap perjuangan hidup.
  • Kemanusiaan; hidup perlu dipelihara dan menjaga daya hidup kita. Manusia sebagai makluk Tuhan mencerminkan sifat-sifat ke-Tuhan-an. Karena itu manusia adalah makluk mulia sehingga selayaknyalah saling menghormati dan saling memuliakan. Menghina manusia lain berarti menghina Pencipta itu sendiri, sebaliknya memuliakan sesama berarti memuliakan Allah juga.
  • Keadilan; martabat manusia hadir dalam keseimbangan, kelayakan dan kepantasan dalam kehidupan masyarakat. Karena itu, keadilan harus diperjuangankan, termasuk bagi kelompok masyarakat yang diperlakukan tidak adil. Gus Dur telah menunjukkan bagaimana ia mengambil tanggungjawab menghadirkan rasa keadilan di tengah-tengah masyarakat.
  • Kesetaraan; yaitu kesadaran bahwa setiap orang setara di hadapan Sang Khalik. Identitas sosial seperti agama, status, ras dan sejenisnya tidak menjadi alasan seseorang lebih tinggi dari orang lain lalu merendahkannya.
  • Pembebasan; manusia bertanggungjawab untuk melepaskan diri dari berbagai bentuk belenggu. Gus Dur selalu mendorong dan memfasilitasi tumbuhnya jiwa-jiwa merdeka yang tidak saja mampu membebaskan dirinya tetapi juga membebaskan orang lain.
  • Kesederhanaan; Kesederhanaan bersumber dari jalan pikiran substansial, sikap dan perilaku hidup yang wajar dan patut. Kesederhanaan menjadi konsep kehidupan yang dihayati dan dilakoni sehingga menjadi jati diri. Kesederhanaan menjadi budaya perlawanan atas sikap berlebihan, materialistis, dan koruptif. Kesederhanaan Gus Dur dalam segala aspek kehidupannya menjadi pembelajaran dan keteladanan.
  • Persaudaraan; Persaudaraan bersumber dari prinsip-prinsip penghargaan atas kemanusiaan, keadilan, kesetaraan, dan semangat menggerakkan kebaikan. Persaudaraan menjadi dasar untuk memajukan peradaban. Gus Dur selalu memberi teladan dan menekankan pentingnya menjunjung tinggi persaudaraan dalam masyarakat, bahkan terhadap yang berbeda keyakinan dan pemikiran.
  • Kesatriaan; bersumber dari keberanian untuk memperjuangkan dan menegakkan nilai-nilai yang diyakini dalam mencapai keutuhan tujuan yang ingin diraih. Proses perjuangan dilakukan dengan mencerminkan integritas pribadi, yaitu  penuh rasa tanggung jawab atas proses yang harus dijalani dan konsekuensi yang dihadapi, komitmen yang tinggi serta istiqomah. Keksatriaan yang dimiliki Gus Dur mengedepankan kesabaran dan keikhlasan dalam menjalani proses, seberat apapun, serta dalam menyikapi hasil yang dicapainya.
  • Kearifan Lokal; menjaga nilai-nilai dan kearifan lokal sebagai panduan hidup. Kearifan lokal bersumber dari nilai-nilai sosial-budaya yang berpijak pada tradisi dan praktik terbaik kehidupan masyarakat setempat. Kearifan lokal Indonesia di antaranya berwujud dasar negara Pancasila, Konstitusi UUD 1945, prinsip Bhineka Tunggal Ika, dan seluruh tata nilai kebudayaan Nusantara yang beradab. Gus Dur menggerakkan kearifan lokal dan menjadikannya sebagai sumber gagasan dan pijakan sosial-budaya-politik dalam membumikan keadilan, kesetaraan, dan kemanusiaan, tanpa kehilangan sikap terbuka dan progresif terhadap perkembangan peradaban.

Demikian yang bisa saya bagi (share) dari kegiatan Gusdurian Salatiga. Nilai-nilai utama yang disarikan sebagai ajaran Abdurrahman Wahid atau yang populer dikenal sebagai Gus Dur begitu relevan untuk kebutuhan bangsa saat ini, ketika kebhinekaan seakan-akan hendak dihancurkan, pemaksaan kehendak dengan cara-cara pengerahan massa dan tindakan anarki mengemuka. Ketokohan Gus Dur sangat dirindukan bangsa Indonesia. Semoga nilai-nilai yang diajarkannya itu menjadi warisan berharga yang bisa kita hayati dan lakukan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Salam Kompasiana!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun